MAKALAH ILMU YAQIN. AINUL YAQIN, HAQQUL YAQIN (QS. At-Takatsur: 5-7)
PENDIDIKAN ILMIAH-INTELEKTUAL
ILMU YAQIN. AINUL YAQIN, HAQQUL YAQIN
(QS. At-Takatsur: 5-7)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Tema dan Judul Makalah
Tema: Pendidikan Ilmiah-Intelektual
Judul: Ilmu Yaqin, Ainul Yaqin, Haqqul Yaqin
B. Nash Al-Qur’an dan Terjemahan
كَلَّا لَوْ تَعْلَمُونَ عِلْمَ الْيَقِينِ (٥) لَتَرَوُنَّ الْجَحِيمَ (٦) ثُمَّ لَتَرَوُنَّهَا عَيْنَ الْيَقِين
5. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin,
6. Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim.
7. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin.
C. Arti Penting Dikaji
Ayat ini sangat penting untuk dikaji karena untuk mengetahui seberapa besar keyakinan seseorang terhadap firman dan ketetapan Allah SWT dan terhadap pengetahuan yang dimiliki serta untuk mengetahui keyakinan tersebut sampai pada tingkatan mana. Apakah tingkat ilmu yaqin, ainul yaqin atau haqqul yaqin.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
kata yaqin (يَقِيْنٌ) ditemukan dalam Al-Qur’an sebanyak 8 kali, dua diantaranya dirangkaikan dengan kata haqq (haqq al-yaqin), kemudian masing-masing sekali dengan ‘ain dan ‘ilm. Kata yaqin biasa diterjemahkan “yakin”, dalam kamus-kamus Al-Qur’an diartikan sebagai “pengetahuan yang pasti yang tidak disentuh oleh sedikit keraguan pun”. Sementara mufassir menegaskan bahwa yang demikian tidak mungkin akan tercapai kecuali setelah kehidupan dunia ini, berdasarkan firman Allah dalam surah Al-Hijr:99
(٩٩)وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
Dan beribadahlah kepada Tuhanmu sampai keyakinan itu datang kepadamu.
Menurut para mufassir itu, kita berkewajiban beribadah sepanjang hayat. Jika demikian, yaqin disini harus dipahami dalam arti “kematian”, ini menunjukkan bahwa keyakinan baru dapat dicapai dengan datangnya kematian.
Tidak mutlak memahami arti yaqin seperti dikemukakan di atas, apalagi setelah memperhatiakn dan menelusuri seluruh kata-kata yaqin yang digunakan oleh Al-Qur’an. Di sana tidak ditemukan satu kata pun bahkan bentuk kata yang berakar sama dengan kata yaqin yang mengandung arti “kematian”. Bahkan sebaliknya, ditemukan kata yaqin yang menunjukkan bahwa keyakinan yang dimaksud telah diperoleh dalam kehidupan dunia ini. Misalnya dalam firman Allah pada surah An-Naml: 22
فَمَكَثَ غَيْرَ بَعِيدٍ فَقَالَ أَحَطتُ بِمَا لَمْ تُحِطْ بِهِ وَجِئْتُكَ مِنْ سَبَإٍ بِنَبَإٍ يَقِينٍ
Aku datang dari kota Saba’ dengan berita yang yakin.
Di sisi lain dapat ditambahkan bahwa yaqin (keyakinan) bertingkat-tingkat. Al-Quran memperkenalkan di samping yaqin juga ‘ilm, ‘ain, dan haqq al-yaqin.[1]
Adapun yang layak disebut pengetahuan adalah pengetahuan (‘ilmul-yaqin). Yaitu pengetahuan yang bersumber dari keyakinan kuat. Keyakina itu sendiri adalah kepercayaan aka sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. Baik berdasarkan penglihatan nyata maupun dalil shahih yang premis-premisnya tak diragukan kebenarannya sedikitpun.
Adapun pengetahuan yang berdasarkan penglihatan mata kepala ia, termasuk bagian tak terpisahkan dari keyakinan yang disebut ‘ainul yaqin.[2]
B. Tafsir
1. Tafsir Ibnu Katsir
Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, yaitu kalau kamu mengetahui dengan pengetahuan yang sebenarnya, pastilah banyak harta dan anak tidak akan melalaikan kamu dari mencari akhirat, sampai kamu masuk kuburan.
Kemudian Allah Ta’ala berfirman, “Niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ainul yaqin.” Ayat ini merupakan penjelasan terhadap ancaman yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu firman Allah Ta’ala “Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui, kemudian janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui.” Allah telah mengancam mereka dengan suasana ini; ahli neraka menyaksikan saat api neraka bernapas sekali, maka akan tersungkurlah malaikat muqarrabin dan para nabi yang diutus Allah di atas kedua lututnya, lantaran rasa takut, kehebatan dan kengerian yang dilihat ketika itu.[3]
2. Tafsir Al- Mishbah
Sekali lagi ayat di atas memperingatkan bahwa: Hati-hatilah janganlah begitu, sungguh jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu tidak akan melakukan perlombaan dan persaingan tidak sehat. Kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim, dan sesungguhnya Aku bersumpah bahwa Kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin yakni mata telanjang yang tidak sedikit pun disentuh oleh keraguan.
Sementara ulama menyisipkan kalimat yang berfungsi menjelaskan konsekuensi jika mereka mengetahui dengan yakin. Pengarang Tafsir al-Muntakab misalnya menyatakan: “Sungguh, jika kamu mengetahui dengan yakin betapa buruknya tempat kembali kamu sekalian, pasti akan merasa terkejut dengan gaya hidup kamu yang bermegah-megahan itu. Dan tentu kamu akan berbekal diri untuk akhirat.” Ada lagi yang menyiratkan kalimat: “Tentulah penyesalan kamu tidak akan terlukiskan dengan kata-kata akibat habisnya umur dalam persaingan tidak sehat.”
Thahir Ibn ‘Asyur juga menilai bahwa perlu disisipkan kalimat untuk menggambarkan apa yang niscaya terjadi jika mereka mengetahui secara yakin. Ayat 6 yang menyatakan niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahim tidak berkaitan dengan ayat sebelumnya. Ia adalah uraian baru yang menjelaskan bahwa mereka akan terjerumus ke dalamnya.
Thabathaba’i menulis bahwa sementara ulama menyetakan bahwa perlu ada sisipan yang berfungsi menjelaskan apa yang terjadi bila mereka mengetahui secara yakin, tetapi ini bila yang dimaksud adalah melihat neraka Jahim pada hari kiamat. Namun menurutnya bisa saja yang dimaksud adalah melihat di dunia dan melihat yang dimaksud adalah dengan mata hati yang merupakan dampak dari keyakinan itu. Ini serupa dengan firman-Nya:
وَكَذَلِكَ نُرِي اِبْرَاهِيْمَ مَلَكُوتَ السَّمَوَاتِ وَاْلاَرْضِ وَلِيَكُونَ مِنَ الْمُوقِنِيْنَ
“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim malaikat langit dan buni agar dia termasuk orang-orang yang yakin.” (QS Al-An’am: 75). Bahwa mereka yang dibicarakan di sini pasti tidak akan melihatnya di dunia ini, karena hati mereka tidak disentuh oleh keyakinan.[4]
C. Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari
Dengan mengetahui makna ayat di atas maka yang dapat kita amalkan dalam kehidupan sehari-hari diantaranya yaitu tidak akan melakukan perbuatan yang sekiranya dapat membawanya ke dalam neraka karena dalam hati orang tersebut telah merasa yakin bahwa ia akan melihat siksa neraka itu secara nyata.
Selain itu apabila kita mempunyai pengetahuan maka kita tidak sepatutnya berlaku sombong kepada orang lain dengan pengetahuan yang kita miliki, karena bisa jadi pengetahuan yang kita miliki hanya khayalan dan persangkaan belaka yang sewaktu-waktu dapat berubah walaupun sudah tertanam kuat dalam hati kita.
D. Aspek tarbawi
1. Seseorang yang memiliki pengetahuan (‘ilmul-yaqin) akan terhindar dari sikap bermegah-megahan dan menguatkan semangat dalam membela kebenaran.
2. Apabila dalam hati seseorang telah merasa yakin, maka tidak akan berani melakukan suatu perbuatan yang diancamkan azabnya oleh Allah SWT.
3. Semua yang bersaing secara tidak sehat, akan menyesal di dunia atau paling tidak di akhirat nanti.
4. Semakin dalam keyakinan seseorang, semakin tajam mata hatinya sehingga dapat melihat yang tersirat di balik yang tersurat.
5. Setiap manusia akan melintasi neraka. Ada yang lolos sehingga mencapai surga dan ada juga yang terjatuh ke neraka.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pengetahuan (‘ilmul-yaqin). Yaitu pengetahuan yang bersumber dari keyakinan kuat. Keyakinan itu sendiri adalah kepercayaan akan sesuatu yang sesuai dengan kenyataan. Baik berdasarkan penglihatan nyata maupun dalil shahih yang premis-premisnya tak diragukan kebenarannya sedikitpun. Sedangkan pengetahuan yang berdasarkan penglihatan mata kepala ia, termasuk bagian tak terpisahkan dari keyakinan yang disebut ‘ainul yaqin.
Daftar Pustaka
‘Abduh, Muhammad. 1999. Tafsir Juz’Amma Muhammad Abduh. Bandung: Mizan.
Nasib ar-Rifa’i, Muhammad. 2006. Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV. Jakarta: Gema Insani.
Quraish Shihab, Muhammad.1997. Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu. Bandung: Pustaka Hidayah.
Quraish Shihab, M. 2002. Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Muhammad Quraish Shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim: Tafsir atas Surat-surat Pendek Berdasarkan Urutan Turunnya Wahyu, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1997), hlm 600-601.
[2] Muhammad ‘Abduh, Tafsir Juz’Amma Muhammad Abduh, (Bandung: Mizan, 1999), hlm 304-305
[3] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Tafsir Ibnu Katsir Jilid IV,(Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm 1038-1039.
[4] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm 489-490.