MAKALAH Bertanyalah Sesuatu Masalah pada Ahlinya “ QS An-Nahl, 16:43”
Bertanyalah Sesuatu Masalah pada Ahlinya
“ QS An-Nahl, 16:43”
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Alquran adalah kalamullah yang diturunkan melalui malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman bagi kehidupan manusia (way of life). Alquran mengandung beberapa aspek yang terkait dengan pandangan hidup yang dapat membawa manusia ke jalan yang benar dan menuju kepada kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Dari beberapa aspek tersebut, secara global terkandung materi tentang kegiatan belajar-mengajar atau pendidikan yang tentunya membutuhkan komponen-komponen pendidikan, diantaranya yaitu pendidik dan peserta didik.
Pendidik dalam proses pendidikan adalah salah satu faktor yang sangat penting untuk mencapai tujuan pendidikan. Selain pendidik, peserta didik juga mempunyai peran penting dalam proses pendidikan, tanpa adanya peserta didik maka pendidik tidak akan bisa menyalurkan pengetahuan yang dimilikinya sehingga proses pembelajaran tidak akan terjadi dan menghambat tercapainya tujuan pendidikan.antara pendidik dan peserta didik harus sejalan agar tujuan pendidikan dapat tercapai.
B. Judul
Judul yang akan saya bahas disini adalah tentang “Bertanyalah Sesuatu masalah pada yang ahlinya“
C. Nash dan Arti Q.S An – Nahl Ayat 43
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
D. Arti penting untuk Dikaji
Pentingnya mengkaji ayat ini adalah agar jika ada suatu permasalahan bertanyalah pada yang ahlinya ( ahlu dzikir) karena yang telah mempunyai peringatan jika kamu belum mengetahui. Dengan ayai ini juga kita boleh bertanya pada yang ahlinya di mana saj dan siapa, sebab yang kita cari kebenaran dan keridhaan Allah SWT.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ahlu Dzikir
Islam adalah agama yang paling sempurna dalam memerhatikan seluruh sisi kehidupan manusia. Oleh karena itu, Allah memerintah kita agar bertanya kepada ahlinya apabila kita tidak tahu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ
“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.”(an-Nahl: 43)
Ayat ini berlaku umum dalam segala urusan, baik urusan dunia maupun urusan agama. Konsekuensinya, kita harus mengetahui perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Lalu, kepada siapa kita harus bertanya? Ayat di atas sudah menjawab pertanyaan tersebut. Urusan agama ditanyakan kepada ulama (orang yang berilmu dalam hal agama), dan urusan dunia ditanyakan kepada ahlinya.[1]
Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan DIHARAMKANNYA bertanya tentang urusan agama kepada orang yang tidak mengetahui urusan agama.Hal ini ditegaskan oleh hadits yang shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَلَاءَ، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ الْعِلْمِ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya, Allah tidaklah mencabut ilmu dengan sekali cabut dari hamba-Nya. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama. Sampai apabila Allah tidak menyisakan seorang ulama pun, manusia pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”(HR. al-Bukhari no. 100)
Al-Dzikr sebutan bagi Rasûlullâh saw, Ahlu Al-Dzikr adalah keluarga Al-Dzikr , yakni Ahlulbait Nabi saw yang disucikan. Merekalah orang-orang yang ditanya ketika ummat tidak tahu, sebab mereka mewarisi ilmu pengetahuan Rasûlullâh saw.
Pada akhir di atas dijelaskan tentang fungsi Rasulullah Saw sebagai penjelas (mubayyin) kepada manusia tentang hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran. Hal ini dimaksudkan agar manusia sebagai subjek dan objek pendidikan dapat berpikir. Ini mengisyaratkan bahwa siswa perlu memikirkan, menganalisis, dan bahkan mengkritisi materi pendidikan yang disampaikan guru. Di lain pihak, dengan ini juga menunjukkan bahwa al-Quran selalu mengajak berpikir kepada manusia agar dalam menunaikan kewajiban-kewajiban agama dilaksanakan dengan hati yang mantap karena didukung ilmu yang cukup.[2]
B. Tafisr
1. Tafsir Al-Azhar
“Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau melainkan orang-orang laki-laki yang Kami beri Wahyu kepada mereka” (pangkal ayat 43). Hal ini diperingatkan kembali kepada beliau, Rasulullah bahwa itu, dan isi pengajarannyya pun sama. Bahkan nasib pertentangan pun kebanyakan bersamaan. Sebab mereka itu semuanya adalah manusia, orang orang laki laki yang tidak lepas daripada suka dan duka. Maka disurhlah Nabi SAW menyampaikan kepada orang-orang itu: “ Maka bertanyalah kepada ahli-ahli yang telah mempunyai peringatan, jika belum mengetahui.” ( ujung ayat 43).
Kalau masih kurang percaya akan hal itu, mereka boleh menanyakan kepada ahludz-Dzikri, ahli peringatan, yaitu orang-orang Yahudi tentang Nasrani yang telah menerima kitab-kitab dan ajaran dari Nabi-nabi yang terdahulu itu. Kalau mereka orang-orang yang jujur, niscaya akan meraka beritahukan hal yang sebenarnya itu.
Disini disebut ahlu dzikri, orang yang ahli peringatan, atau orang yang berpengetahuan lebih luas. Umum arti ayat menyuruhkan orang-orang yang tidak tahu bertanya yang lebih tahu, karena ilmu pengetahuan itu umum sifatnya, berfaidah kuat mencari kebenaran. Menurut yang dirowitkan oleh Mujahid oleh Ibnu Abbas bahwa ahli Dzikri disini maksdnya iyalah ahli kitab. Sebelum ahli kitab itu dipengaruhi oleh nafsu ingin menang sendiri, meraka akan mengetahui Nabi-nabi dan Rosul-Rosul yang terdahulu itu semuanya adalah manusia belaka, manusia pilihan yang diberi pilihan wahyu oleh allah.
Dengan ayat ini mendapat pengertian bahwasanya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, diman saja dan siapa saja; sebab yang kita cari adalah kebenaran.
Yang manapun antara kedua tafsir itu tidaklah berlawanan. Dalam hal yang mengenai ilmu-ilmu Agama Islam sendiri kita bertanya kepada ahli dzikri dalam hal islam, dan ilmu-ilmu yang lain, yang lebh umum kita ditanyai pula kepada ahli dzikrinya; tandanya kita berpaham luas dan berdada lapang.[3]
2. Tafsir Al-Maraghi
Dalam ayat-ayat ini, Allah SWT menyajikan kesalahpahaman orang-orang musyrikmengatakan, sekiranya Allah hendak megutus seorang rasul, maka rasul itu bukan manusia, karena Allah Maha Tinggi dan Maha Agung daripada Rasul-Nya, salah seorang di antara manusia, sekiranya Dia mengutus seorang Rasul kepada kami, tentu Dia mengutus malaikat. Kemudian Allah menjawab kesalahpahaman ini bahwa telah menjadi Sunnah Allah untuk mengutus para Rasul-Nya dari manusia.
Maka bertanyalah kepada ahli kitab dahulu diantara orang-orang Yahudi dan Nasrani, apakah para utusan yang diutus kepada mereka itu manusia ataukah malaikat? Jika mereka itu malaikat silakan kalian mengingkari Muhammad SAW, tetapi jika itu manusia, jangan kalian ingkari dia.[4]
3. Tafsir Ibnu Katsir
Adh-Dhahhak berkata dari Ibnu Abbas, bahwa ketika Allah mengutus Muhammad sebagai seorang Rasul, orang-orang Arab atau sebagian dari mereka mengingkari dan berkata: “Allah akan lebih agung kalau Rasul-Nya tidak berupa manusia. Maka Allah menurunkan Ayat yang artinya:
“Patutkah menjadi keheranan bagi manusia bahwa Kami mewahyukan kepada seorang laki-laki di antara mereka: “Berilah peringatan kepada manusia,” (QS Yunus: 2).
Dan ayat seterusnya, dan Allah berfirman:
“Wa maa arsalnaa min qablika illaa rijaalan nuhii ilaihim fas-aluu ahl adz-dzikri in kuntum laa ta’lamuun“ (“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kamu tidak mengetahui.”) Maksudnya, bertanyalah kepada orang-orang Ahli Kitab terdahulu, apakah para Rasul yang diutus kepada mereka berupa manusia atau Malaikat? Jika para Rasul itu berupa Malaikat, berarti boleh kalian mengingkari dan jika dari manusia, maka janganlah kalian mengingkari kalau Muhammad adalah seorang Rasul.[5]
4. Tafsir terjemahan Surat An Nahl ayat 43
Firman Allah Swt. dalam ayatوَمَآاَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ اِلَّا رِجَالًا نُوْحِيْ اِلَيْهِمْyang mengandung arti: “Dan kami tidak mengutus sebelum kamu (Muhammad), kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka;” Orang awam membacanya نُوْحِيْ, dengan huruf ya’ dan harakat fathah pada huruf ha’. Sedangkan hafsh dari membacanya نُوْحِيْ اِلَيْهِمْ(Kami wahyukan kepada mereka) dengan huruf nun yang di-dhammah dan harakat kasroh pada huruf ha’. Ayat ini turun berkenaan dengan orang-orang musyrik Mekkah yang mengingkari kenabian Nabi Muhammad Saw. dan mereka berkata, “Allah Maha Agung jika utusan-Nya seorang manusia. Apakah Dia tidak mengutus seorang malaikat kepada kami?”
Kemudian Allah Swt. membalikkan perkataan mereka itu dengan firman-Nya: وَمَآاَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ : “Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu,” pada umat-umat yang lalu wahai Muhammad”,اِلَّا رِجَالًا: “Kecuali orang-orang lelaki,” dari bangsa manusia. Terus dari penggalan ayat: فَسْئَلُوْآ اَهْلَ الذِّكْرِ“Maka bertanyalah pada orang yang mempunyai pengetahuan.” Maka mereka (ahli kitab) akan menyampaikan kepada kalian bahwa semua nabi adalah manusia biasa.
Ada pula yang mengatakan, “Artinya, maka bertanyalah kepada ahli kitab jika mereka tidak beriman maka mereka mengakui bahwa para rasul adalah manusia biasa.”
Diriwayatkan berdasarkan maknanya, dari Ibnu Abbas dan Mujahid. Ibnu Abbas berkata: اَهْلَ الذِّكْرِadalah ahli al-Quran.
Ahl-zikir ditafsirkan dengan orang yang mempunyai ilmu pengetahuan tentang nabi dan kitab-kitab. Penulis tiada membatasi kepada pengetahuan tentang nabi-nabi dan kitab-kitab, melainkan meliputi detail-detail al-Quran dan Islam secara keseluruhannya. Orang yang memiliki pengetahuan tersebut adalah rasulullah dan para ulama dari berbagai kurun waktu. Penafsiran ini tampaknya relevan dengan tafsir az-zikrpada ayat berikutnya, bahwa yang dimaksudkannya adalah al-Quran itu sendiri. Itu pula sebabnya, al-Quran dinamai az-zikir.[6]
C. Aplikasi dalam Kehidupan
Dalam kehidupan sehari hari kita sering menemukan masalah yang kita tidak tahu jawabannya, seperti masalah Fiqih, sosial, dan lain. Jika kita menjawab tanpa adnya seorang guru atau orang yang lebih mengetahui maka akan tersesat. Seperti diibaratkan kita bertanya kepada orang yang buta, misalnya kita mau ke Semarang kita bertanya pada orang buta pasti kan tidak sampai tujuan yang kita inginkan.
D. Aspek Tarbawi
1. Salah satu nama al-Quran adalah az-Zikr yang dari segi bahasa adalah antonim dari kata lupa. Al-Quran dinamai demikian karena ayat-ayatnya berfungsi mengingatkan manusia apa yang berpotensi dilupakannya dari kewajiban, tuntutan, dan peringatan. Di sisi lain, tuntutan dan petunjuk-petunjuknya harus pula selalu diingat dan dicamkan.
2. Allah Swt. memilih manusia-manusia pilihan sebagai nabi dan rasul kepada masyarakat (umat) manusia dan memberi mereka petunjuk dan bimbingan untuk mereka sampaikan kepada masyarakat mereka masing-masing. Tidak ada satu pun di antara mereka yang bukan manusia.
3. Apabila kita menemukan kesulitan dalam menuntut ilmu, maka kita harus bertanya kepada ahlinya.
4. Meningkatkan kemampuan jika saat bertanya sesuatu masalah kepada yang ahlinya.
5. Senantiasa selalu bertanyalah pada yang ahlinya karena untuk meberikan petunjuk jalan yang baik dan benar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dengan ayat ini mendapat pengertian bahwasanya kita boleh menuntut ilmu kepada ahlinya, diman saja dan siapa saja; sebab yang kita cari adalah kebenaran.
Yang manapun antara kedua tafsir itu tidaklah berlawanan. Dalam hal yang mengenai ilmu-ilmu Agama Islam sendiri kita bertanya kepada ahli dzikri dalam hal islam, dan ilmu-ilmu yang lain, yang lebh umum kita ditanyai pula kepada ahli dzikrinya; tandanya kita berpaham luas dan berdada lapang.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Agama Republik Indonesia. 1984.Tafsir dan Terjemahnya.Jakarta: Depag RI
Bahreisy Salim dan H. Said Bahreisy.2012. Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya : PT. Bina Ilmu
Al-Maraghi Mustafa Ahmad. 1992. Tafsir al-Maraghi. Juz 14.Semarang: Toha Putra
Gojali Nanang, Manusia.2014.Pendidikan, dan Sains Tafsir Haermeneutik. cet. I. Jakarta: PT Rineka Cipta
https://qonitah.com/bertanyalah-tentang-suatu-permasalahan-kepada-ahlinya/. Diakses : 07-04-2017. 10:38
Hamka. 1983.Tafsir Al-Azhar. Jakarta : Pustaka Panjimas
[1]https://qonitah.com/bertanyalah-tentang-suatu-permasalahan-kepada-ahlinya/. Diinput : 07-04-2017. 10:38
[2] Nanang Gojali, Manusia, Pendidikan, dan Sains Tafsir Haermeneutik, cet. I, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004), hlm. 162
[3] Dr. Hamka, Tafsir Al-Azhar (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1983), hlm. 248-249
[4]Ahmad Mustafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Juz 14, (Semarang: Toha Putra, 1992), hlm. 160-161
[5]H. Salim Bahreisy dan H. Said Bahreisy, Terjemahan Singkat Tafsir Ibnu Katsir, (Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2012), hlm 605
[6]Departemen Agama Republik Indonesia, Tafsir dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1984), hlm. 408