Tafsir Tarbawi Tanggung Jawab : Cermin Kesempurnaan Jiwa (QS. At- Tahrim: 6)


Pendidikan Life Skill
Tanggung Jawab : Cermin Kesempurnaan Jiwa
(QS. At- Tahrim: 6)


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Life skillsecara bahasa berasal dari bahasa inggris, yaitu life artinya hidup dan skillyang artinya kecakapan, kepandaian, keterampilan. Skill dapat pula diartikan penguasaan suatu bidang. Sedangkan menurut istilah banyak pendapat yang mengemukakan arti dari life skill, ada yang mengartikan bahwa kecakapan hidup (life skill) bukan sekedar keterampilan. ada yang mengatakan bahwa kecakapan hidup (life skill) bukan sekedar ketrampilan untuk bekerja (vokasional). Pendidikan life skills dapat diartikan sebagai pendidikan yang memberikan bekal dasar dan latihan yang dilakukan secara benar kepada peserta didik tentang nilai-nilai kehidupan yang dibutuhkan dan berguna bagi perkembangan kehidupan peserta didik.
Pengertian life skills sebenarnya lebih luas dari sekedar untuk menghidupi diri sendiri, namun persoalannya bukan sekedar ketrampilan tetapi bagaimana caranya memberi pendidikan yang betul betul mampu membuat anak mandiri dan dapat mengurus dirinya sendiri.[1]Life skills (kecakapan hidup) menunjuk pada berbagai ragam kemampuan seseorang untuk menempuh kehidupan dengan sukses, bahagia dan secara bermartabat di dalam masyarakat. Life skills merupakan kemampuan sepanjang hayat, kepemilikan kemampuan berpikir yang kompleks, kemampuan komunikasi secara efektif, kemampuan membangun kerjasama, melaksanakan peranan sebagai warga negara yang bertanggungjawab, memiliki kesiapan serta kecakapan untuk bekerja, memiliki karakter dan etika untuk terjun ke dunia kerja.[2]


B.     Judul Makalah
Dalam kesempatan kali ini penulis akan membahas tentang PENDIDIKAN LIFE SKILL (Tanggung Jawab: Cermin Kesempurnaan Jiwa) menurut Qur’an Surah At-Tahrim ayat 6. Menyesuaikan dengan tugas yang telah penulis terima.
C.    Nash dan Terjemahan
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, terpeliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya Malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan”.{QS At-Tahrim: 6}
D.    Asbabunnuzul
Namanya yang populer adalah “Surah At-Tahrim”, tetapi dalam bebarapa riwayat ditemukan nama lain, yaitu surah al-lima tuharrim (dengan hamzah pada awalnya dan tasydid pada Lam), ada juga yang menamainya “Surah an-Nabi”. Kesemua penamaan itu bersumber dari ayat pertama surat ini yang menggunakan kata-kata tersebut.
Sebab turunnya ayat ini, menurut mayoritas ulama, adalah kasus yang terjadi pada Nabi Muhammad saw., ketika beliau meneguk madu di rumah salah seorag istri beliau, yakni Zainab binti Jahesy as. Keberadaan beliau di sana dalam waktu yang mereka nilai relatif lama dan dengan jamuan itu menimbulkan kecemburuan istri beliau, Aisyah dan Hafshah ra., yang keduanya kemudian bersepakat bahwa bila Nabi saw., datang mengunjungi mereka agar menyampaikan kepada beliau bahwa ada aroma kurang baik dari mulut beliau, boleh jadi karena makanan tertentu. Nabi saw., yang masuk ke rumah Hafshah ra., dan diberitahu demikian, menyatakan bahwa beliau hanya meneguk madu. Hafshah berkata bahwa boleh jadi lebah madu itu mengisap dari pohon Maghafir, yakni sejenis pohon bergetah dan manis, tetapi beraroma serupa dengan aroma minuman keras. Nabi saw., berjanji untuk tidak akan meneguknya lagi. Nabi saw., juga berpesan agar tidak menyampaikan hal ini kepada siapapun. Tetapi, ternyata Hafshah ra., menyampaikannya kepada Aisyah ra., sehingga turunlah ayat-ayat surah ini.[3]
E.     Arti Penting
Tema utama surah ini adalah tentang adab terhadap Allah swt. Serta dorongan agar selalu memperhatikan sopan santun terhadap-Nya, antara lain, tidak menghalangi diri melakukan  sesuatu yang dibenarkan Allah swt., hanya dengan dalil untuk menyenangkan pihak lain, lebih-lebih bila hal tersebut bukanlah kemaslahatan baginya dan bagi orang lain itu.
Melalui surah ini, Allah swt., juga menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw., adalah cerminan dari al-Qur’an dan karena itu beliau ditegur, sebagaimana ditegaskan oleh ayat pertama surah. Memang kehidupan Rasul Mukammad saw., secara sikap atau ucapan beliau yang tidak mencapai puncak keistimewaan, maka Allah swt., menegur beliau. Dengan demikian, dapat juga dikatakan bahwa surah ini bertujuan membuktian Nabi Muhammad saw., amat benar dan amat istimewa, karena jika kurang istimewa Allah menegur beliau.[4]






BAB II
PEMBAHASAN

A.    Teori
Menurut Imam Al-Ghazali jiwa manusia adalah cermin yang mampu merefleksikan kebenaran dan kesempurnaan. Jiwa inilah yang membedakan manusia dengan binatang yang lebih rendah. Namun amat disayangkan bahwa cermin ini sering kali terselubung oleh debu yang menghalangi pantulan cahaya. Begitu penghalang itu terhapus, baik oleh tangan maupun oleh angina yang berhembus, maka berhembuslah karunia Tuhan ke dalam hati manusia dan tersingkaplah kebenaran abadi.[5]
Sementara tanggung jawab, yaitu sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, lingkungannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, social, dan budaya), Negara dan Allah Yang Maha Esa.[6]Tanggung jawab pada taraf yang paling rendah adalah kemampuan seseorang untuk menjalankan kewajiban karena dorongan dari dalam dirinya, atau biasa disebut dengan panggilan jiwa. Ia mengerjakan sesuatu bukan semata-mata karena adanya aturan yang menyuruh untuk mengerjakan hal itu. Tetapi, ia merasa kalau tidak menunaikan pekerjaan tersebut dengan baik, ia merasa sesungguhnya ia tidak pantas untuk menerima apa yang selama ini menjadi haknya. Ini adalah tanggung jawab paling dasar yang biasa disebut sebagai responsibility. Sedang tanggung jawab dengan derajat lebih tinggi disebut perceived responsibility. Yaitu rasa tanggung jawab seseorang atas sesuatu yang menurut pandangan umum bukan merupakan tanggung jawabnya. Ia melakukan pekerjaan bukan semata-mata karena ia merasa telah menerima hak atas pekerjaan itu, tetapi seratus persen karena panggilan jiwanya. Boleh jadi pekerjaan yang digelutinya dengan tekun setiap hari sesungguhnya merupakan tanggung jawab orang lain.[7]
Merupakan tanggung jawab kepala rumah tangga untuk menuntun anggota keluarganya berkenaan dengan tauhid, keimanan terhadap akhirat, takut terhadap hukuman Allah, kesalehan, perilaku Islami; dan untuk menyiapkan jalan-jalan bagi kemajuan mereka, pendidikan dan pengajarannya. Karenanya ia akan melindungi mereka dari siksaan akhirat.[8] Ketika kepala keluarga mendorong para anggota keluarganya melakukan tugas-tugas agama yang wajib, dan pantang melakukan kesalahan-kesalahan fisik, finansial atau moral, maka ia telah menyelamatkan dirinya dan keluarganya dari api neraka. Jalan mereka menuju surga akan terbuka. Surga yang dekat sidratul muntahayang luasnya seluas bumi dan seluruh langit.[9]
Jadi, keselamatan dan penyediaan kebutuhan keluarga adalah tugas dan tanggung jawab pria (suami), sementara pelaksanaan tugas tersebut di dalam keluarga seperti merawat, mendidik serta mengasuh anak-anak dan sebagainya lebih banyak terpikul di pundak kaum wanita (istri).[10]
B.     Tafsir
1.      Tafsir Jalalain
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ (Hai orang-orang yang beriman, peliharalah diri kalian dan keluarga kalian)dengan mengarahkan mereka kepada jalan ketaaatan kepada Allah-- نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ (Dari aai neraka yang bahan bakarnya adalah manusia) orang-orang kafir--  وَالْحِجَارَةُ (Dan Batu)seperti berhala-berhala yang mereka sembah adalah sebagian dari bahan bakar neraka itu. Atau dengan kata lain, api neraka itu angat panas sehingga hal-hal tersebut dapat dinyalakan dengan kayu dan lai-lainnya-- عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ (Penjaganya malaikat-malaikat) yakni juru kunci neraka itu adalah malaikat-malaikat yang jumlahnya ada Sembilan belas malaikat, sebagaimana yang akan diterangkan dalam surat al- muddatsir--   غِلَاظٌ (yang kasar) lafadz ghiladzun ini diambil dari asal kata ghiladzul qalbi, yakni kasar hatinya--  شِدَادٌ  (yang keras) sangat keras hantamannya--لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ(Mereka tidak pernah mendurhakai Allah terhadap apa yang telah diperintahkan Nya kepada mereka) lafal ma amarahum berkedudukan sebagai badal dari lafal Allah. Atau dengan kata lain, malaikat-malaikat penjaga itu tidak pernah mendurhakai perintah Allah-- وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ(Dan mereka selalu mengerjakan apa yang diperintahkan) lafal ayat ini berkedudukan acaman bagi orang-orang mukmin supaya jangan murtad; ayat ini merupakan ancaman pula bagi orang-orang munafik, yaitu mereka yang mengaku beriman dengan lisannya, tetapi hati mereka masih tetap kafir.[11]
2.      Tafsir Al-Maraghi
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
Wahai orang yang percaya kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah sebagian dari kamu memberitahukan kepada sebagian yang lain, apa yang dapat menjaga dirimu dari api neraka dan menjauhkan kamu daripadanya, yaitu ketaatan kepada Allah Ta’ala dan menuruti segala perintah-Nya. Dan hendaklah kamu mengajarkan kepada keluargamu perbuatan yang dengannya mereka dapat menjaga diri meraka dari api neraka. Dan bawalah mereka kepada yang demikian ini melalui nasihat dan pengajaran.
Yang dimaksud al-ahl (keluarga) di sini mencakup isteri, anak, budak laki-laki dan budak perempuan.
Di dalam ayat ini terdapat isyarat mengenai kewajiban seorang suami mempelajari fardhu-fardhu agama yang diwajibkan baginya dan mengajarkannya kepada mereka.
نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلَائِكَةٌ
Malaikat-malaikat itu diserahi neraka untuk mengurusnya dan menyiksa para penghuninya. Mereka ada Sembilan belas orang malaikat penjaga neraka yang disebutkan dalam surat al-Muddatsir.
غِلَاظٌ شِدَادٌ
Mereka keras dan kasar terhadap para penghuni neraka itu. Kemudian, Allah menjelaskan besarnya ketaatan mereka kepada Tuhan mereka. Firman-Nya:
لَا يَعْصُونَ اللَّهَ مَا أَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ
Mereka tidak menyalahi perintahNya, tetapi mereka menjalankan apa yang diperintahkan kepada mereka pada waktu itu juga tanpa selang. Mereka tidak menunda perintahNya.
Kalimat pertama menunjukkan penafian, penentangan dan kesombongan dari mereka. Sedangkan kalimat kedua menunjukkan penafian kemalasan dari mereka.
Mereka mengikuti perintah  dan enggan untuk melaksanakannya, tetapi mereka menunaikannya tana rasa berat dan tidak ditunda-tunda.[12]
3.      Tafsir Al-Lubab
Dalam suasana peristiwa rumah tangga Nabi saw., seperti diuraikan oleh ayat-ayat yang lalu, ayat-ayat berikut memberi tuntunan kepada kaum beriman bahwa: peliharalah diri kamu, antara lain, dengan meneladani Nabi saw., dan pelihara juga keluarga kamu, yakni pasangan, anak-anak, dan seluruh yang di bawah tanggung jawab kamu, dengan membimbing dan mendidik mereka agar kamu semua terhindar dari api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia-manusia yang kafir juga batu-batu, antara lain, yang dijadikan berhala-berhala. Yang menangani neraka itu dan bertugas menyiksa penghuni-penghuni neraka adalah malaikat-malaikat yang kasar-kasar ucapannya; hati mereka tidak iba atau tersentuh oleh rintiha, tangisan, atau permohonan belas kasih; juga keras-keras perlakuannya dalam melaksanakan tugas penyiksaan. Mereka tidak mendurhakai Allah swt., menyangkut apa yang Dia perintahkan kepada mereka sehingga siksa yang mereka jatuhkan, kendati mereka kasar, tidak kurang dan tidak juga berlebih dari apa yang diperintahkan Allah swt., yakni sesuai dengan dosa dan kesalahan masing-masing dan mereka juga senantiasa mengerjakan dengan mudah apa yang diperintahkan Allah swt., kepada mereka.[13]
C.    Implikasi Dalam Kehidupan Sehari-Hari
Setiap orang harus belajar bertanggung jawab tentang apa yang diperbuat. Untuk dapat memiliki sikap tanggung jawab tidak hanya diperoleh begitu saja, dibutuhkan usaha dan belajar secara giat dan berkesinambungan. Waktu yang sangat tepat untuk menanamkan tanggung jawab kepada seseorang ialah dimulai sejak dini. Sebab, pada masa ini akan cepat memahami sesuatu dan menjadikan sesuatu tersebut menjadi kebiasaan.[14]
Dengan memulai pendidikan agama dari rumah (keluarga), berarti kita telah melaksanakan tanggung jawab untuk menjaga seluruh anggota keluarga dari adzab neraka. Oleh karena itu, sudah merupakan kewajiban bagi laki-laki, para kepala keluarga, untuk memastikan seluruh anggota keluarganya memiliki akhlaq yang mulia. Jika di dalam anggota keluarga ada yang melenceng dari jalur, maka kepala keluarga berkewajiban untuk menegur serta mengembalikan jalurnya. Jangan sampai ada satu pun orang dari anggota keluarga yang lalai dari perintah Allah.
Anggota keluarga tidak hanya sebatas ayah, ibu dan anak. Seperti yang di terangkan dalam tafsir di atas, asisten rumah tangga yang bekerja untuk tuannya adalah juga merupakan anggota keluarga yang keselamatan akhiratnya ikut menjadi tanggung jawab kepala rumah tangga.
D.    Aspek Tarbawi
  1. Ibu Bapak berkewajiban mendidik anak-anak dan anggota keluarganya.
  2. Pendidikan dan dakwah harus bermula dari rumah.
  3. Ayat di atas, walau secara redaksional tertuju kepada kaum pria (ayah), tetapi itu bukan berarti hanya tertuju kepada mereka, tetapi juga kepada perempuan, sebagaimana berpuasa, yang juga tertuju kepada pria.[15]

BAB III
PENUTUP

Simpulan
Penggalan ayat ke 6 dalam surat at-Tahrim tersebut telah memberi kita penjelasan bahwa menjadi kepala keluarga bukanlah tugas yang ringan. Betapa penting menjaga akhlaq, bukan hanya diri kita sendiri, namun juga anggota keluarga kita. Sebab keselamatan akhirat mereka juga merupakan tanggung jawab kita. Sikap kita mampu menggiring mereka ke dalam surga Allah swt, jika kita mampu mendidik mereka dengan baik. Namun sebaliknya, sikap kita pula mampu menjerumuskan mereka ke dalam api neraka apabila kita lalai dalam menjauhkan mereka dari perbuatan-perbuatan yang dilarang Allah swt.



DAFTAR PUSTAKA

 Al-Mahalli, Jalaluddin dan As-Suyuti, Jalaluddin. 2010. Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul cet ke-7. Bandung: Sinar Baru.
Al-Maraghiy, Ahmad Musthafa. 1989. Tafsir Al-Maraghi Juz 28. Semarang: Thoha Putra.
Ansarian, Husayn. 2002. Membangun Keluarga Yang Dicintai Allah: Bimbingan Lengkap Sejak Pra-Nikah Hingga Mendidik Anak (Terjemahan Dari The Islamic Family Structure). Jakarta: Pustaka  Zahra.
 Baidan, Nashiruddin. 1999. Tafsir Bi Al- Ra’yi Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalam Al Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
 Fadhillah, Muhammad dan Khorida, Lilif Mualifatu. 2013. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.
 Munir, Abdullah. 2010. Pendidikan Karakter; Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah. Yogyakarta: Pustaka Insan Madani.
 Shihab, Quraish. 2012. Al-Lubab Makna, Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an. Tanggerang: Lentera Hati.
https://kajianpemikiranislam.com/kesempurnaan-manusia-dalam-perspektif-tasawuf-bagian-1/
http://elc.stain-pekalongan.ac.id/376/8/12.%20BAB%20II.pdf.
http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-pengertian-kecakapan-life-skill.html



[1] http://elc.stain-pekalongan.ac.id/376/8/12.%20BAB%20II.pdf. diakses pada 25 februari 2017 pukul 20-10
[2] http://www.definisi-pengertian.com/2015/05/definisi-pengertian-kecakapan-life-skill.html. Diakses pada 1 maret 2017 pukul 11-16
[3] Quraish Shihab, Al-Lubab Makna, Tujuan, Dan Pelajaran Dari Surah-Surah Al-Qur’an (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), Hlm., 317-318
[4] Ibid,..318
[5]https://kajianpemikiranislam.com/kesempurnaan-manusia-dalam-perspektif-tasawuf-bagian-1/  . diakses pada 21/4/2017
[6]Muhammad Fadhillah Dan Lilif Mualifatu Khorida, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013), Hlm.,205
[7]Abdullah Munir, Pendidikan Karakter; Membangun Karakter Anak Sejak Dari Rumah, (Yogyakarta: Pustaka Insan Madani, 2010), Hlm.,90-91
[8]Husayn Ansarian, Membangun Keluarga Yang Dicintai Allah;  Bimbingan Lengkap Sejak Pra-Nikah Hingga Mendidik Anak (Terjemahan Dari The Islamic Family Structure), (Jakarta: Pustaka  Zahra, 2002), Hlm., 261
[9] Ibid., 263-264
[10] Nashiruddin Baidan, Tafsir Bi Al- Ra’yi;Upaya Penggalian Konsep Wanita Dalam Al Qur’an, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), Hlm.,27
[11] Imam Jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain Berikut Asbabun Nuzul cet ke-7, (Bandung: Sinar Baru, 2010), hlm., 1119
[12] Ahmad Musthafa Al-Maraghiy, Tafsir Al-Maraghi Juz 28 (Semarang: Thoha Putra, 1989), Hlm.,270-274
[13] Quraish Shihab, Op.cit..,322-323
[14] Muhammad Fadhillah Dan Lilif Mualifatu Khorida, Op.cit.,205
[15] Ibid..,324-325

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel