Kriteria dan Syarat untuk bisa menafsirkan ayat Alqur’an dan hadist



Sangat berbahaya jika ada seseorang yang menafsirkan suatu ayat tidak didasarkan pada sanad yang jelas (seperti yang di lakukan oleh Teman-teman Wahabi). Serta menggunakan penjelasan yang di hubung-hubungkan sendiri padahal secara keilmuan orang tersebut tidak dalam derajat ahlul qur’an ataupun ahlul hadits.
Itulah mengapa para pengikut Ahlus Sunnah Wal Jama’ah membentengi diri dengan memberikan pemahaman kepada umat agar tidak terseret kepada pemahaman yang salah.




Ada beberapa kriteria untuk bisa menafsirkan ayat qur’an dan hadits nabi, paling tidak :
1. Huffadzul Qur’an.

2. Minimal hafal lebih dari 3000 hadits berikut sanad dan matannya

3. Menguasai asbabun nuzul dan asbabul wurud

4. Hafal dan memahami Fiqh Ijma’ Ulama sebelumnya

5. Menguasai lughatul ‘Arabiyyah, khususnya tatabahasa, kosakata dls.


Menurut  Muhammad ibnu Jamil Zainu dalam  kitab : Kaifa Nafhamul Qur’an, ada beberapa cara untuk memahami Al-Qur'an yaitu :
  1. MEMAHAMI AYAT DENGAN AYAT
Menafsirkan satu ayat Alquran dengan ayat Alquran yang lain, adalah jenis penafsiran yang paling tinggi. Karena ada sebagian ayat Alquran itu menerangkan makna ayat-ayat yang lain. Contohnya ayat, yang artinya : “ Ketahuilah, sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak pernah merasa cemas dan tidak pula merasa bersedih hati.” [QS.Yunus : 62].
Lafadz Auliya’ (wali-wali), ditafsirkan dengan ayat berikutnya yang artinya : “ Yaitu orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa.” [QS.Yunus : 63].
Berdasarkan ayat di atas maka setiap orang yang benar-benar mentaati perintah-perintah Allah dan meninggalkan larangan-larangan-Nya, maka mereka itu adalah Wali Allah. Tafsiran ini sekaligus sebagai bantahan orang-orang yang mempunyai anggapan, bahwa Wali itu ialah orang yang mengetahui perkara-perkara ghaib, memiliki kesaktian, di atas kuburnya terdapat bangunan kubah yang megah, atau keyakinan-keyakinan yang bathil yang lain. Dalam hal ini, Karomah bukan sebagai syarat untuk membuktikan orang itu wali atau bukan. Karena Karomah itu bisa saja tampak bisa juga tidak.
Adapun hal –hal yang aneh yang ada pada diri sebagian orang-orang sufi dan orang-orang Ahli Bid’ah, adalah sihir, seperti yang sering terjadi pula pada orang-orang Majusi di India dan lain sebagainya. Itu sama sekali bukan Karomah, tetapi sihir seperti yang di firmankan Allah, artinya : “Terbayang kepada Musa, seolah-olah ia merayap cepat lantaran sihir mereka.” [QS. Thaha :66].
  1. MEMAHAMI ALQURAN DENGAN HADITS YANG SHAHIH
Menafsirkan ayat Alquran dengan hadits shahih sangatlah penting, bahkan harus. Allah menurunkan Alquran kepada Rasulullah tidak lain supaya diterangkan maksudnya kepada semua manusia. Firman Allah, yang artinya : “… Dan Kami turunkan Alquran kepadamu (Muhammad) supaya kamu terangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka agar mereka pikirkan.” [QS. An-Nahl : 44].
Rasulullah bersabda yang artinya : “ Ketahuilah, aku sungguh telah diberi Alquran dan yang seperti Alquran bersama-sama.” [HR. Abu Daud].
Berikut beberapa contoh Tafsirul ayat bil hadits :
  1. Ayat yang artinya : “ Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik ( Syurga) dan tambahannya.” [QS.Yunus : 26].
Tambahan di sini menurut keterangan Rasulullah, ialah berupa kenikmatan melihat Allah. Beliau bersabda yang artinya : “ Lantas tirai itu terbuka sehingga mereka dapat melihat Tuhannya, itu lebih mereka sukai dari pada apa-apa yang di berikan kepada mereka. “ kemudian Beliau membaca ayat ini. [HR.Muslim].
  1. Ketika turun ayat, yang artinya : “ Orang-orang yang beriman dan tidak mencampur adukan iman mereka dengan kedzaliman …” [QS. Al-An’am : 82]
Menurut Abdullah bin Mas’ud, para Sahabat merasa keberatan karenanya. Kemudian mereka pun bertanya , “ Siapa di antara kami yang tidak mendzalimi dirinya ya Rasul ?” Beliau menjawab, “ Bukan itu maksudnya. Tetapi yang dimaksud kedzaliman di ayat itu adalah Syirik. Tidakkah kalian mendengar ucapan Luqman kepada putranya yang artinya : “ Wahai anakku, janganlah engkau menyekutukan Allah. Karena perbuatan Syirik (menyekutukan Allah) itu sungguh kedzaliman yang sangatlah besar.” [HR. Muslim].
Dari ayat dan hadits itu dapat di ambil kesimpulan : Kedzaliman itu urutannya bertingkat-tingkat. Perbuatan maksiat itu tidak disebut Syirik. Orang yang tidak menyekutukan Allah, mendapat keamanan dan petunjuk.
  1. MEMAHAMI AYAT DENGAN PEMAHAMAN SAHABAT
Merujuk kepada penafsiran Sahabat terhadap ayat-ayat Al Qur’an seperti Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud sangatlah penting sekali untuk mengetahui maksud suatu ayat. Karena, disamping senantiasa menyertai Rasulullah, mereka juga belajar langsung dari Beliau. Berikut ini contoh Tafsir dengan ucapan Sahabat, tentang ayat yang artinya : “ Yaitu Tuhan yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas ‘Arsy.” [QS. Thaha : 5].
Al Hafidz Ibnu Hajar di dalam kitab Fathul Baari berkata, Menurut Ibnu ‘Abbas dan para Ahli Tafsir lain, Istiwa itu maknanya Irtafa’a (naik atau meninggi).
  1. HARUS MENGETAHUI GRAMATIKA BAHASA ARAB
Tidak di ragukan lagi, untuk bisa memahami dan menafsirkan ayat-ayat Alquran , mengetahui gramatika bahasa arab sangatlah penting. Karena Alquran diturunkan dalam bahasa Arab.
Firman Allah yang artinya : “ Sungguh kami turunkan Alquran dengan bahasa Arab supaya kamu memahami.” [QS. Yusuf : 2].
Tanpa mengetahui bahasa arab, tidak mungkin bisa memahami makna ayat-ayat Al qur’an. Sebagai contoh ayat : Tsummas tawaa ilas samaa’i. makna Istiwa ini banyak di perselisihkan. Kaum Mu’tazilah mengartikannya menguasai dengan paksa. Ini jelas penafsiran yang sangat keliru. Tidak sesuai dengan bahasa arab. Yang benar, menurut pendapat para Ahli Sunnah Wal Jama’ah, Istiwaa artinya ‘ala wa Irtafa’a (meninggi dan naik). Karena Allah mensifati dirinya denganAl-‘Ali (Maha Tinggi).
Anehnya banyak orang penganut faham Mu’tazilah yang menafsiri lafadz Istawa dengan Istaula. Pemaknaan seperti ini banyak tersebar di dalam kitab-kitab Tafsir, Tauhid dan ucapan-ucapan orang. Mereka jelas mengingkari ke-Maha Tinggian Allah yang jelas-jelas tercantum dalam ayat-ayat Al Qur’an dan Hadits-hadits yang shahih, perkataan para sahabat dan para Tabi’in, mereka mengingkari bahasa Arab di mana Alquran diturunkan dengan bahasa itu. Al Imam Ibnu Al Qayyim berkata, Allah memerintahkan orang-orang Yahudi supaya mengucapkan “Hitthotun” (bebaskan kami dari dosa), tapi mereka rubah menjadi “Hinthotun” (biji gandum). Ini sama dengan kaum Mu’tazilah yang mengartikan Istiwa dengan arti Istaula.
Contoh kedua, pentingnya bahasa arab dalam menafsirkan suatu ayat, misalkan ayat yang artinya : “ Maka ketahuilah, bahwa tidak ada Ilah ( yang Haq ) melainkan Allah…” [QS. Muhammad : 19].
Ilah artinya Al Ma’bud ( yang di sembah) maka kalimat Laa ilaaha Illallaah, artinya La Ma’buuda illallaah (tidak ada yang patut di sembah kecuali Allah). Sesuatu yang di sembah selain Allah itu banyak ; Orang-orang Hindu di India menyembah sapi. Pemeluk Nashrani menyembah ‘Isa Al Masih, tidak sedikit dari kaum muslimin sangat di sesalkan karena menyembah para wali dan berdo’a meminta sesuatu kepadanya. Padahal, dengan tegas Rasulullah berkata, Artinya :” Do’a itu ibadah.” [HR.Tirmidzi].
Karena sesuatu yang dijadikan sesembahan oleh manusia banyak macamnya, maka dalam menafsirkan ayat diatas harus ditambah dengan kata Haq sehinggan maknanya menjadi Laa Ma’buuda Haqqon Illallaah ( tidak ada sesembahan yang Haq kecuali Allah).Dengan begitu, semua sesembahan-sesembahan yang bathil yakni selain Allah, keluar atau tidak masuk dalam kalimat tersebut. Dalilnya ialah ayat berikut, yang artinya : “ Demikianlah, karena sesungguhnya Allah. Dialah yang Haq. Dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah itulah yang bathil.” [QS. Luqman : 30].
Dengan di artikannya makna Ilah menjadi Al Ma’buud, maka jelaslah kekeliruan kebanyakan kaum muslimin yang berkeyakinan bahwa Allah ada di mana-mana dan mengingkari ketinggian Nya di atas ‘Arsy dengan memakai dalil ayat berikut ini, yang artinya : “ Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di Bumi.” [QS. Az-Zukhruf : 84].
Sekiranya mereka mamahami arti Ilah dengan benar, niscaya mereka tidak memakai dalil ayat tersebut. Yang benar, seperti yang telah di terangkan di atas, Al Ilah itu artinya Al Ma’buud sehingga ayat itu artinya menjadi : “ Dan Dialah Tuhan (yang disembah) di langit dan Tuhan (yang disembah) di Bumi.”
Contoh ke tiga, pentingnya Gramatika bahasa arab untuk supaya bisa menafsirkan ayat dengan benar, ialah mengetahui ungkapan kata akhir tapi didahulukan, dan kata depan namun ditaruh di akhir kalimat. Sebagai contoh, Firman Allah : “ Iyyaaka na’budu wa Iyyaaka nasta’in.” Artinya : “Hanya kepadaMu kami menyembah dan hanya kepadaMu pula kami memohon pertolongan.” [QS Al Fatihah : 5].
Di dahulukan kata Iyyaaka atas kata kerja Na’budu dan Nasta’in, ialah untuk pembatas dan pengkhususan, maka maksudnya menjadi Laa Na’budu illa iyyaaka walaa nasta’iinu illa bika yaa Allah, wanakhusshuka bil ‘ibaadah wal ‘Isti’aanah wahdaka. ( kami tidak menyembah siapa pun kecuali hanya kepada-Mu. Kami tidak memohon pertolongan kecuali hanya kepada-Mu, ya Allah. Dan hanya kepada-Mu saja kami memohon beribadah serta memohon pertolongan).
  1. MEMAHAMI NASH AL QUR’AN DENGAN ASBABUN NUZUL
Mengetahui Asbabun Nuzul (peristiwa yang melatari turunnya ayat) sangat membantu sekali dalam memahami Alquran dengan benar.
Sebagai contoh, ayat yang artinya : “ katakanlah : panggilah mereka yang kamu anggap sebagai (Tuhan) selain Allah, mereka tidak akan meiliki kekuasaan untuk menghilangkan bahaya darimu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara meraka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan Rahmat-Nya, serta takut akan Adzb-Nya. Karena adzab Tuhanmu itu sesuatu yang mesti ditakuti.” [QS.Al-Israa’ :56-57].
Ibnu Mas’ud berkata : Segolongan manusia ada yang menyembah segolongan Jin, lantas sekelompok Jin utu masuk Islam. Karena yang lain tetap bersikukuh dengan peribadahannya, maka turunlah ayat “ Orang-orang yang mereka seru itu juga mencari jalan kepada Tuhan Mereka [Muttafaqun’Alaihi].
Ayat itu sebagai bantahan terhadap orang-orang yang menyeru dan bertawassul kepada para Nabi atau para Wali. Namun, sekiranya orang-orang itu bertawassul kepada keimanan dan kecintaan mereka kepada para Nabi atau Wali, maka Tawassul semacam ini di bolehkan.
Wallahu’alam bis Showab

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel