ULAMA WAHABI SALAFY : IBNU TAIMIYAH, BIN BAZ, ALBANI & UTSAIMIN, SALING MEMBID’AHKAN

Di sadur dari : http://generasisalaf.wordpress.com/2013/02/13/ulama-wahabi-salafy-ibnu-taimiyah-bin-baz-albani-utsaimin-saling-membidahkan/?relatedposts_exclude=4898
permusuhan salafy
Entah sudah berapa ulama dari golongan Salafy yang akan masuk ke neraka karena telah berbuat bid’ah & dihukumkan bid’ah (kesesatan yang berujung pada neraka) oleh Ulama Salafy Sendiri
Gampang & entengnya memvonis bid’ah (sesat & pelakunya masuk neraka), syirik, khurafat bahkan kafir kepada saudara muslim, atau bahkan para ‘alim ulama, yang kemudian di ikuti (baca : taqlid buta) oleh para jamaahnya tanpa memeriksa dengan seksama, menasehati dengan baik atau bahkan menganggap buta mata hati saudara muslimnya, hingga akhirnya Allah membalas mereka yang telah berbuat zhalim, tuduhan fitnah yang keji & kejam, tak hanya kepada sesama jamaahnya akan tetapi telah sampai tahap antar ulama mereka sendiri. Inilah akibat memisahkan diri dari jamaah mazhab, ahlusssunnah wal jama’ah. berikut perbedaan fatwa dan pendapat mereka yang telah menjurus kepada pembid’ahan. Lihatlah ulama – ulama yang di nilai akan masuk neraka karena telah berbuat sesat (bid’ah) oleh ulam Salafy sendiri karena fatwa – fatwanya.
1. UTSAIMIN DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENSUNNAHKAN AZAN JUM’AT 2 KALI
al-Albani dalam kitabnya al-Ajwibah al-Nafi’ah, menilai azan sayyidina Utsman ini sebagai bid’ah yang tidak boleh dilakukan.Tentu saja, pendapat aneh al-Albani yang kontroversial ini mendapatkan serangan tajam dari kalangan ulama termasuk dari sesama Wahhabi. Dengan pandangannya ini, berarti al-Albani menganggap seluruh sahabat dan ulama salaf yang saleh yang telah menyetujui azan sayidina Utsman sebagai ahli bid’ah. Bahkan Ulama Wahhabi yaitu al-’Utsaimin sendiri, sangat marah al-Albani, sehingga dalam salah satu kitabnya menyinggung al-Albani dengan sangat keras dan menilainya tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali:
“ثم يأتي رجل في هذا العصر، ليس عنده من العلم شيء، ويقول: أذان الجمعة الأول بدعة، لأنه ليس معروفاً على عهد الرسول صلي الله عليه وسلم، ويجب أن نقتصر على الأذان الثاني فقط ! فنقول له: إن سنة عثمان رضي الله عنه سنة متبعة إذا لم تخالف سنة رسول الله صلي الله عليه وسلم، ولم يقم أحد من الصحابة الذين هم أعلم منك وأغير على دين الله بمعارضته، وهو من الخلفاء الراشدين المهديين، الذين أمر رسول الله صلي الله عليه وسلم باتباعهم.”
“ada seorang laki-laki dewasa ini yang tidak memiliki pengetahuan agama sama sekali mengatakan, bahwa azan Jumaat yang pertama adalah bid’ah, kerana tidak dikenal pada masa Rasul , dan kita harus membatasi pada azan kedua saja! Kita katakan pada laki-laki tersebut: sesungguhnya sunahnya Utsman R.A adalah sunah yang harus diikuti apabila tidak menyalahi sunah Rasul SAW dan tidak di tentang oleh seorangpun dari kalangan sahabat yang lebih mengetahui dan lebih ghirah terhadap agama Allah dari pada kamu (al-Albani). Beliau (Utsman R.A) termasuk Khulafaur Rasyidin yang memperoleh pentunjuk, dan diperintahkan oleh Rasullah SAW untuk diikuti”. Lihat: al-‘Utsaimin, Syarh al-’Aqidah al- Wasîthiyyah (Riyadl: Dar al-Tsurayya, 2003) hal 638.
2. BIN BAZ DI  NILAI BID’AH (SESAT) OLEH UTSAIMIN KARENA MEMBOLEHKAN BERDOA MENGHADAP KUBUR NABI SAW
Para ulama Wahabi Salafy khususnya Utsaimin dalam salah satu kitabnya melarang berdoa menghadap kubur Nabi SAW, akan tetapi hal ini ditolak oleh Bin Baz.
Dalam salah satu fatwa Bin Baz dikutip
Pertanyaan no.624: ”Apakah dilarang ketika berdoa untuk mayit dengan menghadap ke kuburannya?”
Jawaban:”
Tidak dilarang !! Bahkan mendoakan mayit dengan menghadap kiblat atau menghadap kuburnya itu terserah. Karena Nabi Muhammad saw pernah pada suatu hari setelah prosesi pemakaman beliau berdiri diatas kuburnya dan bersabda:
“Mohonkanlah ampunan untuk saudara kalian ini, dan mintakanlah ketetapan imannya, karena dia sekarang sedang di tanyai (oleh malaikat-pen). Dalam kejadian ini Nabi saw tidak mengatakan:
“Menghadaplah kalian ke arah kiblat…..!! (kemudian berdoa-pen). Oleh sebab itu, maka semuanya boleh, entah itu menghadap kiblat atau menghadap kuburan. Dan para sahabatpun telah berdoa untuk mayit dengan berkumpul disekitar kuburannya.
3. UTSAIMIN, BIN BAZ & IBNU TAIMIYAH  DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENSUNNAHKAN TARAWIH 20 RAKAAT 
ALBANI & hampir seluruh jamaah Wahabi – Salafy membid’ahkan perkara sholat tarawih 20 rokaat, sunnahnya 11 rakaat, tapi anggapan bid’ah ini di tepis oleh sesama ulama Salafy sendiri
Berikut ini adalah penjelasan Syaikh Ibnu Baz tentang masalah ini:
ومن الأمور التي قد يخفى حكمها على بعض الناس:
ظن بعضهم أن التراويح لا يجوز نقصها عن عشرين ركعة،
“Di antara hal yang hukumnya tidak diketahui oleh sebagian orang adalah anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh kurang dari 20 rakaat
.وظن بعضهم أنه لا يجوز أن يزاد فيها على إحدى عشرة ركعة أو ثلاث عشرة ركعة، وهذا كله ظن في غير محله بل هو خطأ مخالف للأدلة.
Demikian pula anggapan sebagian orang bahwa shalat tarawih itu tidak boleh lebih dari 11 atau 13 rakaat. Kedua anggapan ini adalah anggapan yang tidak pada tempatnya bahkan keduanya adalah anggapan yang menyelisihi banyak dalil.
وقد دلت الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم على أن صلاة الليل موسع فيها ، فليس فيها حد محدود لا تجوز مخالفته،
Terdapat banyak hadits yang sahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan bahwa bilangan rakaat shalat malam itu longgar, tidak ada batasan baku yang tidak boleh dilanggar.
بل ثبت عنه صلى الله عليه وسلم أنه كان يصلي من الليل إحدى عشرة ركعة، وربما صلى ثلاث عشرة ركعة، وربما صلى أقل من ذلك في رمضان وفي غيره.
Bahkan terdapat riwayat yang sahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau shalat malam sebanyak 11 rakaat dan terkadang 13 rakaat. Terkadang pula beliau shalat malam kurang dari 11 rakaat ketika Ramadhan atau pun di luar Ramadhan.
ولما سئل صلى الله عليه وسلم عن صلاة الليل قال: مثنى مثنى ، فإذا خشي أحدكم الصبح صلى ركعة واحدة توتر له ما قد صلى . متفق على صحته .
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang shalat malam, beliau mengatakan, “Shalat malam itu dua rakaat salam, dua rakaat salam. Jika kalian khawatir waktu subuh tiba maka hendaknya dia shalat sebanyak satu rakaat sebagai witir untuk shalat malam yang telah dia kerjakan” (HR Bukhari dan Muslim)..
ولم يحدد ركعات معينة لا في رمضان ولا في غيره،
Jadi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menentukan jumlah rakaat tertentu untuk shalat malam di bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan.
ولهذا صلى الصحابة رضي الله عنهم في عهد عمر رضي الله عنه في بعض الأحيان ثلاثا وعشرين ركعة، وفي بعضها إحدى عشرة ركعة،
Oleh karena itu para sahabat di masa Umar terkadang shalat tarawih sebanyak 23 rakaat dan terkadang sebanyak 11 rakaat.
كل ذلك ثبت عن عمر رضي الله عنه وعن الصحابة في عهده.
Kedua riwayat tersebut adalah riwayat yang sahih dari Umar dan para sahabat di masa Umar.
وكان بعض السلف يصلي في رمضان ستا وثلاثين ركعة ويوتر بثلاث،
Sebagian salaf ketika bulan Ramadhan shalat tarawih sebanyak 36 rakaat terus ditambah witir 3 rakaat.
وبعضهم يصلي إحدى وأربعين،
Sebagian salaf yang lain shalat tarawih sebanyak 41 rakaat.
ذكر ذلك عنهم شيخ الإسلام ابن تيمية رحمه الله وغيره من أهل العلم،
Kedua riwayat di atas disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan para ulama selainnya.
كما ذكر رحمة الله عليه أن الأمر في ذلك واسع، وذكر أيضا أن الأفضل لمن أطال القراءة والركوع والسجود أن يقلل العدد، ومن خفف القراءة والركوع والسجود زاد في العدد، هذا معنى كلامه رحمه الله.
Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa permasalahan bilangan shalat malam adalah permasalahan yang ada kelonggaran di dalamnya. Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa yang paling afdhol bagi orang yang mampu untuk berdiri, ruku dan sujud dalam waktu yang lama adalah mempersedikit jumlah rakaat yang dia lakukan. Sedangkan orang yang berdiri, ruku dan sujudnya tidak lama hendaknya memperbanyak jumlah rakaat yang dikerjakan. Inilah inti dari perkataan Ibnu Taimiyyah dalam masalah ini.
Utsaimin
Utsaimin juga mensunnahkan akan tarawih brjumlah lebih dari 20 rakaat.
Tanya : Jika ada seorang shalat tarawih di belakang imam yang melebihi 11 rakaat, haruskah ia mengikuti shalatnya imam ataukah ia berpaling dari imam setelah ia menyempurnakan 11 rakaat di belakangnya ??
Jawab : Sunnahnya dia tetap mengikuti imam walaupun lebih dari 11 rakaat. Karena jika dia berpaling sebelum selesainya imam dari shalatnya, dia tak mendapatkan pahala qiyamul lailnya. Dan Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
“Barangsiapa yang shalat bersama imam sampai imam itu selesai dari shalatnya maka ditulis untuknya pahala shalat lailnya” (HR. Abu Dawud No. 1375, Tirmidzi No. 706)
4. UTSAIMIN & IBNU TAIMIYAH DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KARENA  MENGATAKAN MENGIRIM DOA & PAHALA BACAAN QUR’AN UNTUK MAYIT SAMPAI
Dalam banyak artikel di web & buku – buku Salafy, terlihat bahwa tidak sampainya pengiriman bacaan Qur’an & doa kepada mayyit, tetapi hal ini disangkal oleh Ibnu Taimiyah & Utsaimin, berikut pernyataan Utsaimin.
وأما القراءة للميت بمعنى أن الإنسان يقرأ و ينوي أن يكون ثوابها للميت، فقد اختلف العلماء رحمهم الله هل ينتفع بذلك أو لا ينتفع؟ على قولين مشهورين الصحيح أنه ينتفع، ولكن الدعاء له أفضل
“Pembacaan al-Qur’an untuk orang mati dengan pengertian bahwa manusia membaca al-Qur’an serta meniatkan untuk menjadikan pahalanya bagi orang mati, maka sungguh ulama telah berselisih pendapat mengenai apakah yang demikian itu bermanfaat ataukah tidak ? atas hal ini terdapat dua qaul yang sama-sama masyhur dimana yang shahih adalah bahwa membaca al-Qur’an untuk orang mati memberikan manfaat, akan tetapi do’a adalah yang lebih utama (afdlal).”Sumber : Majmu Fatawa wa Rasaail [17/220-221] karya Muhammad bin Shalih al-Utsaimin [w. 1421 H]Perhatikan, Ibn Taimiyah dalam kumpulan fatwa-fatwanya ngomong begini: ”Bacaan al-Qur’an yang akan sampai (bermanfaat bagi mayit) adalah yang dibacakan ikhlas karena Allah”. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300)Pada halaman yang sama dia juga ngomong begini: ”Barangsiapa membaca al-Qur’an ikhlas karena Allah lalu ia hadiahkan pahalanya untuk mayit maka hal itu dapat memberikan manfaat baginya”. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 300).
Pada halaman lainnya dia ngomong lagi: “Akan sampai kepada mayit bacaan (al-Qur’an) dari keluarganya, bacaan tasbih mereka, bacaan takbir mereka, dan seluruh bacaan dzikir mereka jika memang mereka menghadiahkan pahala bacaan tersebut bagi mayit itu. Itu semua akan sampai kepadanya”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 324).
Di halaman lainnya dia berfatwa begini: “Allah tidak menyatakan bahwa seseorang tidak dapat mengambil manfaat kecuali dengan jalan usahanya sendiri. Tetapi yang difirmankan oleh-Nya adalah:
وَأَن لَّيْسَ لِلإِنسَانِ إِلاَّمَاسَعَى (النجم: 39)
Yang dimaksud ayat adalah bahwa seseorang tidak dapat MEMILIKI sesuatu apapun dari suatu kebaikan kecuali hasil usahanya sendiri, adapun yang bukan dari usahanya sendiri maka ia TIDAK DAPAT MILIKI-nya. Maka hasil usaha orang lain adalah MILIK orang itu sendiri, bukan milik siapapun. Perumpamaannya pada harta; seseorang hanya dapat MEMILIKI hartanya sendiri, dan ia dapat mengambil manfaat dari harta yang ia MILIKI tersebut, harta tersebut bukan MILIK orang lain, harta dia MILIK dia, harta orang lain MILIK orang lain. Akan tetapi bila seseorang berderma bagi orang lain dengan hartanya tersebut maka tentunya hal itu dibolehkan (dan memberikan manfaat bagi orang lain tersebut). Demikian pula bila seseorang berderma bagi orang lain dengan usahanya maka tentu itu juga memberikan manfaat bagi orang lain tersebut; sebagaimana seseorang akan memberikan manfaat bagi orang lain dengan jalan doa baginya, dan atau dengan jalan bersedekah baginya. Orang yang dituju (dengan doa atau sedekah) tersebut akan mengambil manfaat, dan akan sampai kepadanya segala kebaikan dari setiap orang muslim; baik orang-orang dari kerabatnya atau lainnya (jika memang ditujukan/dihadiahkan/didermakan baginya), sebagaimana seseorang (mayit) mengambil manfaat dari pekerjaan shalat dari orang-orang yang menshalatkannya, dan atau dari doa mereka baginya di sisi kuburnya”. (Majmu’ Fatawa Ibn Taimiyah, j. 24, h. 367)
Dan pada akhirnya Ibnu Taimiyah menolak anggapan bid’ah & tidak sampainya bacaan Qur’an kepada Mayyit, dan menyerang balik mereka, seperti berikut:
Para imam telah sepakat bahwa mayit bisa mendapat manfaat dari hadiah orang lain. Ini termasuk hal yang pasti diketahui dalam agama Islam, dan telah ditunjukkan dengan dalil kitab, sunnah, dan ijma’ (konsensus) ulama’. Barang siapa menentang hal tersebut, maka dia termasuk ahli bid’ah”
5. IBNU TAIMIYAH DI NILAI MELAKUKAN BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI, UTSAIMIN, BIN BAZ, DLL KARENA MENGANJURKAN MAULID NABI SAW
Bin Baz, Albani, Utsaimin dan hampir mayoritas ulama akhir dari golongan Wahabi – Salafy menyatakan bid’ahnya Maulid Nabi Saw, tetapi hal ini justru dibantah oleh Ibnu Taimiyah, seperti berikut ini
Ibnu Taymiyah berkata :
فتعظيم المولد واتخاذه موسمًا قد يفعله بعض الناس، ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده، وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه واله وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW”. [Lihat kitab Iqtidha' Shirathil Mustaqim : 297].
Ibnu Taymiyah juga berkata :
فتعظيم المولد واتخاذه موسماً قد يفعله بعض الناس ويكون لهم فيه أجر عظيم لحسن قصدهم وتعظيمهم لرسول الله صلى الله عليه وسلم
“Adapun mengagungkan maulid dan menjadikannya acara rutin, itu dikerjakan oleh sebagian manusia, dan mereka mendapat pahala yang besar karena tujuan baik dan pengagungannya terhadap Rasulullah SAW”. [Lihat kitab Majmu' Fatawa 23: 134].
6. BIN BAZ & ALBANI DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH UTSAIMIN & IBNU TAIMIYAH, KARENA MEMBOLEHKAN BERDOA SETELAH SHOLAT FARDHU
Pendapat Albani
Albani menghasankan hadits berdoa setelah sholat fardhu
أيُّ الدُّعاء أسمعُ؟ قال صلّى الله عليه وسلّم: «جوف الليل، وأدبار الصلوات المكتوبة»
                “Doa manakah yang paling didengar? Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Doa pada sepertiga malam terakhir, dan setelah shalat wajib.” (HR. At Tirmidzi, No. 3499. Syaikh Al Albani menghasankan hadts ini, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi, No. 3499)
Pendapat Bin Baz
Dalam Majmu’ Fatawa Ibnu Baz 11/168, Syaikh Ibnu Baz menjelaskan bahwa berdo’a tanpa mengangkat tangan dan tidak bareng-bareng (jama’i), maka tidaklah mengapa. Hal ini dibolehkan karena terdapat dalil bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berdo’a sebelum atau sesudah salam. Begitu juga untuk shalat sunnah boleh berdo’a setelahnya karena tidak ada dalil yang menunjukkan larangan hal ini walaupun dengan mengangkat tangan karena mengangkat tangan adalah salah satu sebab terkabulnya do’a. Mengangkat tangan tidak dilakukan selamanya, namun dilakukan hanya dalam beberapa keadaan saja karena tidak diketahui dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau selalu mengangkat tangan dalam setiap nafilah dan setiap perkara kebaikan.
Bantahan Utsaimin & Ibnu Taimiyah
Do’a setelah salam tidak termasuk petunjuk (ajaran) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (bid’ah). Karena Allah Ta’ala berfirman,
فَإِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلَاةَ فَاذْكُرُوا اللَّهَ
Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), berdzikirlah pada Allah.” (QS. An Nisa’ [4] : 103)
Bagi mereka yang disyariatkan setelah shalat adalah membaca dzikir-dzikir ma’tsur, bukan berdoa. Inilah pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah,   Imam Asy Syathibi, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin, dan lainnya.
7. IBNU TAIMIYAH DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI, UTSAIMIN, BIN BAZ, DLL KARENA TELAH MEMBAGI MAKNA BID’AH MENJADI DUA BID’AH HASANAH/ MAHMUDAH DAN BID’AH SAYYI’AH/MAZMUMAH
Dalam kitabnya Al Ibda’ Fi Kamali As Syar’i Wa Khothoril Ibtida’ Syeh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin berkata :
قوله (كل بدعة ضلالة) كلية, عامة, شاملة, مسورة بأقوى أدوات الشمول والعموم (كل), افبعد هذه الكلية يصح ان نقسم البدعة الى اقسام ثلاثة, أو الى خمسة ؟ ابدا هذا لايصح.
Hadits “KULLU BID’ATIN DHOLALATUN” (semua bid’ah adalah sesat), bersifat general, umum, menyeluruh (tanpa terkecuali) dan dipagari dengan kata yang menunjuk pada arti umum yang paling kuat yaitu kata-kata seluruh (Kullu). Apakah setelah ketetapan menyeluruh ini kita dibenarkan membagi bid’ah menjadi tiga bagian, atau menjadi lima bagian ? selamanya pembagian ini tidak akan pernah sah. (Syeh Muhammad bin Sholih al ‘Utsaimin, al Ibda’ fi Kamalis Syar’iy wa Khothoril Ibtida’ , hal; 13)
Hal ini justru bertolak belakang dengan pendapat Ibnu Taimiyah didalam Majmu’ Fatawa :
“DARI SINI DAPAT DIKETAHUI KESESATAN ORANG-ORANG YANG MEMBUAT CARA ATAU KEYAKINAN BARU, DAN MEREKA BERASUMSI BAHWA KEIMANAN TIDAK AKAN SEMPURNA TANPA JALAN ATAU KEYAKINAN TERSEBUT PADAHAL MEREKA TAHU BAHWA RASULULLAH TIDAK MENYEBUTKAN NYA, DAN APASAJA YANG MENYALAHI NASH ITU DINAMAKAN DENGAN BIDAH BERDASARKAN KESEPAKATAN KAUM MUSLIMIN, SEDANGKAN SESUATU / PANDANGAN YANG TIADA MENYALAHI NASH TERKADANG TIDAK DINAMAKAN BIDA’H, BERKATALAH IMAM SYAFII’ RAHIMAHULLAH “BIDAH TERBAGI DUA YANG PERTAMA BIDAH YANG MENYALAHI ALQURAN, SUNNAH, IJMA’ DAN ATSAR SEBAGIAN SAHABAT RASULULLAH SAW MAKA INI DISEBUT SEBAGAI BIDAH DHALALAH, KEDUA BIDAH YANG TIADA MENYALAHI HAL TERSEBUT DIATAS MAKA INI KADANG – KADANG DISEBUT SEBAGAI BIDAH HASANAH BERDASARKAN PERKATAAN UMAR ‘ INILAH SEBAIK2 BIDAH’ PERNYATAAN IMAM SYAFII’ INI ATAU SEUMPAMANYA TELAH DIRIWAYATKAN OLEH ALBAIHAQI DENGAN SANAD YANG SAHIH DI DALAM KITAB MADKHAL” ( MAJMU’ FATAWA JUZU’ 20 HAL 163)
Dan akhirnya Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua bagian pula, tetapi sayangnya Utsaimin tidak mengikuti pendapat ulama Salaf, Utsaimin membagi bid’ah menjadi dua bagian, yaitu bid’ah dunia dan bid’ah akhirat.
8. BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI & ULAMA SALAFY  LAIN KARENA MEMBOLEHKAN ADANYA MIHRAB DI MASJID
Fatwa ini terdapat di Fatawa Lajnah Daimah 6/252-253 terbitan Dar Balansiah, Riyadh KSA cetakan ketiga 1421 H.
المحاريب في المساجد
السؤال الأول من الفتوى رقم ( 5614 )
س: المحراب في المسجد هل كان على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟
Mihrab di Dalam Masjid
Pertanyaan pertama dalam fatwa no 5614
Tanya, “Tentang mihrab di dalam masjid apakah itu ada di masa Rasulullah?”
ج: لم يزل المسلمون يعملون المحاريب في المساجد في القرون المفضلة وما بعدها؛ لما في ذلك من المصلحة العامة للمسلمين، ومن ذلك بيان القبلة وإيضاح أن المكان مسجد.
(الجزء رقم : 6، الصفحة رقم: 253)
Lajnah Daimah mengatakan, “Kaum muslimin senantiasa membuat mihrab di dalam masjid sejak tiga masa emas (baca: shahabat, tabiin dan tabi’ tabiin) dan masa-masa sesudahnya dikarenakan adanya manfaat besar bagi kaum muslimin dengan adanya mihrab. Di antara manfaat tersebut adalah menjadi alat bantu untuk mengetahui kiblat dan alat penjelas bahwa tempat tersebut adalah masjid”
وبالله التوفيق وصلى الله على نبينا محمد وآله وصحبه وسلم.
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
عضو … نائب رئيس اللجنة … الرئيس
عبد الله بن غديان … عبد الرزاق عفيفي … عبد العزيز بن عبد الله بن باز
Fatwa ini ditandatangani oleh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz sebagai ketua Lajnah Daimah, Abdurrazzaq Afifi sebagai wakil ketua dan Abdullah bin Ghadayan sebagai anggota.
Di bantah & di Nilai bid’ah oleh Albani
Albani :
Dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa mihrab dalam masjid adalah bid’ah. Dan tidak dibenarkan membuatnya dengan maksud untuk kemaslahatan selama hal-hal yang disyariatkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam selainnya dapat menggantikan maksud itu dengan mudah dan jauh dari sifat menghias-hiasi masjid. (Silsilah Al Ahadits Adh Dhaifah wal Maudhu’ah 1/639-697 hadits nomor 448-449)
Adapun mihrab di masjid-masjid, secara nyata termasuk perbuatan bid’ah, sebab kami tidak menemukan riwayatyang menunjukkan, bahwa mihrab ada pada masa Nabi saw, bahkan telah diriwayatkan dari Nabi saw :”Jauhilah oleh kalian tempat penyembelihan ini, yaitu mihrab.” Dikeluarkan oleh Baihaqi (2/439) dengan sanad hasan. (ats-Tsamaru al-Mustathab 1/472)
Syaikh Abu Bakar Ath Thurtusi
Di dalam kitabnya Al Hawadits wal Bida’ dengan ta’liq dan tahqiq dari Syaikh Ali Hasan halaman 103 beliau mengatakan : “Dan termasuk bid’ah-bid’ah yang terjadi di dalam masjid adalah adanya mihrab-mihrab. ”
Asy-Syaikh Abdullah Mar’i (murid Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin)
Soal 3: Apa hokum mihrob di masjid-masjid ? Bagaimana pula dengan kubbah-kubbah masjid ? Apakah mihrom masih termasuk bagian dari masjid?
Jawab: Yang benar dalam masalah ini, mihrob termasuk perkara bid’ah. Demikian pula dengan kubah-kubah masjid.
Abdul Hakim Bin Amir Abdat
Dalam bukunya : BID’AH DAN SESATNYA SERTA MAKSIATNYA DALAM MASJID:
1. Membuat mihrab di masjid adalah bid’ah, sesat dan maksiat
2. Meninggikan tempat imam di mihrab masjid adalah bid’ah, sesat dan maksiat
9.  ALBANI MENSIFATI IBNU TAIMIYAH DENGAN SIFAT PEMBERANI DALAM MENDUSTAKAN HADITS SOHEH
Ibnu taemiyah telah membawakan salah satu hadis dlm kitabnya minhaj as sunnah 4/86 pada bab keutamaan Ali bin Abi thalib,maka beliau mengklaim bhw hadis tsbt tdk soheh, dgn merujuk kpd pndpt ibnu hazm, inilah perkataannya:
ﻭﺍﻣﺎ ﻗﻮﻟﻪ : (ﻣﻦ ﻛﻨﺖ ﻣﻮﻻﻩ ﻓﻌﻠﻲ ﻣﻮﻻﻩ) ﻓﻠﻴﺲ ﻫﻮ ﻓﻲ ﺍﻟﺼﺤﺎﺡ ، ﻟﻜﻦ ﻫﻮ ﻣﻤﺎ ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﻌﻠﻤﺎﺀ ، ﻭﺗﻨﺎﺯﻉ ﺍﻟﻨﺎﺱ ﻓﻲ ﺻﺤﺘﻪ . . . ]
: Adapun sabda Nabi: brang siapa menjadikan aku (maula) pemimpinnya,maka Ali lah maula (pemimpin)nya” ini bukanlah hadis soheh,tetapi itu hanya riwayat dari para ulama,dan tlh berselisih orang2 dalam kesohehannya-pent.
Kemudian beliuA menuqilkan dari ibnu hazm dgn sangkaannya : telah berkata ibnu hazm bahwa hadis: brgsiapa menjadikan Aku maula, maka Ali lah maulanya,maka hadis ini tdk soheh dari jalan2 orang yg dapat dipercaya-pent.
Komentarku: hadis ini dinyatakan mutawatir oleh dzahabi,walaupun kata maula tdk slalu identik dgn arti pemimpin,atau tdk identik bhw Ali RA pemimpin lgsg stlh Nabi SAW wafat lht siyar a’lam nubala 8/335.
Al bani membantah Ibnu taemiyah
Berkata albani dalam ktb as sohehahnya 5/263
ﻓﻤﻦ ﺍﻟﻌﺠﻴﺐ ﺣﻘﺎ ﺍﻥ ﻳﺘﺠﺮﺍ ﺷﻴﺦ ﺍﻻﺳﻼﻡ ﺍﺑﻦ ﺗﻴﻤﻴﺔ ﻋﻠﻰ ﺍﻧﻜﺎﺭ ﻫﺬﺍ ﺍﻟﺤﺪﻳﺚ ﻭﺗﻜﺬﻳﺒﻪ ﻓﻲ (ﻣﻨﻬﺎﺝ ﺍﻟﺴﻨﺔ) ﻛﻤﺎ ﻓﻌﻞ ﺑﺎﻟﺤﺪﻳﺚ ﺍﻟﻤﺘﻘﺪﻡ ﻫﻨﺎﻙ ] .
: Dan termasuk hal keanehan yg nyata berani2nya syaekhul islam ibnu taemiyah mengingkari hadis ini dan mendustakannya dlm kitabnya minhaj assunah ,sbgmana yg dilakukan pada hadis sblm ini.-pent.
Kemudian di akhir ucpannya, al bani berkata :
ﻓﻼ ﺍﺩﺭﻱ ﺑﻌﺪ ﺫﻟﻚ ﻭﺟﻪ ﺗﻜﺬﻳﺒﻪ
ﻟﻠﺤﺪﻳﺚ ، ﺍﻻ ﺍﻟﺘﺴﺮﻉ ﻭﺍﻟﻤﺒﺎﻟﻐﺔ ﻓﻲ ﺍﻟﺮﺩ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﺸﻴﻌﺔ . . .
: Dan aku tidak tau stlh itu atas alasan pendustaan beliau trhdp hadis INI kecuali kecerebohan dan berlebih2n dlm membantah syiah-pent.Maka renungkanlah…!!!
Peringatan penting (WARNING):
Albani tidak menganggp atas pensohehan atau pendoifan hadis dari ibnu taemiyah, malah beliau pun menasehati para pembaca utk tdk mengikuti pensohehan dan pendoifan hadis yg dilakukan ibnu taemiyah, lht perkataan albani dalam TA-LIQNYA TERHADAP KITAB AL KALIMUT TOYIB KARYA IBNU TAEMIYAH, KTB TA’LIQNYA TSBT DINAMAI Soheh al kalimut thoyib, LIHAT UCAPAN ALBANI PADA hal 4 cet ke empat thn 1400 H:
( ﺍﻧﺼﺢ ﻟﻜﻞ ﻣﻦ ﻭﻗﻒ ﻋﻠﻰ ﻫﺬﺍ
ﺍﻟﻜﺘﺎﺏ ﺃﻭ ﻏﻴﺮﻩ ﻥ ﻻ ﻳﺒﺎﺩﺭ ﺍﻟﻰ
ﺍﻟﻌﻤﻞ ﺑﻤﺎ ﻓﻴﻪ ﻣﻦ ﺍﻻﺣﺎﺩﻳﺚ ﺍﻻ ﺑﻌﺪ ﺍﻟﺘﺎﻛﺪ ﻣﻦ ﺛﺒﻮﺗﻬﺎ ، ﻭﻗﺪ ﺳﻬﻠﻨﺎ ﻟﻪ ﺍﻟﺴﺒﻴﻞ ﺍﻟﻰ ﺫﻟﻚ ﺑﻤﺎ ﻋﻠﻘﻨﺎﻩ ﻋﻠﻴﻬﺎ ،ﻓﻤﺎ ﻛﺎﻥ ﺛﺎﺑﺘﺎ ﻣﻨﻬﺎ ﻋﻤﻞ ﺑﻪ ﻭﻋﺾ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﻟﻨﻮﺍﺟﺬ ﻭﺍﻻ ﻓﺎﺗﺮﻛﻪ . . .)
: Aku menasehati kpda siapa pun yg membaca kitab ini, atau kitab yg lainnya utk tdk terburu2 mengamalkan apa yg ada padanya dari hadis2 kecuali stlh kokoh ketetapan status hadis2 tsbt, dan aku telah dimudahkan jalan dalam hal itu dan lihat komentarku terhadap ktb INI, maka kalau saja hadis itu tsabit maka amalkanlah,dan jika tdk,maka tinggalkanlah .pent. Renungkanlah..!!!
Inti DARI ucapan albani adalah: Rujuklah aku dalam masalah hadis dan jangan merujuk kepada syaekhul islam.
10. IBNU TAIMIYAH & BIN BAZ MENGATAKAN HARAM KEPADA ALBANI, ABDUL BADAWI, ABDURRAHMAN DIMASQIYAH KARENA MELEGALKAN ZIARAH KUBUR & UNTUK WANITA JUGA
Fatwa Ibnu Taimiyah menyatakan akan pengharaman ziarah kubur. Ibnu Taimiyah dalam kitab Minhaj as-Sunah jilid: 2 halaman 441 menyatakan: “Semua hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan menziarahi kuburnya merupakan hadis yang lemah (Dhaif), bahkan dibikin-bikin (Ja’li) ”. Dan dalam kitab yang berjudul at-Tawassul wal Wasilah halaman 156 kembali Ibnu Taimiyah mengatakan: “Semua hadis yang berkaitan dengan ziarah kubur Nabi adalah hadis lemah, bahkan hadis bohong”.
Ungkapan Ibnu Taimiyah ini diikuti secara fanatik oleh Abdul Aziz bin Baz dalam kitab kumpulan fatwanya yang berjudul Majmuatul Fatawa bin Baz jilid: 2 halaman 754.
Ibnu Utsaimin, dalam bukunya berjudul Fatawa Muhimmah, h. 149-150, cet. Riyad, berkata:
“Haram ziarah kubur bagi kaum perempuan, itu termasuk dari dosa besar, sekalipun yang diziarahi makam nabi (Muhammad)”.
Sementara dalam Ahkamul Janaiz halaman 229 : Albani mensunnahkan akan ziarah kubur tak terkecuali untuk wanita, begitu pula perkataan Abdul Azhim bin Badawi Al Khalafi dalam Ahkaamul Janaaiz :
“Ziarah kubur disyari’atkan bagi seorang wanita, karena di dalamnya terkandung pelajaran bagi yang hidup, dapat melembutkan hati dan meneteskan air mata serta mengingatkan kita akan kehidupan akhirat, dengan syarat wanita tersebut tidak melakukan hal-hal yang dapat membuat Allah murka kepadanya. [Lihat Ahkaamul Janaaiz (hal. 179-181), Terj. Al-Wajiz (hal. 376-377), dan Ensiklopedi Fiqh Wanita (I/401)]“
Lihat pula, dalam situs resmi salah seorang pendakwah Salafy, bernama Abdurrahman Damasyqiyyah, berkata:
“Saya katakan bahwa boleh untuk kaum perempuan untuk ziarah kubur dengan dasar hadits ini……”
Akan Tetapi Ibnu Taimiyah meluruskan kembali apa yang disampaikan tentang ziarah kubur atas anjurannya ziarah dengan kubur dengan syar’ie
Beliau berkata didalam Majmu’atur – nya :
Ziara kubur itu ada 2 macam.
Pertama ziarah secara syar’i dan kedua ziarah bid’ah.
Ziarah syar’i adalah ziarah yang dimaksudkan untuk mengucapkan salam kepada simayit dan mendoakannya. Ziarah semacam ini tidak berbeda dengan menshalati jenazahnya. Maka sunnahnya adalah mengucapkan salam kepada si mayit lalu mendoakannya, baik ia seorang Nabi ataupun bukan.
11.  BID’AH & SESATNYA PEMAHAMAN AQIDAH ALBANI, IBNU TAIMIYAH & UTSAIMIN, KARENA BERBEDA DENGAN BIN BAZ & ULAMA SALAFY LAIN
#Masalah: Tentang Sifat-sifat Allah
Dalam hadits yang mengatakan:
سبعة يظلهم الله في ظله يوم لا ظل إلا ظله
Apakah dengan dasar hadits ini Allah disifati bahwa Dia memiliki bayangan?
Jawab (Ibnu Baz):
Benar (Allah punya bayangan), sebagaimana itu disebutkan dalam hadits. Dalam sebagian riwayat dengan redaksi “Fi Zhilli ‘Arsyihi”, tetapi yang dalam dua kitab Shahih (Shahih Bukhari dan Muslim) dengan redaksi “Fi Zhillihi”, karena itu maka Allah memiliki BAYANGAN yang sesuai bagi-Nya; kita tidak tahu tata-caranya, sebagaimana kita tidak tahu tata cara dari seluruh sifat-sifat Allah lainnya, pintunya jelas satu bagi Ahlussunnah Wal Jama’ah (yaitu itsbat/menetapkan saja)”.
Lalu dibantah dan kembali menghukumkan sesat,  berikut ini adalah tulisan Ibnu Utsaimin membantah Ibnu Baz; dalam “Syarh al Aqidah al Wasithiyyah”, j. 2, h. 136, dengan redaksi berikut ini:
وقوله: “لا ظل إلا ظله”؛ يعني: إلا الظل الذي يخلقه، وليس كما توهم بعض الناس أنه ظل ذات الرب عز وجل؛ فإن هذا باطل؛ لأنه يستلزم أن تكون الشمس حينئذ فوق الله عز وجل. ففي الدنيا؛ نحن نبني الظل لنا، لكن يوم القيامة؛ لا ظل إلا الظل الذي يخلقه سبحانه وتعالى ليستظل به من شاء من عباده. أ.ه
Tejemah:
Sabda Rasulullah “La Zhilla Illa Zhilluh” artinya “Tidak ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah”. Makna hadits ini bukan seperti yang disangka oleh sebagian orang (Ibnu Bas) bahwa bayangan tersebut adalah bayangan Dzat Allah, ini adalah pendapat batil (SESAT), karena dengan begitu maka berarti matahari berada di atas Allah. Di dunia ini kita membuat bayangan bagi diri kita, tetapi di hari kiamat tidak akan ada bayangan kecuali bayangan yang diciptakan oleh Allah supaya berteduh di bawahnya orang-orang yang dijehendaki oleh-Nya dari para hamba-Nya”.
يقول ابن تيمية في كتابه مجموع الفتاوى الجزء الخامس صفحة 262 ما نصه : ” اما من اعتقد الجهة فان كان يعتقد ان الله في داخل المخلوقات تحويه المصنوعات وتحصره السماوات ويكون بعض المخلوقات فوقه وبعضها تحته , فهذا مبتدع ضال . “
#Tentang penciuman Allah
Di dalam kitab Masail Al-Imam karya Ibnu Baz, halaman 278 nomer 770 disebutkan :
سؤال: هل يؤخذ من الحديث: ( أطيب عند الله من ريح المسك ) إثبات صفة الشم لله عز وجل؟
الجواب: ليس ببعيد.
Pertanyaan : Apakah boleh disimpulkan dari hadits berikut “ Lebih harum di sisi Allah dari minyak misik “ bahwa Allah memiliki sifat penciuman ? “
Jawab : “ Tidak jauh “ ( bisa saja sprti itu).
Dan juga pendapat Ibnu Baz ini ditentang habis oleh Utsaimin, dalam catatan kaki kitab tersebut paling bawah disebutkan :
ليس في الحديث صراحة بذالك, وقد يكون ادراك الله لهذه الرائحة عن طريق العلم لا عن طريق الشم فينبغي الامساك.
“ Di dalam hadits tidak ada kejelasan akan hal yang demikian, boleh jadi indera Allah atas bau wangi tersebut dengan cara ilmu-Nya bukan dengan cara penciuman, maka sebaiknya kita diam (tidak membahas atau mentakwilnya) “.
#Bantahan Ibnu Taimiyah Allah di atas langit
Dalam kitabnya Ibnu Taimiyah mengatakan : Adapun orang yang meyakini adanya arah bagi Allah maka jika ia meyakini bahwa Allah ada didalam makhluk, Allah dimuat makhluk , Allah didalam langit, sebagian makhluk ada diatas Allah sebagian lagi ada yang di bawah Allah maka orang itu Ahli Bid’ah yang sesat
#Bantahan Albani Allah di atas langit
Syekh Albani di tanya:
قضية استواء الله على عرشه هل تعني ان الله مستقر بذاته على العرش؟ الشيخ: لا يجوز استعمال ألفاظ لم ترد فى الشرع. لا يجوز ان يوصف الله بأنه مستقر لأن الاستقرار أولا : صفة بشرية، ثانيا لم يوصف بها ربنا عز وجل حتى نقول : استقرار يليق بجلاله كما نقول فى الاستواء، فنحن لا نصف الله إلا بما وصف به نفسه ثم مقرونا مع التنزيل (ليس كمثله شيء وهو السميع البصير)
Pertanyaan:
Apakah yang di maksud Keterangan tentang istiwa’nya Alloh atas arasy, itu bermakna bahwa dzat Alloh bertempat di atas arasy?Syekh Albani menjawab:Tidak boleh menggunakan lafadz (perkataan) yang tidak bersumber dari syariat, tidak boleh mensifati Alloh bahwa DIA mustaqir (bertempat), sebab istiqror “bertempat” itu (1)-sifat kemanusiaan (2)-Alloh tidak bersifat istiqror “bertempat” sehingga kami bisa berkata” bertempat yang sesuai dengan kemuliaan dan kesempurnaanNya. (Tidak!). Sebagaimana kami berkata tentang istiwa’. Maka kami tidak mensifati Alloh kecuali dengan sifat yang di sifatiNya sendiri, kemudian di gabungkan dengan ayat “tidak ada suatu apapun yang menyerupaiNya. DIA maha mendengar, maha melihat”.(Mausu’atul Allamah Al imam mujaddidul ashri muhammad nashiruddin Al Albani: 344
12. ALBANI DIRAGUKAN KE IMANANNYA OLEH BIN BAZ KARENA MENGAKUI BUMI INI BERPUTARBerkata Syaikh Al bani dalam silsilat al huda wan nur 1/497:
“نحن – في الحقيقة – لا نشك في أن قضية دوران الأرض حقيقة علمية لا تقبل جدلا”.
:Kami “pada hakikatnya” tidak ragu lagi atas kaeadaan berputarnya bumi dengan kenyataan ilmiyah yang tdk bisa di perdebatkan lagi.
Bantahan Bin Baz
Syaikh Ben Baz dalam kitabnya Al adillah an naqliyah wal hissiyah ala imkan as suud ilal kawakib-wa ala jiryanis syamsim-wa sukunil ardli 23-24 -Cet Maktabah Ar riyadl Al hadisah-al bath’ha-Ar riyadl,cetakan ke dua thn 1982 M-1402 H:
“وأما من قال إن الأرض تدور، والشمس جارية، فقوله أسهل من قول من قال بثبوت الشمس، ولكنه في نفس الأمر خطأ ظاهر مخالف للآيات المتقدمات، وللمحسوس والواقع، ووسيلة للقول بعدم جري الشمس؛ فقد أوضح الله في الآيات المذكورات آنفا أنه ألقى الجبال في الأرض لئلا تميد بهم، والميد هو الحركة والاضطراب والدوران، كما نص على ذلك علماء التفسير وأئمة اللغة، وفي تكفير قائله نظر”.
:Adapun orang yang berkata bahwa bumi berputar dan matahari berjalan”,maka ucapannya lbh ringan dari pada orang yang berkata dgn diamnya matahari, tetapi dalam kenyataannya itu adalh kesalahan yang nyata karena menyelisihi ayat2 yang telah di sebutkan dan juga menyalahi kenyataan yang kita rasakan,dan ucapan itu bisa menarik pada perkataan tdk berjalannya matahari,padahal Allah telah menjelaskan dalam ayat2 yang telah di sebutkan barusan bahwa Allah menetapkan gunung2 di muka bumi supaya bumi tidak [al maid]:bergetar,Al maid artinya adalah bergerak- bergetar dan berputar”, sbgmn di katakan oleh ulama tafsir dan ulama lugot,dan untuk menghukumi kafir orang yang mengatakan itu[bumi berputar],masih perlu peninjauan.
Dan ia berkata pada hal 44-45:
“وأوضحت أيضا بطلان القول بدوران الأرض وحركتها، وأنه خلاف المنقول والمحسوس، ووسيلة إلى القول بوقوف الشمس وعدم جريها، وتوقفت في تكفير قائله”.
Dan aku telah menjelaskan batilnya perkataan orang yang mengatakan Bumi berputar dan bergerak dan sesungguhnya itu menyalahi ayat2 yang telah di nuqilkan dan menyelisihi apa yang dirasakan,dan ucapan itu bisa berdampak pada pernyatan diamnya matahari dan tdk berjalannya matahari,Dan aku tawaquf dalm mengkafirkan orang yang mengatakan itu.
Dan Ia berkata pada hal 73:
“وبينت أني لم أكفر في المقال السابق من قال بدوران الأرض، بل قلت: إن في كفره نظرا، وإليك نص عبارتي في المقال السابق ….. فهذه العبارة صريحة في توقفي عن تكفير من قال بدوران الأرض، للسبب الذي أوضحته في المقال السابق”.
Dan aku telah menjelaskan pada perkataan sebelumnya bahwa Aku tdk mengkafirkan orang yang berkata bumi berputar,tetapi aku cuma berkata “dalam pegkafirannya msh perlu tinjauan”dan engkau bisa lihat ibaratku dalam perkataan sebelumnya…….maka ini adalah ibarat yang jelas dalam masalah tawaqufku atas kafirnya orang yang mengatakan bumi berputar,dgn alasan yang telah aku sebutkan pada perkataan sebelumnya.
13. ALBANI DI NILAI MENYELISIHI SUNNAH & TASYABBUH OLEH ULAMA SALAFY KARENA MELEGALKAN MAKAN DENGAN SENDOK
Syekh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i dalam kitabnya yang mengulas tentang makan pakai sendok berjudul AS-Showaiq fi tahrimil mala’iq, dikatakan Haram makan dengan menggunakan sendok.
Begitu pula Syaikh Hamud al Tuwaijiri dalam kitabnya al Idhah wa al Tabyin hal 184 mengatakan:
حكم الأكل بالملاعق قال الشيخ حمود التويجري – رحمه الله – في كتابه ( الإيضاح والتبيين ) ص 184 ( من التشبه بأعداء الله تعالى استقذار الأكل بالأيدي واعتياد الملاعق ونحوها من غير ضرر بالأيدي)
“Termasuk tasyabbuh dengan para musuh Allah (baca:orang-orang kafir) adalah merasa jijik jika makan dengan tangan dan membiasakan diri makan dengan sendok atau semisalnya padahal tangan tidak bermasalah”.
Bantahan Albani
وخالف في ذلك الشيخ الألباني – رحمه الله – فقال : (السلسلة الضعيفة – (ج 3 / ص 201)( و من الغريب أن بعضهم يستوحش من الأكل بالمعلقة ، ظنا منه أنه خلاف السنة ! مع أنه من الأمور العادية ، لا التعبدية ، كركوب السيارة و الطيارة و نحوها من الوسائل الحديثة ، و ينسى أو يتناسى أنه حين يأكل بكفه أنه يخالف هديه صلى الله عليه وسلم(
Syaikh Al Albani memiliki pandangan yang berbeda. Dalam Silsilah Dhaifah 3/201 beliau mengatakan, “Anehnya ada orang yang merasa tidak nyaman jika makan dengan sendok karena dia beranggapan bahwa makan dengan sendok itu menyelisihi sunnah. Padahal makan dengan sendok adalah masalah non ibadah, bukan perkara ibadah. Makan dengan sendok itu semisal dengan naik mobil, pesawat terbang ataupun sarana transportasi modern yang lain. Orang yang menolak untuk makan dengan sendok lalu beralih dengan telapak tangan itu lupa atau pura-pura lupa bahwa makan dengan telapak tangan adalah menyelisih tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam”.
14. ALBANI DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KARENA MEMBOLEHKAN BERSYAIR DI DALAM MASJID
Para ulama Salafy sudah umum membid’ahkan bersyair didalam masjid ketika menunggu sholat, tapi apa kata Albani?
Masalah : Hukum membaca syair di dalam masjid
Pendapat Syaikh al-Albani:
Al-Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya (XII/271): ‘Hendaknya dilihat bentuk syairnya. Jika syairnya mengandung pujian kepada Allah dan Rasul-Nya atau mengajak kembali kepada Allah dan Rasul-Nya, mengajak kepada kebaikan, peringatan, zuhud di dunia maka syair ini adalah termasuk sesuatu yang baik diungkapkan di masjid. Dan selain itu tidak diperbolehkan’. ats-Tsamaru al-Mustathab (11/657)
15. UTSAIMIN & BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENSUNNAHKAN BERSEDEKAP SETELAH RUKU’
* Syeikh Utsaimin:
Bersedekap adalah Sunnah. Inilah yang dirajihkan. sunnahnya adalah meletakkan tangan kanan di atas hasta tangan kiri, karena keumuman hadits Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi yang shahih dari riwayat al Bukhari, berbunyi:
“Orang-orang dahulu diperintahkan untuk meletakkan tangan kanannya di atas hasta tangan kirinya dalam shalat.”
Apabila kamu melihat kepada keumumunan hadits ini, yaitu (فِيْ الصَّلاَةِ) dan tidak menyatakan dalam berdiri, maka jelas bagimu bahwa berdiri setelah ruku’ disyari’atkan bersedekap. Karena dalam shalat, posisi kedua tangan ketika ruku’ berada di atas dua lutut, ketika dalam keadaan sujud berada di atas tanah, ketika duduk berada di atas kedua paha, dan (dalam) keadaan berdiri -mencakup sebelum ruku` dan setelah ruku`- tangan kanan di letakkan di atas hasta tangan kiri. Demikian inilah yang benar, [Syarhul Mumti’ (3/146)]
* Bin Baz :
Beliau berdalil dengan banyak hadits, salah satunya dibawah ini :
عند النسائي بإسناد صحيح أن النبي صلى الله عليه وسلم كان إذا كان قائما في الصلاة قبض بيمينه على شماله
Di dalam sunan Annasaa’i dengan sanad yang shohih disebutkan bahwa Nabi sholollohu alaihi wa sallam jika berdiri didalam shalatnya, ia menggenggam tangan kiri nya dengan tangan kanan nya (ber sendekap).
Hadits ini menurut beliau umum yang mencakup semuanya. Artinya, kata “berdiri” ini bermakna;
1. Berdiri yang sebelum ruku’.
2. Berdiri yang sesudah ruku’.
Tidak adanya hadits yang menceritakan Nabi atau para Sahabat yang melepaskan tangannya disaat berdiri setelah ruku’ itu berarti hadits diatas sudah mencakup semuanya, yakni mereka menyendekapkan tangannya disaat berdiri dari ruku’ nya itu.
+ Syeikh Albani :
Saya tidak ragu lagi menyatakan, bahwa bersedekap ketika berdiri I’tidal adalah perbuatan bid’ah yang sesat, sebab sama sekali tidak tersebut dalam hadits sholat. Seandainya perbuatan semacam itu benar, niscaya akan ada riwayat yang sampai kepada kami walaupun hanya satu hadits. Padahal sangat banyak hadits-hadits tentang sholat. Juga tidak ada satupun ulama salaf yang mengukuhkan pendapat itu dalam perbuatannya atau tidak pula diriwayatkan dari seorang ahli haditspun mengenai bersedekap ini sepanjang pengetahuan saya.
(Sifah ash-Shalah 139)
Kembali : Syaikh al Albani membantah argumen yang menyelisihi penadapat beliau. Lebih lanjut, lihat Sifat Shalat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hlm. 138-139.
16. IBNU TAIMIYAH DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH BIN BAZ, ALBANI & ULAMA SALAFY LAIN KARENA MENGIKUT & BERTAQLID HANYA SATU MAZHAB SAJA
Berkata Ibnu Taimiyah dalam alfatawi al misriyah 81;
: “وقول القائل: لا أتقيّد بأحد من هؤلاء الأئمة الأربعة، إن أراد أنّه لا يتقيّد بواحد بعينه دون الباقين فقد أحسن، بل هو الصواب من القولين، وإن أراد أنّي لا أتقيّدبها كلّها، بل أخالفها فهو مخطئ في الغالب قطعًا، إذ الحق لا يخرج عن هذه الأربعة في عامة الشريعة”
DAN PERKTAAN ORANG: “aku tidak akan terikat dengan salah satu madhab empat”,kalau maksud perkataan tersebut adalah untuk tidak menetukan hanya satu madhab saja dengan menafikan madhab lainnya,maka itu benar,malah itu adalah salah satu dari dua pendapat [tentang taqlid],kalau maksud perkataan itu adalah tidak mau terikat dengan madhab secara keseluruhan, malah dengan menyelisihi semua madhab yang ada,maka lumrahnya itu menyimpang,malah bukan lumrah lagi tapi pasti menyimpangnya,karena alhaq tidak keluar dari empat madhab ini dalam keumuman syariat.
Ibnu Taimiyah meriwayatkan dari al wazir bin habiroh sebagaimana tercatat dalam kitab beliau yang bernama al musawwadah fi usul alfiqh 96:
“فأما تعيين المدارس بأسماء فقهاء معينين فإنه لا أرى به بأسا، حيث إن اشتغال الفقهاء بمذهب واحد من غير أن يختلط بهم فقيه في مذهب آخر يثير الخلاف معهم ويوقع النزاع فيه؛فإنه حكى لي الشيخ محمد بن يحيى عن القاضي أبي يعلى أنه قصده فقيه ليقرأ عليه مذهب أحمد، فسأله عن بلده فأخبره، فقال له: إن أهل بلدك كلهم يقرءون مذهب الشافعي فلماذا عدلت أنت عنه إلى مذهبنا؟ فقال له: إنما عدلت عن المذهب رغبة فيك أنت، فقال له: إن هذا لا يصلح فإنك إذا كنت في بلدك على مذهب أحمد وباقي أهل البلد على مذهب الشافعي لم تجد أحدا يعبد معك ولا يدارسك، وكنت خليقا أن تثير خصومة وتوقع نزاعا، بل كونك على مذهب الشافعي حيث أهل بلدك على مذهبه أولى، ودله على الشيخ أبي إسحاق وذهب به إليه، فقال: سمعا وطاعة
Dan adapun menetukan madrasah madrasah dengan nama nama ahli fiqh tertentu, maka itu tidak apa apa, sekiranya aktivitas para fuqoha itu dalam satu madhab dan mereka tidak tercampur dengan ahli fiqih dari madhab lain yang bisa membuat terjadinya perbedaan di antara mereka dan menjadikan mereka jatuh pada permusuhan,karena sesungguhnya telah menghikayatkan kepadaku syaikh muhammad bin yahya dari qodli abi ya’la Al hambali : Telah datang seorang faqih pada beliau utk di bacakan [belajar] kitab madhab imam ahmad,maka Qodli abi ya’la bertanya tentang keadaan madhab penduduk negrinya, orang tersebutpun bercerita, lalu Abi ya’la berkata:sungguhkeadaan penduduk negrimu bermadhab syafii,kenapa engkau malah mau pindah ke madhab kami?? Orang itu berkata padanya: sungguh aku mau pindah pada madhab anda karena kecintaanku pada anda, Qodi abi ya’la berkata;sungguh hal Ini tidak pantas,karena ketika engkau berada di negrimu dengan madhab imam ahmad,dan penduduk disana bermadhab syafii,maka tidak akan ada orang yang mau beribadah bersamamu dan belajar padamu,dan engkautelah mencipta benih permusuhan dan mengarah pada perpecahan,padahal keadaanmu dengan madhab syafii dengan penduduk negrimu yang bermadhab syafii,itu lebih utama,maka Qodli abi ya’la memberi petunjuk pada orang itu untuk mendatangi syaikh abi ishaq [bermadhab syafii] SUPAYA pergi belajar padanya,orang itu pun berkata; aku mendengar dan aku akan mentaatimu.
17. IBNU TAIMIYAH DINILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY KARENA MENGATAKAN PAHALA ZIKIR YANG DIBERIKAN KEPADA MAYYIT SAMPAI
وَسُئِلَ : عَمَّنْ ” هَلَّلَ سَبْعِينَ أَلْفَ مَرَّةٍ وَأَهْدَاهُ لِلْمَيِّتِ يَكُونُ بَرَاءَةً لِلْمَيِّتِ مِنْ النَّارِ ” حَدِيثٌ صَحِيحٌ ؟ أَمْ لَا ؟ وَإِذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ وَأَهْدَاهُ إلَى الْمَيِّتِ يَصِلُ إلَيْهِ ثَوَابُهُ أَمْ لَا ؟ .
Ibnu Taimiyah ditanya mengenai hadits “ada yang bertahlil (membaca ‘laa ilaha illallah’) sebanyak 70.000 kali lalu ia menyedekahkannya kepada si mayit, maka itu bisa menyelamatkan si mayit dari siksa neraka”, apakah ini termasuk hadits shahih ataukah tidak? Jika seseorang bertahlil (mengucapkan ‘laa ilaha illallah’) lalu menghadiahkannya kepada mayit, apakah itu sampai kepada mayit (atau tidak)?
فَأَجَابَ : إذَا هَلَّلَ الْإِنْسَانُ هَكَذَا : سَبْعُونَ أَلْفًا أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ . وَأُهْدِيَتْ إلَيْهِ نَفَعَهُ اللَّهُ بِذَلِكَ وَلَيْسَ هَذَا حَدِيثًا صَحِيحًا وَلَا ضَعِيفًا . وَاَللَّهُ أَعْلَمُ .
Ibnu Taimiyah menjawab, “Jika seseorang bertahlil seperti itu sebanyak 70.000 kali atau kurang atau bahkan lebih dari itu, lalu ia hadiahkan kepada mayit, maka Allah akan menjadikan amalan tersebut bermanfaat (bagi si mayit). Yang membicarakan hal ini bukan hadits shahih, bukan pula dho’if. Wallahu a’lam.” (Majmu’ Al Fatawa, 24: 323).
18. UTSAIMIN & PENGIKUTNYA DI NILAI BID’AH (SESAT) & TASYABBUH BIL KUFFAR KARENA MENGGUNAKAN AMBULANCE UNTUK MENGANTAR MAYYIT
Tidak Dibenarkan Syari’at Mengantar Jenazah Menggunakan Gerobak Atau Ambulance
Penulis: Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany rahimahulloohu ta’ala
Pilihan Syaikh Albany:
Adapun membawa jenazah menggunakan mobil ambulance diantar oleh para pengantarnya yang berkendaraan mobil, bentuk macam ini sama sekali tidak diajarkan syaria’at. Sebabnya sebagai berikut:
1. Itu termasuk adat kuffar sedangkan telah tetap dalam syari’at tidak boleh taqlid kepada kuffar.
2. Itu bid’ah dalam bidang ibadah di samping bertentangan dengan Sunnah Amaliyah dalam membawa jenazah.
3. Ia menghilangkan tujuan membawa jenazah dan mengantarnya: mengingatkan akheratTidak ada kesamaran bagi orang yang berilmu bahwasanya membawa mayit dengan cara dipikul oleh pundak-pundak serta para pengantar bisa menyaksikan jenazah yang berada di atas itu tentu lebih mewujudkan maksud mengingat akherat dan mengambil pelajaran, dibandingkan mengantarnya dengan cara seperti di atas.Sumber: Ahkamul Janaiz hal. 99 Dinukil dari: Fiqih Pilihan As-Syaikh Asy Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albany hal. 158; Penulis: Mahmud bin Ahmad Rasyid ; Penerjemah: Al Ustadz Muhammad Fuad Qawam, Lc; Penerbit : Pustaka Salafiyah; Cetakan Pertama Shafar 1429 H-Maret 2008 M Selanjutnya bisa anda baca disini lihat [pic screenshoot sumber]
Sayangnya fatwa tersebut dimentahkan oleh Wahabi – Salafy sendiri, dan secara tidak langsung Albany mengatakan bahwa mereka yang mengurus & membawa jenazah Utsaimin adalah pelaku bid’ah (sesat) & Tasyabbuh bil Kuffar tersebab mengusung jenazah dengan menggunakan ambulance yang tidak pernah dicontohkan Nabi bahkan lebih kepada meniru gaya orang kafir, karena perkara ini (menurut Albany) adalah “BID’AH IBADAH”
PEMAKAMAN UTSAIMIN
Berikut ini Video pemakaman  Syeikh Utsaimin yang di usung dengan mobil ambulancehttp://www.youtube.com/watch?v=GO4nYcuhBjA
19. BIN BAZ, UTSAIMIN & ULAMA SALAFY LAIN DI NILAI GHULUW OLEH ALBANI KARENA MEWAJIBKAN WANITA MEMAKAI NIQAB/ CADAR
Seperti diketahui di antara para ulama zaman ini yang menguatkan pendapat ini adalah: Syaikh Muhammad As-Sinqithi, Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Abdullah bin Jarullah bin Ibrahim Al-Jarullah, Syaikh Bakr Abu Zaid, Syaikh Mushthafa Al-Adawi dan para ulama lainnya. Inilah sedikit penjelasan tentang dalil-dalil para ulama yang mewajibkan purdah (menutup wajah) bagi wanita. (sumber)
Utsaimin
Hal yang wajib dilakukan oleh seorang wanita muslimah ketika keluar rumah atau bepergian adalah menutup kedua telapak tangannya, kedua telapak kakinya serta mukanya dengan kain penutup apa saja, tetapi yang lebih utama adalah memakai sarung tangan sebagaimana yang biasa dilakukan oleh isteri-isteri para sahabat saat mereka keluar rumah. (Dalil li ath-Thalabah al-Mukminah, hal. 41. Disalin dari buku Fatwa-Fatwa Terkini Jilid 3)
Bin Baz
Segi pendalilan dari ayat ini (An-Nur: 60) menunjukkan kewajiban berhijabnya wanita, yaitu menutup wajah dan seluruh badannya dari laki-laki yang bukan mahram: Namun Allah tidak menganggap berdosa pada wanita-wanita tua yang telah menopause yang tidak mempunyai keinginan untuk menikah lagi, asalkan tidak bersolek dengan perhiasan. (Source)
Bantahan Albani
Terhadap segolongan kaum muslimin yang secara ketat mewajibkan para wanita muslimah menutup wajah (dengan cadar) dan kedua telapak tangan mereka, Syaikh Nasiruddin Al Albani dalam Kitabnya Ar Radd Al Mufhim mengatakan, “Orang-orang yang mewajibkan para wanita menutup wajah dan kedua telapak tangannya tidak berdasar kepada Al Qur’an dan As Sunnah maupun ijma’ ulama”. Di bagian lain, Albani mengatakan mereka yang mewajibkan cadar bagi wanita muslimah sebagai “berdalil dengan hadits-hadits dhaif, atsar-atsar lemah, serta atsar-atsar palsu yang mereka ketahui, atau mungkin tidak mereka ketahui”.
Sikap mewajibkan cadar bagi wanita muslimah karena menganggap ada nash-nash syariat yang menunjukkan kewajiban, dianggap Albani sebagai hal yang berlebih-lebihan di dalam agama. Perhatikan ungkapan Nashiruddin Al Albani, seorang ulama tokoh Salafi berikut, “Saya berkeyakinan bahwa sikap berlebih-lebihan terhadap urusan wajah wanita itu tidak mungkin bisa mencetak generasi wanita di tiap-tiap negerinya yang mampu mengemban tugas yang tergantung di leher mereka”. (sumber) lihat screenshoot sumber
20. SYAIKH ABDUL AZIZ ALI SYAIKH & SEBAGIAN RAKYAT SAUDI DI NILAI TASYABBUH & BID’AH (SESAT) OLEH KARENA MERAYAKAN MAULID SAUDI
Dikutip dari   media lokal Saudi okaz.com.sa., Jumat (23/9). Mufti Umum Kerajaan Saudi, Syeikh Abdul Aziz Ali As Syaikh Ketua Hai’ah Kibar Al Ulama ini menyatakan, “Wajib menjadikan hari ini sebagai hari untuk bersyukur dan merenung mengenai nikmat Allah serta memperbanyak syukur atas kenikmatan aman kepada Allah.”
Mufti merujuk kapada perkataan Raja Abdullah agar menjadikan perayaan hari nasional ini dengan ekspresi yang mencerminkan sifat anak bangsa yang memiliki akhlak baik.
Mufti juga memberi nasihat kepada para pemuda untuk konsisten dengan adab Islam dan memperbanyak syukur di hari ini, dan menegaskan bahwa cinta tanah air tidak hanya sebatas dengan perkataan, namun juga dengan perbuatan.
Bantahan Bin Baz kepada siapa yang merayakan & menganjurkan bersyukurnya atas Maulid Saudi ini
Syeikh Abdul Aziz bin Baz dan Al Lajnah Ad Daimah dalam fatwa no. 9402, yang menilai bahwa perayaan hari nasional merupakan bentuk tasyabuh terhadap orang kafir dan termasuk bid’ah (Sesat).
Sebagaimana diketahui bahwa yaum al wathani, yang diperingati pada tanggal 23 September dirayakan untuk memperingati penyatuan kerajaan di bawah kepemimpinan Raja Abdul Aziz.
21. UTSAIMIN DI NILAI FATWANYA HARAM OLEH BIN BAZ, ALBANI DLL, KARENA MEMBOLEHKAN FOTO MAHLUK HIDUP
Hukum Menggambar & foto dalam Islam
Boleh !!, karena yang dibuat dengan alat bukanlah merupakan gambar hakiki, karenanya dia tidak termasuk ke dalam dalil-dalil yang mengharamkan gambar. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammad bin Saleh Al-Utsaimin, Abdul Aziz bin Abdillah Alu Asy-Syaikh, Abdul Muhsin Al-Abbad, dan selainnya
Bantahan
Diharamkan !!,  kecuali yang dibutuhkan dalam keadaan terpaksa, seperti foto pada KTP, SIM, Paspor, dan semacamnya. Ini adalah pendapat masyaikh: Muhammad bin Ibrahim, Abdul Aziz bin Baaz, Abdurrazzaq Afifi, Al-Albani, Muqbil bin Hady, Ahmad An-Najmi, Rabi’ bin Hadi, Saleh Al-Fauzan, dan selainnya
Adapun (gambar) yang harus dan tidak boleh tidak, seperti SIM, Pasport dan KTP, maka dosanya atas (baca : ditanggung) pemerintah”.
[Fatwa Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi'i dalam Tuhfah Al-Mujib soal no. 32]
22. BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MENGANJURKAN AZAN DI TELINGA BAYI
Bin Baz di tanya mengenai Azan di telinga Bayi
هذا مشروع عند جمع من أهل العلم، وقد ورد فيه بعض الأحاديث، وفي سندها مقال، فإذا فعله المؤمن حسن؛ لأنه من باب السنن ومن باب التطوعات
Jawaban Syaikh Ibnu Baz:
Hal tersebut dituntunkan menurut sejumlah ulama. Ada beberapa hadits mengenai hal ini namun ada pembicaraan mengenai kualitas sanadnya. Jika ada seorang mukmin yang melakukannya maka itu adalah suatu hal yang baik karena amalan ini termasuk amalan yang dianjurkan
Bantahan Albani
Syaikh Al Albani juga pada awalnya menilai hadits tentang adzan di telinga bayi adalah hadits yang hasan. Namun, akhirnya beliau meralat pendapat beliau ini sebagaimana beliau katakan dalam Silsilah Adh Dho’ifah no. 321.
23. IBNU TAIMIYAH & UTSAIMIN DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI, DLL KARENA MEMBOLEHKAN ZIKIR DENGAN ALAT TASBIH
1. Ibnu Taimiyah
وأما عده بالنوى والحصى ونحو ذلك فحسن وكان من الصحابة رضى الله عنهم من يفعل ذلك وقد رأى النبى أم المؤمنين تسبح بالحصى واقرها على ذلك وروى أن أبا هريرة كان يسبح به
Sedangkan berdzikir dengan menggunakan biji atau kerikil atau pun semisalnya maka itu adalah perbuatan yang baik. Di antara para sahabat ada yang melakukannya. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga melihat salah seorang isterinya bertasbih dengan menggunakan kerikil dan beliau membiarkannya. Terdapat pula riwayat yang menunjukkan bahwa Abu Hurairah bertasbih dengan menggunakan kerikil.
وأما التسبيح بما يجعل فى نظام من الخرز ونحوه فمن الناس من كرهه ومنهم من لم يكرهه
Adapun bertasbih dengan menggunakan manik-manik yang dirangkai menjadi satu (sebagaimana biji tasbih yang kita kenal saat ini, pent) maka ulama berselisih pendapat. Ada yang menilai hal tersebut hukumnya makruh, ada pula yang tidak setuju dengan hukum makruh untuk perbuatan tersebut.
وإذا أحسنت فيه النية فهو حسن غير مكروه
(Kesimpulannya) jika orang yang melakukannya itu memiliki niat yang baik (baca: ikhlas) maka berzikir dengan menggunakan biji tasbih adalah perbuatan yang baik dan tidak makruh.
2. Utsaimin
Tasbeh bukan bid’ah agama, karena seseorang tidak bermaksud beribadah kepada Allah dengan tasbeh, akan tetapi bermaksud menghitung dengan tepat bilangan tasbih, tahlil, tahmid atau takbir yang diucapkannya. Jadi tasbeh ini hanya merupakan perantara, bukan tujuan.
Tapi yang lebih utama adalah bertasbih dengan menggunakan jari-jari tangannya.
Bantahan  Albani
Nashiruddin Al-Albani mengatakan : berdzikir dengan biji-bijian tasbih adalah bid’ah/ sesat (Silsilah Haadits Ad Dha’ifah Juz I hal 185).
Pendapat ini diikuti oleh Abdul Muhsin Al ‘Abbad Al Badr dan Syaikh Bakr Abu Zaid yang menulis risalah khusus yang menegaskan larangan menggunakan biji-bijian tasbih dalam menghitung dzikir.
24. ALBANI DI NILAI BID’AH (SESAT) & TASYABBUH OLEH UTSAIMIN, MUQBIL , DLL KARENA MEMBOLEHKAN ADANYA YAYASAN
Pendapat Albani :
Menuduh satu jum’iyyah yang tegak diatas asas ini dengan hizbiyyah,atau dengan bid’ah , maka tidak ada celah untuk mengatakan hal ini karena menyelisihi apa yang telah ditetapkan para ulama dengan membedakan antara bid’ah yang secara umum bersifat sesat dengan sunnah hasanah, sunnah hasanah adalah satu metode yang baru yang ditemukan untuk dijadikan wasilah menuju kepada sesuatu yang diinginkan dan disyari’atkan secara nash.Maka jum’iyyah-jum’iyyah yang ada dizaman ini tidak berbeda dari dari sisi sarana-sarana yang ada dari berbagai sarana yang baru muncul pada masa kini untuk memudahkan kaum muslimin menuju kepada berbagai tujuan yang disyari’atkan.Tidaklah kita sekarang ini di majelis ini dengan menggunakan berbagai alat perekam yang beraneka ragam dan bentuknya,melainkan dari sisi ini.Sarana-sarana adalah sesuatu yang baru
(kaset silsilah al-huda wan-nuur:no:590.lihat pula risalah: hukmul ulama’ fil indhimam li jum’iyyatil hikmah wal ihsan wal birr wat-taqwa, wajum’iyyati ihyaa’ at-turats ummu haa’ulaa’,karya Hasan bin Qasim Ar-Raimi,hal: 5-6)
Bantahan
Utsaimin
“Ketika (orang-orang Yahudi itu) mensifati Alloh dengan kekurangan ini, maka Alloh menghukum mereka berdasar apa yang mereka ucapkan. Alloh -سبحانه وتعالى- mengatakan:
) غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ ( [المائدة/64]
“Tangan-tangan merekalah yang terbelenggu.” (QS. Al-Maidah: 64)
Maksudnya adalah tertahan dari infak. Karena inilah, maka orang-orang Yahudi merupakan manusia yang paling rakus dalam mengumpulkan harta dan paling keras dalam menahan pemberian. Mereka adalah hamba-hamba Alloh yang paling pelit dan paling tamak dalam menuntut harta. Mereka tidaklah mungkin berinfak dengan satu dirham pun kecuali mereka yakin bahwa akan terkucur untuk mereka dirham sebagai gantinya. Saat ini kita melihat bahwa mereka (Yahudi) memiliki yayasan-yayasan yang besar dan megah, tetapi mereka menginginkan di balik yayasan-yayasan dan sumbangan-sumbangan tersebut (sesuatu) yang lebih banyak dan lebih banyak (lagi). Mereka ingin menguasai alam ini.“
(Syarah Al-Aqidah Al-Wasithiyyah, hal 191)
Muqbil
“…kami dari dahulu mengatakan bahwa meninggalkan yayasan-yayasan itu lebih baik dari keberadaannya. Sebab nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم- dan para sahabatnya pada saat itu sangatlah butuh kepada harta benda daripada kita. Bahkan mereka lebih dahsyat kebutuhannya daripada kita. Bersamaan dengan itu mereka tidak menghidupkan yayasan. Karena hal itulah kami katakan bahwa meninggalkannya lebih baik dari keberadaannya. Sebaik-sebaik petunjuk adalah petunjuk nabi -صلى الله عليه وعلى آله وسلم-. Tinggalkanlah jam’iyyah tersebut! Sebab sesungguhnya jam’iyyah itu akan menjadi penyebab hizbiyah.
Rabi’ almadkholiy:
Penanya: Apakah yayasan-yayasan ini merupakan diantara permasalahan yang diperbolehkan untuk khilaf dari sisi ditoleransi kepada siapa yang berpendapat tentang bolehnya (hal itu)?
Syeikh: Apakah diperbolehkan khilaf terhadap perkara kebid’han dan kesesatan?
Penanya: tidak (diperbolehkan).
Syeikh: Selesai (maksudnya tidak perbolehkan untuk toleransi), ini (yayasan-yayasan) adalah kebid’ahan dan taklid kepada kaum kuffar dan banyaknya kerusakan-kerusakan yang padanya yang tidak yang mengetahuinya kecuali Allah Azza wa jalla dan sesungguhnya yayasan-yayasan tersebut memecah belah kaum muslimin.
“…yayasan-yayasan ini merupakan diantara kebid’ahan dan kesesatan serta merupakan sunnahnya Yahudi dan Nashara.”
25. ALBANI DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ULAMA SALAFY LAIN KARENA MEMBOLEHKAN BERTAWASUL KEPADA NABI MUHAMMAD & ORANG SOLEH.
Asy-Syaikh Al-Albani berkata :
“Al-Imam Ahmad membolehkan bertawassul dengan (perantaraan) Rasul shallallaahu ‘alaihi wasallam saja. Ada pula yang membolehkan dengan selainnya, seperti Al-Imaam Asy-Syaukaaniy dimana tawassul boleh dilakukan dengan (perantaraan) beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam dan yang lainnya dari kalangan para nabi dan orang-orang shaalih”
(At-Tawassul, hal. 42; Maktabah Al-Ma’aarif, Cet.1/1421 H)
26. UTSAIMIN & BIN BAZ DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH ALBANI KARENA MEMBOLEHKAN SHOLAT JENAZAH DI KUBURAN
Hukum Mensholatkan Jenazah di Kuburan Menurut Utsaimin & Bin Baz
Jenazah tersebut telah dishalati sebelum dikuburkan dan ada sebagian orang yang belum menshalatinya, maka disyariatkan bagi mereka untuk menshalatinya di atas kuburannya menurut pendapat Ibnu Hazm, Ahmad, Asy-Syafi’i, jumhur dan diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar, ‘Aisyah, Abu Musa Al-Asy’ari dan para shahabat yang lainnya radhiallahu ‘anhum. Dan ini yang dirajihkan (dikuatkan) oleh Ibnul Qayyim, Asy-Syaukani, Asy-Syaikh Ibnu Baz dan Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahumullah. Kata Al-Imam Ahmad: “Siapa yang akan ragu tentang bolehnya, sementara hal itu telah diriwayatkan dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melalui enam jalan periwayatan yang mana semua sanadnya baik.”
Bantahan Albani
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat jenazah di antara kuburan-kuburan.” hadits yang diriwayatkan Ibnul A’rabi, Ath-Thabrani dan Adh-Dhiya` Al-Maqdisi dengan lafadz: “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang shalat jenazah di antara kuburan-kuburan.” (Sanadnya dihasankan oleh Al-Haitsami dan Al-Albani rahimahumallah. Lihat Ahkamul Janaiz, hal. 138 dan 270) Oleh karena itu, berdasarkan hadits ini Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah mengatakan tidak bolehnya melaksanakan shalat jenazah di kuburan.
Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Janaiz, beliau berkata: “Dan apa yang dikatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah tentang bolehnya melaksanakan shalat jenazah di area pekuburan perlu ditinjau kembali, karena tidak ada nash (dalil) yang menunjukkan bolehnya hal itu. Kalaulah seandainya Ibnu Hazm termasuk dari kalangan ulama yang berhujjah dengan qiyas maka tentu kita akan mengatakan bahwa beliau meng-qiyas-kannya terhadap bolehnya menshalati jenazah (yang telah dikuburkan) di atas kuburannya. Namun beliau berpendapat batilnya berhujjah dengan qiyas secara mutlak, sementara pelaksanaan shalat jenazah di area pekuburan menyelisihi Sunnah Nabi (bid’ah) yang tidak pernah mencontohkan pelaksanaan shalat jenazah kecuali di mushalla (tanah lapang yang khusus disiapkan untuk menshalati jenazah) dan di masjid… Bahkan terdapat hadits yang melarang secara jelas pelaksanaan shalat jenazah di antara kuburan-kuburan, sebagaimana pada riwayat hadits Anas radhiallahu ‘anhu…”
27. ALBANI DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH BIN BAZ & UTSAIMIN KARENA MEMBOLEHKAN SHOLAT SUNNAH BA’DA ASHAR
Syekh Al-Albani
Shalat ba’diyah asar itu adalah Sunnah (lihat silsilah al-Ahadits ash-Shahihah juz 6 halaman 1013-1014).
Bin Baz
Shalat ba’diyah asar itu Haram (lihat Majmu’ Fatawa Wa Maqalat Mutranawwiyah Syaihk bin Baz Juz 11 Hal. 286).
Bantahan Ustaimin kepada Albani
“Shalat asar itu tidak memiliki rawatib baik qobliyah maupun ba’diyah
28. ALBANI DI NILAI FATWANYA HARAM OLEH BIN BAZ KARENA BOLEH ISBAL JENGGOT
Pendapat Albani
Memanjangkan (isbal) jenggot melebihi genggaman tangan itu hukumnya HARAM dan BID’AH.Fatwa Albani ini ternyata tak ada satu pun dari pengikutnya yang mengamalkan dan mematuhinya justru para pengikut setianya beranggapan wajib memanjangkan jenggot dan menngunting sehelai jenggot saja haram hukumnya.Berikut petikan dalam fatwa Albani :(Fatawa syaikh Albani : 52-53)
“Tanya syeikh : Kami mendengar anda mengatakan bahwa Isbal jenggot melebihi gengaman tangan itu hukumnya seperti isbal di pakaian?? Jawab : Ya benar.
Tanya syeikh : Artinya jenggot yang panjang melebihi genggaman tangan maka hukum isbalnya haram ??
Jawab : Ya benar. Inilah ucapan yang paling tepat yaitu HARAM isbal jenggot melebihi genggaman tangan, sebagaimana haramnya bid’ah dalam agama.”Bantahan Bin Baz
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz berkata dalam Ad Da’wah hal. 992 ketika ditanya apa hukum mencukur jenggot: “Mencukur jenggot tidak boleh karena sabda Rasulullah di dalam hadits yang shahih: “Potonglah kumis dan peliharalah jenggot dan berbedalah dengan orang-orang musyrik.” Dan sabda yang lain: “Cukurlah kumis, peliharalah jenggot, dan berbedalah dengan orang Majusi.’”
Dalam kitab wahabi ini dijelaskan keharaman memotong jenggot !!
29. BIN BAZ, ALBANI & ULAMA SALAFY LAIN DI NILAI BID’AH (SESAT) OLEH  IBNU TAIMIYAH & MAHRUS ALI KARENA SHOLAT TIDAK DI TANAH LANGSUNG
Imam  Ibnu Taimiyah di tanya tentang orang yang menggelar sajadah di masjid untuk salat, apakah perbuatan tersebut termasuk bid`ah?
Beliau menjawab: “ Bila orang membawa sajadah  ketika berangkat  ke masjid, maka  tidak termasuk perbuatan  sahabat muhajirin, Ansor dan  generasi yang ikut  mereka dengan baik. Pada priode Rasulullah SAW, mereka menjalankan salat di masjid di atas tanah, tiada seorang pun yang membawa sajadah untuk salat. Abdur rahman bin  Mahdi ketika datang ke Madinah menggelar sajadah, lalu Imam Malik memerintah agar di tahan. Lalu di katakan kepadanya: “ Dia adalah Abdur rahman bin Mahdi? Imam Malik menjawab: “ Apakah kamu tidak mengetahui bahwa menggelar sajadah di masjid kami ( masjid nabawi ) bid`ah. Dalam sahih Bukhori di jelaskan suatu hadis dari Abu Said Al Khudri:” Kami   beri`tikaf  bersama  Rasulullah SAW ………… ………..Rasul bersabda:
مَنْ اعْتَكَفَ فَلْيَرْجِعْ إلَى مُعْتَكَفِهِ فَإِنِّي رَأَيْت هَذِهِ اللَّيْلَةَ وَرَأَيْتُنِي أَسْجُدُ فِي مَاءٍ وَطِينٍ
Barang siapa beri`tikaf, kembalilah ke tempat I`tikafnya, sesungguhnya  aku  melihat lailatul qadar malam  nanti . Aku bermimpi seolah aku  bersujud diatas air dan tanah…………… di akhir hadis di jelaskan:” Sungguh aku melihat pada  pagi hari tanggal dua puluh satu Ramadan terdapat bekas air dan tanah di hidung dan ujung hidung Rasulullah SAW
    Ini jelas bahwa Rasulullah SAW  bersujud di atas tanah, sedang masjid beliau beratap pelepah kurna dimana hujan   turun ke tanah  dan  masjid beliau juga tidak berlantai tapi  dari tanah . Terkadang mereka meletakkan  kerikil sebagaimana dalam kitab sunan Abu Dawud  dari Abdullah Bin Al Harits  berkata: “ Aku bertanya  kepada Abdullah bin Umar tentang kerikil masjid, lalu beliau menjawab:” Pada suatu malam, hujan turun, dan tanah  berlumpur, lantas  seorang lelaki membawa  kerikil lalu di gelar di tempat salatnya . baca lebih lanjut
Komerntar  Mahrus ali (Ustad Salafy) :
Apa yang di katakan oleh Ibn Taimiyah itu benar, tidak keliru atau setengah benar. Dan memang begitulah tuntunan salat yang asli bukan tuntunan salat yang palsu. Salat tanpa alas, tapi langsung ke tanah adalah salat para rasul bukan salatnya ahli bid`ah yang ngaku benar, hakikatnya  sesat lalu menyatakan sesat kepada ahli sunnah sejati bukan ahlis sunnah yang palsu.
Bantahan al-Albani:
Dibolehkan sholat dan sujud di atas sesuatu yang dihamparkan diatas tanah. Tirmidzi menceritakan dari mayoritas ahli ilmu dari kalangan sahabat Rasulullah saw dan yang datang setelah mereka,Pasal Kedua: Masalah Shalat — 97
mereka berpendapat, bahwa tidak apa sholat di atas tikar dan permadani. Pendapat ini dinyatakan oleh al-Auzai, Ahmad, dan jumhur ahli fiqh. ats-Tsamaru al-Mustathab (1/446)
Dan akhirnya Ust Salafy ikut pula berpendapat bahwa ” Janganlah Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkannya & Melarang sesuatu yang tidak dilarangnya”, seperti berikut:
“Apa yang anda sebutkan tidak bertentangan dengan Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Memang Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sering shalat di atas tanah tanpa penghalang, namun beliau juga pernah shalat di atas tikar, khumrah (tikar kecil atau tenunan daun kurma atau semacamnya sebagai alas wajah ketika sujud, sehingga ukurannya juga sebesar itu ; jadi semacam sajadah kecil namun khusus untuk wajah) [1]Demkian juga, sepengetahuan kami, Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah memerintahkan umat agar shalat langsung di atas tanah, dan tidak pernah melarang shalat di atas permadani, keramik atau semacamnya.“SEBAGAI SEORANG MUSLIM KITA TIDAK BOLEH MEWAJIBKAN SESUATU YANG TIDAK DIWAJIBKAN OLEH ALLAH SUBHANALLAHU WA TA’ALA DAN RASUL-NYA. DAN KITA TIDAK BOLEH MENGHARAMKAN SESUATU YANG TIDAK DIHARAMKAN OLEH ALLAH & RASUL-NYA “
DILARANG STOP

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel