Makalah Unsur Pidana dan Konsep Azas Legalitas


Makalah Unsur Pidana dan Konsep Azas Legalitas

BAB 1
PENDAHULUAN

A.    Latar belakang
         Salah satu asas pokok dalam hukum pidana adalah  asas  legalitas  (principle of  legality). Asas legalitas memiliki kedudukan yang sangat fundamental  dan  oleh  karenanya  menjadi salah  satu  asas  yang  paling  penting  dalam hukum  pidana.  Asas  ini  antara  lain  mengatur tentang  apa  dan  bagaimana  sebuah  tindakan atau  perbuatan  dapat  dikategorikan  sebagai tindak  pidana  dan  didasarkan  atas  dalil  apa.[1]
  Ruang lingkup fiqh jinayah ini mencakup ketentuan-ketentuan hukum tentang berbagai tindak kejahatan kriminal, yaitu pencurian, perzinaan, homoseksual, menuduh seseorang melakukan perzinaan, minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang, dan melakukan gerakan-gerakan kekacauan. Fiqh Jinayah adalah mengetahui berbagai ketentuan hukum tentang perbuatan-perbuatan kriminal yang dilakukan orang-orang mukallaf, sebagai hasil pemahaman atas dalil-dalil yang terinci..[2]
  Dalam kebijakan hukum hukum pidana, baik kebijakan dibidang hukum pidana harus dilakukan secara integral atau komprehensif melalui pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai serta disesuaikan dengan dalil yang ada. Karena apabila tidak sesuai maka kebijakan hukum pidana itu tidak akan efektif mencegah kejahatan dan secara lebih luasa melindungi masyarakat dari tindak kejahatan.
B.     Rumusan Masalah
1.    Apa yang di maksud pidana?
2.    Apa saja unsur-unsur tindakan pidana ?
3.    Apa itu asas legalitas ?
4.    Bagaimana cara menentukan hukum pidana berdasarkan asas legalitas?

C.    Tujuan
1.    Untuk mengetahui makna dari Pidana
2.    Untuk mengetahui unsur-unsur tindakan pidana
3.    Untuk mengetahui maksud dari asas legalitas
4.    Untuk mengetahui cara menentukan hukum pidana


BAB II
PEMBEHASAN

A.    Pengertian Pidana
Secara Etimologis pidana Islam dalam kosakata bahasa Arab adalah ‘uqubah artinya pembalasan dengan keburukan (siksaan), hukuman, pidana, balasan dan menahan. Tindak pidana dalam hukum Islam disebut jarimah atau jinayah, jarimah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan. [3]
Secara Termologi pidana Islam yaitu:

العقو بة نمتالب هى ا لجز اء ا لمقر ر لمصلحة ا لجما عة علئ عصيا ن ا مر ا لشا ر ع.
Artinya:
Pidana adalah balasan yang ditetapkan untuk kemaslahatan umat terhadap pelanggaran perintah Syari’ (Allah SWT dan RasulNya).
Dalam definisi lain yaitu:

العقو بة هى جز ا ء و ضعه الشارع للر دعن ارثكا ب ما هى عنه و تر ك ما اْ مر به.
Artinya:
‘uqubah adalah balasan yang dibuat oleh Syari’ (Allah SWT dan RasulNya) untuk menolak atau mencegah dari mengerjakan perbuatan yang      dilarang, dan meninggalkan perbuatan yang diperintah.
Secara Terminologis jarimah adalah:

الجر يمة في الشر يعة الا سلا مية با نها محظو راث شر عية ز جر الله عنها بحر ا و ثعز ير

Artinya:
Jarimah dalam syari’ah Islam yaitu larangan-larangan syara’ yang   diancam oleh Allah SWT dengan hukuman had atau ta’zir. [4]
Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan perkataan syara’ pada pengertian tersebut diatas, yang dimaksud bahwa sesuatu perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang syara’. Juga perbuatan atau tidak berbuat dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancam hukuman terhadapnya.
Berdasarkan definisi diatas, pidana dalam Islam harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1.        Hukuman itu adalah produk Allah SWT.
2.        Hukuman bertujuan untuk kemaslahatan ummat.
3.        Hukuman itu dibuat untuk orang yang melanggar perintah Allah SWT atau larangannya.[5]
B.     Unsur-unsur Tindak Pidana dalam Islam
Sebagaimana disebutkan diatas, pengertian jarimah ialah larangan-larangan Syara’ yang diancam hukuman had atau hukuman ta’zir. Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang diharamkan, atau meninggalkan yang disuruh. Juga telah disebutkan, bahwa dengan penyebutan kata-kata “Syara”, dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) Syara’, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah, apabila diancam hukuman terhadapnya.
Karena perintah-perintah dan larangan-larangan tersebut datang dari Syara’ maka perintah-perintah dan larangan-larangan itu hanya ditujukan kepada orang yang berakal sehat dan dapat memahami pembebanan (taklif), sebab pembebanan itu artinya panggilan (khitab), dan selain orang seperti hewan dan benda-benda mati tidak dapat memahami, dengan begitu tidak mungkin menjadi obyek panggilan tersebut.
Dari statemen diatas, setiap jarimah harus mempunyai unsur-unsur umum yang harus dipenuhi yaitu:
ان يكو ن هنا كا نص يحظر الجر يمة ويعا قب عليها وهو ما نسميه اليو م فى اصطلا حنا القا نو نى كن الشر عى للجر يمة
ا تيا ن العمل المكو ن للجر يمة سواء كا ن فعلا او امتنا عا و هذا نسميه با لر كن الما دى للجر يمة
ان يكو ن الجا نى مكلفا اى مسئو لا عن الجر يمة وهذا ما نسميه اليو م با لر كن الا د بى


Artinya:
1.      Ada nash yang melarang tindak pidana dan ada pula hukum-hukumnya. Ini kami namakan dalam istilah undang-undang dengan rukun syar’i (unsur formil) untuk jarimah.
2.      Adanya perbuatan yang berbentuk jarimah, baik berupa perbuatan atau sikap tidak berbuat. Ini kami menamakannya dengan rukun madi (unsur materil) untuk jarimah.
3.      Adanya pelaku tindak pidana tersebut adalah orang yang mukallaf (cakap hukum), yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungan jawabannya. Ini kami menamakan dengan rukn ‘adabi (unsur moril).
Menurut hemat penulis, ketiga unsur tersebut adalah satu kesatuan yang utuh, yang tidak dapat dipisahkan. Bila salah satu dari tiga unsur tersebut tidak ada maka seseorang yang melakukan tindak pidana tidak bisa diberikan atau dijatuhi hukuman hukum.[6]
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral sebagai berikut:
1.         Secara yuridis normatif di satu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah swt. (Pencipta manusia)
2.         Unsur moral yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan. Dalam hal ini disebut mukallaf. Mukallaf adalah orang islam yang sudah baligh dan berakal sehat.[7]
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.[8]
Selain unsur-unsur hukum pidana yang telah disebutkan, perlu diungkapkan bahwa hukum pidana Islam dapat dilihat dari beberapa segi, yaitu sebagai berikut:
1.         Dari segi berat atau ringannya hukuman, maka hukum pidana Islam dapat dibedakan menjadi (a) jarimah hudud, (b) jarimah qishah, (c)jarimah ta’zir.
2.         Dari segi unsur niat, ada dua jarimah yaitu (a) yang sengaja, dan (b) tidak disengaja.
3.         Dari segi cara mengerjakan, ada dua jarimah, yaitu (a) yang positif, dan (b) negatif.
4.         Dari segi si korban, jarimah terbagi dua yaitu (a) yang bersifat biasa, dan (b) kelompok.
5.         Dari segi tabiat, jarimah terbagi dua yaitu (a) yang bersifat biasa dan (b) bersifat politik.[9]
C.    Konsep Azas Legalitas
Kata asas berasal dari bahasa arab asasun yang  berarti  dasar  atau  prinsip,  sedangkan kata  ”legalitas”  berasal  dari  bahasa  latin  yaitu lex yang  berarti  undang-undang,  atau  dari kata jadian legalis yang berarti sah atau sesuai dengan  ketentuan  undang-undang.  Dengan demikian  arti  legalitas  adalah  keabsahan menurut undang-undang. Asas legalitas berkaitan dengan ketentuan yang menyatakan bahwa  tidak  ada  pelanggaran  dan  tidak  ada hukuman sebelum ada undang-undang yang mengaturnya.[10]
Asas legalitas dalam hukum pidana merupakan asas yang sangat fundanmental. Asas legalitas dalam hukum pidana begitu penting untuk menentukan apakah suatu peraturan hukum pidana dapat diberlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi. Jadi, apabila terjadi suatu tindak pidana, maka akan dilihat apakah telah ada ketentuan hukum yang mengaturnya dan apakah aturan yang telah ada tersebut dapat diperlakukan terhadap tindak pidana yang terjadi[11]
Asas  legalitas  yang merupakan  asas  kemasyarakatan, secara  substansial  terdapat  dalam hukum  Islam  baik  di  dalam  Al-Quran  maupun  hadist-hadist  Nabi Muhammad SAW. Hukum  Islam  menyatakan bahwa  dalam  penetapan  tindak pidana harus ada  had  yang melarang perbuatan  tersebut  dan mengancamkan  hukuman terhadapnya.
Adanya had-had  yang melarang  dan  mengancamkan hukuman  terhadap  suatu  perbuatan itu  tidak  cukup  untuk  menghukum setiap  perbuatan,  tetapi  ada  syarat lain  bagi  orang  yang  melakukan perbuatan terlarang ini supaya bisa dihukum,  yaitu  had  yang melarangnya  itu  valid  (berlaku) pada waktu perbuatan itu dilakukan, valid  menurut  tempat  terjadinya tindak  pidana,  dan  valid  terhadapindividu  yang  berbuat.  Apabila salah  satu  syarat  ini  tidak  bisa dipenuhi,  hukuman  tidak  bisa dijatuhkan  kepada  pelaku  tindak pidana.
Namun  demikian  selain mendasarkan pada had / aturan yang telah  ditetapkan,  asas  legalitas dalam Islam juga mendasarkan pada kaidah  umum  yang  merupakan aturan  hukum  umum  dalam  Islam. Adapun  kaidah-kaidah  umum tersebut adalah:
1.“Tidak  ada  hukuman  bagi perbuatan  orang  yang  berakal sehat  sebelum  ada  had (ketentuan)”.Maksudnya  setiap  perbuatan mukallaf  (bekwaam) tidak dapat dikatakan  terlarang  sebelum adanya  had  (ketentuan)  yang melarangnya  dan  pelakunya mempunyai  kebebasan  untuk melakukan  perbuatan  tersebut atau meninggalkannya sehingga ada had yang melarangnya.
2. “Dasar  segala  sesuatu  adalah dibolehkan/mubah”.Maksudnya,  semua  perbuatan atau  sikap  tidak  berbuat dibolehkan  dengan  kebolehan yang  asli  (yakni  bukan kebolehan  yang  dinyatakan  oeh dinyatakan  oleh  syarak).  Jadi, selama  belum  ada  had  yang melarang,  tidak  ada  tuntutan terhadap  orang yang berbuat atau tidak berbuat.
3. “Menurut  syara’,  tidak  ada pembebanan  suatu  hukum kecuali  terhadap  seseorang mukalaf  yang  berkemampuan untuk  memahami  dalil-dalil pembebanan  dan  untuk melaksanakan  hukum  tersebut. Pekerjaan  yang  dibebankan hanyalah  pekerjaan  yang mungkin  dilaksanakan  dan disanggupi  serta  diketahui  oleh mukallaf  sehingga  dapat mendorong  dirinya  untuk memperbuatnya”.
Kesimpulan  pernyataan tersebut bahwa aturan-aturan pokok hukum  Islam  telah  menetapkan bahwa tidak ada tindak pidana dan tidak  ada  hukuman  kecuali  setelah adanya had (ketentuan).[12] Dalam Penerapan Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, tindak  pidana  (jarimah)  dalam  Hukum Pidana Islam diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu hudud,  qisas-diyat, dan ta’zir.[13]
Asas ini berdasarkan Al-Qur’an Surat Al- Isra’ ayat 15:
مَنِ اهْتَدَىٰ فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ ۖ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا ۚ وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ ۗ وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًا

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan bidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri dan barangsiap yang sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan kami tidak akan mengazab sebelum kami mengutus seorang Rasul.
Dasar selanjutnya adalah surat Al- Qashash ayat 59:
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَىٰ حَتَّىٰ يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولًا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا ۚ وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَىٰ إِلَّا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ

Dan Tuhanmu tidak akan membinasakan negeri-negeri sebelum Dia mengutus seorang Rasul di ibukotanya yang membacakan ayat-ayat kami kepada mereka, dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan (penduduk) negeri kecuali penduduknya melakukan kezaliman.
Ayat-ayat yang diungkapkan diatas mengandung makna bahwa Allah tidak akan pernah menyiksa umat manusia sebelum Allah menurunkan aturan yang mengatur umat manusia. Dalam ayat Al-Qur’an tersebut sudah sangat jelas menyebutkan bahwa tidak ada hukuman kecuali sesudah adanya pemberitahuan sebelumnya.
Berdasarkan ketentuan ayat-ayat tersebut, para ahli hukum membuat kaidah yang berbunyi:
1.      Sebelum ada ketentuan nash, tidak ada hukuman bagi perbuatan manusia. Selain itu orang tersebut harus bisa memahami apa yang menjadi perintah atau aturan yang berlaku. Hal ini selaras dengan qaidah.
2.      Pada asalnya semua perkara dan semua perbuatan adalah diperbolehkan.
D.    Penentuan Hukum Pidana
Dalam hukum pidana Islam ada tiga cara dalam menerapkan asas legalitas, yaitu:
1.      Pada jarimah-jarimah yang sangat urgen serta sangat mempengaruhi keamanan dan ketentraman masyarakat, misal jarimah-jarimah hudud, qishash, dan diyat. Dalam kategori ini, asas legalitas dilaksanakan dengan teliti, sehingga tiap-tiap jarimah hukumannya dicantumkan satu persatu.
2.      Pada jarimah-jarimah yang tidak begitu urgen, misal pada persoalan jarimah ta’zir. Dalam  kategori  ini  pada  umumnya syāra’ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman, dan untuk hukuman jarimah-jarimah  tersebut, syāra’  hanya  menyediakan  sejumlah  hukuman untuk  dipilih  oleh  hakim,  yaitu  hukuman  yang  sesuai  bagi  peristiwa pidana yang dihadapinya.
3.       Pada  jarimah-jarimah  ta’zir  yang  dicantumkan  hukuman  untuk kemaslahatan umum, syāra’ memberi kelonggaran dalam penerapan asas
legalitas  dari  segi  penentuan  jenis jarimahnya,  karena syāri’ah  hanya
membuat  suatu nash (ketentuan)  umum  yang  dapat  mencakup  setiap perbuatan yang menggangu kepentingan dan ketentraman masyarakat.[14]



BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan
Pengertian Pidana Islam secara Etimologis dalam kosakata bahasa Arab adalah ‘uqubah artinya pembalasan dengan keburukan (siksaan), hukuman, pidana, balasan dan menahan. Tindak pidana dalam hukum Islam disebut jarimah atau jinayah, jarimah yaitu melukai, berbuat dosa dan kesalahan. pengertian jarimah ialah larangan-larangan Syara’ yang diancam hukuman had atau hukuman ta’zir.
Larangan tersebut adakalanya berupa perbuatan yang diharamkan, atau meninggalkan yang disuruh. Juga telah disebutkan, bahwa dengan penyebutan kata-kata “Syara”, dimaksudkan bahwa larangan-larangan harus datang dari ketentuan-ketentuan (nash-nash) Syara’, dan berbuat atau tidak berbuat baru dianggap sebagai jarimah, apabila diancam hukuman terhadapnya.
Aturan-aturan pokok hukum  Islam  telah  menetapkan bahwa tidak ada tindak pidana dan tidak  ada  hukuman  kecuali  setelah adanya had (ketentuan).[15] Dalam Penerapan Asas Legalitas Hukum Pidana Islam, tindak  pidana  (jarimah)  dalam  Hukum Pidana Islam diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu hudud,  qisas-diyat, dan ta’zir.
B.     Kritik dan saran
Dengan terselesaikannya makalah kami ini saya berharap makalah ini dapat memberikan sumbangsih kepada para pembaca berupa pengetahuan tentang Unsur Pidana dan Azaz Legalitas, disamping itu kami juga mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca apabila ada kesalahan-kesalahan dalam penyusunan makalah ini. Karena kami menyadari bahwa makalah yang kami susun ini masih jauh dari kesempurnaan.


         [1] Deny Setyo Bagus Yuherawan, Dekontruksi asas Legalitas Hukum Pidana: Sejarah Asas Legalitas dan Gagasan Pembaharuan Filosofis Hukum Pidana, ( Malang: Setara Press, 2014), hlm. 6
[2] Dede Rosyada, Hukum Islam Dan Pranata Sosial (Dirasah Islamiyah III), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999) hlm.85-86.
[3] Madani, Hukum Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2018) hlm.109-110

[5] Madani, Ibid, hlm.112-114
[6] Madani,Op.Cit, 114
[7] Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007) hlm.22
[8] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.27-28
[9] Zainudin Ali, Ibid, hlm.22
                [10] Moh Khasan, Prinsip-prinsip Keadilan Hukum Dalam Asas Legalitas Hukum Pidana Islam:Justice Principles in The Principle of Legality of Islamic Criminal Law, ( Semarang: Jurnal Rechtsvinding Vol. 6, No. 1, April 2017), hlm. 25
                [11] Mahrus Ali,  Dasar-Dasar Hukum Pidana, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2012), hlm. 59 
                [12] Muchammad Ikhsan, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidanan: Studi Komparatif Asas Legalitas Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam (Jinayah), (Universitas Muhammadiyah Surakarta: Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No.1 Februari - Juli 2017 ), hlm. 17-18
                [13] Moh Khasan, Ibid, hlm. 26
                [14] Wahyu Abdul Jafar, Analisis Asas Hukum Pidana Islam dan Asas Hukum Pidana di Indonesia, (IAIN Bengkulu: Al Istinbath: Jurnal Hukum Islam, Vol. 1, No. 1, 2016) , hlm. 27-30
                [15] Muchammad Ikhsan, Asas Legalitas Dalam Hukum Pidanan: Studi Komparatif Asas Legalitas Hukum Pidana Indonesia dan Hukum Pidana Islam (Jinayah), (Universitas Muhammadiyah Surakarta: Jurnal Serambi Hukum Vol. 11 No.1 Februari - Juli 2017 ), hlm. 17-18

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel