tafsir Tarbawi "Menyantuni Anak Yatim Dan Peduli Fakir Miskin QS AL-MA’UN (1-3)"
Menyantuni Anak Yatim Dan Peduli Fakir Miskin
QS AL-MA’UN (1-3)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang mengatur hidup dan kehidupan manusia. Salah satu ajarannya adalah memberi jaminan kepada mereka yang membutuhkan biaya atau nafkah dengan cara menyantuninya. Bukan hanya memberikan harta atau materi namun juga memberikan perhatian dan jaminan kehidupan. Memperhatikan kaum fakir, miskin dan anak yatim, Menolong masayarakat bawah sebagaimana dianjurkan dalam ayat al-Quran merupakan salah satu dasar dari dasar-dasar dibangunkan ekonomi islam. Mereka yang tidak mampu saharusnya dijamin oleh negara maupun masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai pemerataan kesejahteraan serta tegaknya keadilan. Sebagaimana Alloh berfirman dalam al-Quran “Janganlah harta hanya beredar diantara orang yang kaya-kaya saja diantara kamu”. Pemerataan dan keadilan yang dimaksud bukanlah rata dalam jumlah, namun rata dalam peredarannya. Untuk itu Islam mewajibkan menunaikan zakat dan shodaqoh, terlebih dengan mengutamakan keluarga atau kerabat yang kurang mampu. Tidak ada kemaslahan manusia kecuali dengan sebab islam. Tidak ada agama lain selain Islam yang mengatur penggunaan harta dengan detil. Namun, kewajiban menyantuni fakir, miskin dan yatim melalui fasilitas zakat dan shodaqoh belumnya berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan kebodohan (kejahilan) dalam memahami agama islam. Begitu banyak kemiskinan dan kefakiran, serta anak yatim yang terdholimi di lingkungan di mana kita berada. Sungguh sedikit jumlah orang yang mengeluarkan zakat dibanding jumlah umat islam keseluruhan.
B. Judul
Pendidikan Etika Global “Santuni Anak Yatim dan Peduli Fakir Miskin”
C. Nash [QS. Al-Ma’un/107: 1-3]
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (1) فَذَلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (2) وَلَا يَحُضُّ عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (3)
D. Arti
1. Tahukah kamu orang yang mendustakan agama?
2. Itulah orang yang menghardik anak yatim.
3. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin.
E. Arti Penting Untuk Dikaji
Pentingnya dari mengkaji surah ini tidak lain untuk mengingatkan kita sebagai umat manusia bahwa pengingkaran terhadap hari kebangkitan merupakan sumber segala kejahatan, dan bahwa ibadah ritual disamping memiliki bentuknya yang formal, juga memiliki substansi yang selalu harus menyertainya, yang mana tanpa substansi itu ibadah tersebut tidak banyak artinya. Seperti halnya yang diuraikan dalam ayat ini yaitu kecaman terhadap mereka yang tidak memerhatikan anak yatim dan kaum lemah serta melupakan substansi shalatnya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
a. Pengertian Pendidikan Etika
Pendidikan berasal dari kata didik, yaitu memelihara dan memberi latihan mengenai etika dan kecerdasan pikiran. Pendidikan etika juga dapat diartikan sebagai berikut:
1. Perbuatan mendidik etika.
2. Ilmu-ilmu mendidik, pengetahuan tentang pendidikan etika.
3. Pemeliharaan (latihan-latihan) badan, batin dan jasmani untuk belajar etika.
Pendidikan etika ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan etika secara formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan etika manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup.[1]
b. Anak yatim
Dalam tafsir al-mishbah kata al-yatim terambil dari kata yutm yang berarti kesendirian, karena itu permata yang sangat indah dan dinilai tidak ada bandinganya dinamai ad-durrah al-yatimah. Bahasa menggunakan kata tersebut untuk menunjuk anak manusia yang belum dewasa yang ayahnya telah wafat, atau anak binatang yang induknya telah tiada. Kematian ayah, bagi seorang yang belum dewasa, menjadikanya kehilangan pelindung, ia seakan-akan menjadi sendirian, sebatang kara, karena itu dinamai yatim.[2]
c. Fakir miskin
Kemiskinan merupakan permasalahan yang dihadapi oleh semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang, namun lebih banyak terjadi pada negara-negara berkembang, karena kondisi pembangunan mereka yang masih belum stabil dan sustainable. Pada umumnya kemiskinan diukur dengan tingkat pendapatan dan kebutuhan pokok minimal suatu negara, yang akan berbeda dari satu negara dengan negara lain.
Para ulama seperti malikiyah, syafi’iyah dan hanabillah mendefinisikan miskin adalah sebagai seseorang yang masih memiliki kemampuan untuk bekerja berusaha dalam rangka memperoleh harta dan menghidupi keluarganya secara halal tapi hasil yang didapat masih belum mencukupi bagi pemenuhan kebutuhan dirinya dan keluarganya. Sementara golongan hanafiyah memandang miskin sebagai orang yang tidak memiliki sesuatu (baik harta ataupun tenaga), sehingga tidak ada kemampuan dari orang tersebut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan keluarganya.
Islam memandang baik fakir maupun miskin sama-sama harus dibantu terlepas dari apapun definisinya secara bahasa. Fakir dalam persepektif islam adalah suatu keadaan yang serba kekurangan dan tidak memiliki kemampuan untuk memperbaikinya. Misalkan seseorang yang sudah tua dan tidak memiliki tenaga untuk bekerja, maka ia dapat disebut sebagai fakir. Sedangkan miskin adalah keadaan dimana seseorang sudah bekerja, tetapi masih belum mencukupi kebutuhan hidupnya. Misalkan tukang sapu jalanan tinggal dikota besar seperti jakarta dan hanya mendapat honor dibawah 500 ribu per bulan, sementara anaknya lebih dari tiga, maka honor yang didapat tidaklah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, baik itu kebutuhan pokok atau kebutuhan pendamping lain seperti halnya pendidikan.[3]
a. Kehormatan orang miskin dalam islam itu terjaga
Nasib miskin-bagaimana pun-dalam masyarakat muslim tidak mengurangi kehormatan orang dan tidak menyebabkan haknya disia-siakan. islam mengajarkan umatnya-diantaranya orang miskin sendiri-bahwa keterhormatan atau kemuliaan manusia itu bukan karena harta, emas atau perak, tetapi karena ilmu, iman, dan ketakwaanya.
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ
sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi allah ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. (QS. Al-Hujurat:13)[4]
B. TAFSIR DARI BUKU
1. Al-lubab
Pada awal surat ini allah swt berfirman dengan mengajukan satu pertanyaan yang tujuanya bukan meminta informasi tetapi untuk menggugah hati dan pikiran mitra bicara, agar memerhatikan kandungan apa yang akan disampaikan. Ayat 1 bagaikan menyatakan: Apakah engkau wahai nabi muhammad saw, atau siapa pun, telah melihat orang yang mendustakan hari kemudian atau agama? yakni beritahulah aku tentang mereka? ayat 2 bagaikan berkata: Jika engkau belum mengetahui maka ketahuilah bahwa dia itu yang sungguh jauh dari kebajikan adalah yang mendorong dengan keras, menghardik, dan memperlakukan sewenang-wenang anak yatim, dan tidak menganjurkan dirinya, keluarganya, dan orang lain memberi pangan bagi orang miskin.
Setelah menguraikan sifat buruk pengingkar agama dan hari kemudian terhadap kaum lemah, ayat-ayat berikutnya menguraikan sikap buruknya terhadap allah swt. Yang sekaligus merupakan sebab segala macam sikap buruk atau dampak sikap buruk.[5]
2. Tafsir Juz ‘Amma
Dalam surah ini, Allah swt ingin memberitahu kita tentang siapakah yang layak disebut sebagai pendusta agama, agar orang yang membenarkan agama dapat mengetahuinya secara jelas. Surah ini dimulai dengan pertanyaan, Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? ini untuk mengingatkan si pendengar bahwa hakikat hal tersebut tersembunyi bagi orang yang tertutup dari bisikan hati nuraninya sendiri, dan terkelabuhi oleh khayalanya yang sesat. pertanyaan tersebut ditunjukan kepada siapa saja yang mampu memahaminya, “Adakah jelas bagimu siapa itu si pendusta agama?”
Ayat Itulah orang yang menghardik anak yatim....Yakni yang mengusir si yatim atau mengeluarkan ucapan-ucapan keras ketika ia datang kepadanya meminta sesuatu yang diperlukan. Semata-mata karena meremehkan kondisinya yang lemah dan tiadanya orang tua yang mampu membelanya dan memenuhi keperluanya. juga terdorong oleh kesombonganya karena menganggap dirinya lebih kuat dan lebih mulia. Sedangkan menurut kebiasaan, kondisi seorang anak yatim merupakan gambaran tentang kelemahan dan keperluan kepada pertolongan. Maka siapa saja yang menghinanya, ia telah menghina setiap manusia yang lemah, dan meremehkan setiap yang memerlukan pertolongan.
Sifat lain dari seorang pendusta agama adalah tidak mau mengajak atau menganjurkan orang-orang lain untuk memberi makan kaum miskin. Orang seperti itu, biasanya ia sendiri juga tidak suka memberi makan mereka. Oleh sebab itu, firman allah swt., Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin,juga merupakan kiasan tentang manusia yang tidak biasa mendermakan sebagian dari hartanya kepada orang-orang miskin yang tidak cukup penghasilanya, untuk membeli makannya dan makan keluarganya. Akan tetapi harus diingat pula, bahwa seseorang yang disebut miskin bukanlah orang yang meminta anda memberinya sesuatu, sementara ia memiliki kemampuan untuk memperoleh makannya. Orang seperti itu, sesungguhnya disebut mulhif ; yaitu yang meminta-minta sambil mendesak orang lain agar memberinya, sementara ia masih memiliki cukup uang untuk keperluan harianya. Karenanya, tidak ada salahnya apabila seseorang memalingkan diri dari orang mulhif seperti itu dan menolak memberinya apa yang ia minta. agar menjadi pelajaran baginya.[6]
3. Tafsir jalalain
1. أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ (Tahukah kamu orang yang mendustakan hari pembalasan?) atau adanya hari hisab dan hari pembalasan amal perbuatan. Maksudnya, apakah kamu mengetahui orang itu? Jika kamu belum mengetahui.
2. فَذَلِكَ (-maka dia-itulah) sesudah huruf fa ditetapkan adanya lafadz huwa, artinya: Maka dia itulah - الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ (orang yang menghardik anak yatim) yakni menolaknya dengan keras dan tidak mau memberikan hak yang seharusnya ia terima.
3. وَلَا يَحُضُّ (Dan tidak menganjurkan) dirinya atau orang lain - عَلَى طَعَامِ الْمِسْكِينِ (memberi makan orang miskin) ayat ini diturunkan berkenaan dengan orang-orang yang bersikap demikian, yaitu Al-as ibnu Wa-il atau Al-Walid ibnu Mughirah.[7]
C. Aplikasi dalam kehidupan
Sebagai generasi muslim alangkah baiknya jikalau kita bisa memberi apa yang kita miliki kepada mereka yang membutuhkan, baik itu berupa harta, tenaga, atau ilmu yang kita peroleh dari bangku pendidikan. Sadari bahwa semua apa yang kita miliki itu hanya karunia allah yang dititipkan kepada kita. Adanya kita memberi sesuatu kepada orang lain tidak akan mengurangi sedikitpun dari apa yang dimilikinya, itu semua merupakan bukti syukur kepada allah swt atas segala nikmat yang telah diberikan-NYA kepada kita.
D. Aspek Tarbawi
1. Salah satu bukti utama kesadaran beragama adalah memberi perhatian kepada kaum yang lemah. Siapa yang tidak menyadari dan melakukan langkah konkret menyangkut hal tersebut, maka keberagamaanya tentang hari kemudiandinilai tidak ada atau tidak berbekas.
2. Tidak ada peluang sekecil apa pun bagi setiap orang untuk tidak memerhatikan sehingga mengundangnya berpartisipasi dan merasakan kepedihan kaum lemah. Partisipasi tersebut paling sedikit dalam bentuk anjuran kepada yang mampu untuk memberi mereka bantuan.
3. Syarat pokok sekaligus tanda utama dari pemenuhan hakikat sholat adalah keikhlasan melakukanya demi karena allah swt. Serta merasakan kebutuhan kaum lemah yang membuahkan dorongan membantu mereka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendidikan etika ialah proses membimbing manusia dari kegelapan, kebodohan, untuk mencapai pencerahan pengetahuan. Dalam arti luas pendidikan etika secara formal meliputi segala hal yang memperluas pengetahuan etika manusia tentang dirinya sendiri dan tentang dunia tempat mereka hidup. Salah satu bentuk dari pendidikan etika disini yaitu dengan menyantuni anak yatim dan peduli pada fakir miskin. Menolong masayarakat bawah sebagaimana dianjurkan dalam ayat al-Quran merupakan salah satu dasar dari dasar-dasar dibangunkan ekonomi islam. Mereka yang tidak mampu saharusnya dijamin oleh negara maupun masyarakat. Hal ini dimaksudkan untuk mencapai pemerataan kesejahteraan serta tegaknya keadilan.
Daftar Pustaka
Al-Mahalli, Imam Jalaluddin dan Imam Jalaluddin As-Suyuti. 2010. Terjemah Tafsir Jalalain. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Al-Arif, M Nur Riyanto. 2010. Teori Makroekonomi Islam. Bandung : Alfabeta.
Shihab, M Quraish. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta : Lentera Hati.
Shihab, M Quraish. 2012. Tafsir Al-Lubab. Tanggerang : Lentera Hati.
Abduh, Muhammad. 1998. Tafsir Juz ‘Amma. Bandung : Penerbit Mizan.
Abdullah, Yatimin. 2006. Pengantar Studi Etika. Jakarta: Grafindo Persada.
Qardhawi, Yusuf. 2010. Shadaqah (Cara Islam Mengentaskan Kemiskinan ). Bandung : Remaja Rosdakarya.
[1] Yatimin Abdullah, Pengantar Studi Etika, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 55-56.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm. 547.
[3] M. Nur Rianto Al Arif, Teori Makroekonomi Islam, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 1, hlm. 226-227.
[4] Yusuf Qardhawi, Shadaqah, Cara islam Mengentaskan Kemiskinan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 191.
[5] M. Quraish Shihab, Al-Lubab, (Tanggerang: Lentera Hati, 2012), hlm. 760
[6] Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz ‘Amma, (Bandung: Penerbit Mizan, 1998) hlm. 330-331
[7] Imam jalaluddin Al-Mahalli dan Imam Jalaluddin As-Suyuti, Terjemahan Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 2010), jilid 2, hlm.