Peran Agama dalam Penanggulangan Kesehatan Jiwa
PERAN AGAMA DALAM PENANGGULANGAN KESEHATAN JIWA
Situasi krisis multi-dimensi yang dialami masyarakat Indonesia sejak satu dasawarsa terakhir menimbulkan dampak kejiwaan masyarakat yang sangat luas. Berbagai studi menunjukkan adanya kecenderungan meningkatnya gangguan kesehatan jiwa masyarakat Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar tahun 2007 mencatat bahwa gangguan mental emosional (depression and anxiety) dialami oleh sekitar 11,6% populasi usia di atas 15 tahun. Artinya, terdapat 24.708.000 orang. Sedangkan sekitar 1.065.000 orang atau 0,48% populasi mengalami gangguan jiwa berat (psikosis). Diperkirakan, peningkatan jumlah pengidap gangguan jiwa cukup tajam pasca Pemilu tahun 2004 dan 2009. Banyak calon legislatif (Caleg) di hampir semua partai yang tidak jadi mengalami gangguan jiwa, mulai dari dari yang ringan sampai berat.
Sebuah proyek yang berjudul Global Burden of Disease yang disponsori oleh WHO menyatakan bahwa gangguan jiwa dalam bentuk depresi menempati urutan keempat sebagai penyebab ketidakmampuan seseorang dalam menjalani fungsi kehidupannya sehari-hari. Diramalkan pada tahun 2020, depresi akan meningkat, sehingga menempati urutan kedua. Depresi adalah salah satu bentuk gangguan jiwa yang banyak dialami oleh orang berusia antara 15-44 tahun. Diperkirakan dewasa ini ada sekitar 10-15% penderita depresi dari kalangan perempuan dan 5-12% penderita laki-laki.
Menurut kajian literatur tentang kesehatan jiwa, berbagai faktor penyebab terganggunya kesehatan jiwa muncul dari faktor internal dan eksternal. Keduanya saling mempengaruhi dan dapat menyebabkan jiwa yang sakit, sehingga menyebabkan gangguan jiwa dan penyakit jiwa. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri seseorang, seperti sifat, bakat, keturunan dan sebagainya. Sedangkan faktor eksternal merupakan faktor yang berada di luar diri yang dapat mempengaruhi jiwa seseorang, seperti masalah keluarga, masayarakat, ekonomi, hukum, politik, sosial, budaya, agama, pendidikan, pekerjaan, dan sebagainya.
Fenomena gangguan kesehatan jiwa jelas mempengaruhi indeks pembangunan manusia (Human developmental Index/HDI) dan kemampuan daya saing bangsa Indonesia. Namun sayangnya, hal tersebut belum mendapat perhatian pemerintah secara serius untuk menanggulangi secara integral dan holistik. Bahkan pada tataran regional dan global juga belum mendapatkan perhatian yang baik. Hal ini dapat dilihat dari proporsi alokasi anggaran untuk kesehatan jiwa yang rata-rata masih sangat kecil dibandingkan total anggaran untuk kesehatan fisik. Demikian juga belum ada payung hukum atau Undang-undang yang secara khusus mengatur tentang hal ini. Sehingga, tingginya angka pengidap gangguan jiwa masyarakat tidak maksimal untuk ditanggulangi.
Oleh karena itu, kondisi tersebut mendorong perlunya upaya secara nyata dan mendesak bagi kebutuhan masyarakat akan peningkatan kesehatan jiwa. Yang dimaksud dengan kesehatan jiwa di sini harus melingkupi aspek-aspek kehidupan sejak lahir hingga kematian, yaitu: kemampuan berpikir, kemampuan berkomunikasi, kemampuan belajar, perkembangan emosional, kelenturan diri, harga diri, serta kebahagiaan spiritual.
Peran Agama terhadap Kesehatan Jiwa
Sehat (health) sejatinya merupakan konsep yang tidak mudah diartikan, sekalipun dapat dirasakan dan diamati keadaannya. Sebagai contoh, orang yang tidak memiliki keluhan fisik dipandang sebagai orang yang sehat. Sebagian masyarakat juga beranggapan bahwa orang yang “gemuk” adalah orang yang sehat, dan sebagainya. Artinya, faktor subyektifitas dan kultural ikut membentuk pemahaman dan pengertian orang terhadap konsep sehat itu sendiri.
Sebagai satu acuan untuk memahami konsep “sehat”, World Health Organization(WHO) merumuskan dalam cakupan yang sangat luas, yaitu “keadaan yang sempurnan baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan atau cacat”. Dalam definisi ini, sehat bukan sekedar terbebas dari penyakit atau cacat. Orang yang tidak berpenyakit pun belum tentu dikatakan sehat. Semestinya, dalam keadaan yang sempurna, baik fisik, mental, maupun sosial.
Pengertian sehat yang dikemukan oleh WHO ini merupakan suatu keadaan ideal, dari sisi biologis, psiologis, dan sosial. Jika demikian adanya, apakah ada seseorang yang berada dalam kondisi sempurna secara bio-psikososial? Untuk mendapat orang yang berada dalam kondisi kesehatan yang sempurna itu sulit sekali, namun yang mendekati pada kondisi ideal tersebut ada.
Dalam kaitan dengan konsepsi WHO tersebut, maka dalam perkembangan kepribadian seseorang memiliki empat dimensi holistik, yaitu agama, organobiologik, psiko-edukatif dan sosial budaya. Keempat dimensi holistik tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pertama, organo-biologik, mengandung arti fisik (tubuh/jasmani) termasuk susunan syaraf pusat (otak), yang perkembangannya memerlukan makanan yang bergizi, bebas dari penyakit, yang kejadiannya sejak dari pembuahan, bayi dalam kandungan, kemudian lahir sebagai bayi, dan setrusnya melalui tahapan anak (balita), remaja, dewasa dan usia lanjut. Kedua, psiko-edukatif, adalah pendidikan yang diberikan oleh orang tua (ayah dan ibu) termasuk pendidikan agama. Orang tua merupakan tokoh imitasi dan identifikasi anak terhadap orang tuanya. Perkembangan kepribadian anak melalui dimensi psiko-edukatif ini berhenti hingga usia 18 tahun.
Ketiga, agama atau spiritual, yang merupakan fitrah manusia. Ini merupakan fitrah manusia yang menjadi kebutuhan dasar manusia (basic spiritual needs), mengandung nilai-nilai moral, etika dan hukum. Atau dengan kata lain seseorang yang taat pada hukum, berarti ia bermoral dan beretika, seseorang yang bermoral dan beretika berarti ia beragama (no religion without moral, no moral without law). Keempat, sosial-budaya, selain dimensi psiko-edukatif di atas kepribadian seseorang juga dipengaruhi oleh kultur budaya dari lingkungan sosial yang bersangkutan dibesarkan.
Dari konsepsi tersebut, nampak jelas bahwa agama memiliki peran yang sangat signifikan terhadap kesehatan, baik fisik maupun jiwa. Jika dilihat dari substansinya, agama sesungguhnya merupakan sebuah ajaran dimana setiap pemeluknya dianjurkan untuk selalu berbuat baik. Semua penganut agama yang mempercayaai ajaran dan melaksanakan ajarannya senantiasa melaksanakan segala hal yang ada dalam ajaran tersebut. Sehingga, manusia tidak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi agama. Teori tersebut sesuai dengan apa yang pernah dikemukakan oleh Victor Frankle, eksistensi manusia ditandai oleh tiga faktor, yaitu: spirituality (kerohanian), freedom(kebebasan), dan responsibility (tanggung jawab).
Pandangan Frankle di atas dengan tegas membantah pandangan Sigmund Freud (seorang psikolog Barat yang sangat terkenal dengan teori psikoanalisis-nya) yang menganggap agama sebagai ilusi, dan penganutnya mengidap neurosis dan bersifat infantilis. Baginya, agama adalah sesuatu yang sia-sia, tidak berguna dan merusak perkembangan kepribadian manusia. Agama dipandang sebagai proses sublimasi dari konflik yang terjadi pada masa kanak-kanak antara orang tua dan anaknya (oedipus complex). Bahkan, Freud berani mengatakan bahwa bukan Tuhan yang menciptakan manusia, tetapi manusia lah yang menciptakan Tuhan.
Pandangan Freud tersebut jelas menurunkan derajat agama dan para penganutnya. Selain karena Freud tergolong orang yang tidak menyakini adanya Tuhan (atheis), Freud melihat agama hanya dalam satu sudut pandang mental, dimana unsur-unsur keyakinan dipandang sebagai salah satu problem psikologis. Demikian juga mayoritas psikolog Barat hanya mendasarkan psikologi pada aspek-aspek empiris-positivistik. Sehingga, unsur keyakinan agama dianggap sebagai salah satu problem psikologis, yang juga berimplikasi pasa pemaknaan kesehatan (jiwa) secara umum.
Dalam konteks ini, pandangan Freud dan sarjana Barat sekular sangat berbahaya karena menjadikan agama sebagai salah satu titik penting gangguan kesehatan jiwa itu sendiri. Sementara dalam banyak studi tentang peran agama terhadap kesehatan jiwa telah dibuktikan secara empiris juga.
Dadang Hawari (1999) menyebutkan, di Amerika terdapat sekitar 10 juta penduduknya yang mengalami depresi mental. Salah satu penyebabnya adalah stresor psiko-sosial sebagai dampak pola hidup yang sekular, materialistis, dan individual. Dalam hal ini, pendekatan keagamaan sangat besar manfaatnya, antara lain agar mereka tidak merasa hidup sendiri, dalam keterasingan masyarakat moderen yang hiruk pikuk. Mereka dapat bergabung dalam sebuah komunitas religius dan kembali mengenal Tuhannya dengan mengamalkan berdoa dan berzikir untuk mengatasi keputusasaan.
Bahkan pada tahun 1995, sebuah penelitian dilakukan terhadap 33 pasien psikiatrik seperti skizofrenia, gangguan bipolar, depresi unipolar, serta gangguan skizoafektif, dan gangguan kepribadian. 57% dari mereka mengikuti kegiatan keagamaan dan berdoa setiap hari. Hasilnya, sebanyak 83% merasa bahwa keimanan terhadap agama memiliki pengaruh yang positif terhadap penyakitnya. Demikian juga telah juga dibuktikan bahwa amalan-amalan keagamaan, seperti shalat, puasa, zikir, sedekah dan lain-lain memberikan sumbangan yang sangat penting, bahkan terpenting terhadap kesehatan jiwa seseorang. Wallahu a’lam.
Sumber : http://paifpijay.blogspot.co.id