MAKALAH SEJARAH MASUK DAN KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA

SEJARAH MASUK DAN KERAJAAN ISLAM DI NUSANTARA




BAB I
PEMBAHASAN

1.1  Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute – rute pelayaran dan perdagangan antara kepulauan Indonesia dengan berbagai berbagai daerah di Asia Tenggara.
Bahkan dua abad sebelum tarikh Masehi, Indonesia (kepulauan Nusantara) khususnya Sumatra telah dikenal dalam peta dunia masa itu. Peta tertua yang disusun oleh Claudius Ptolemaes, seorang gubernur Kerajaan Yunani yang berkedudukan di Alexandria (Mesir), menyusun peta berjudul Geographyle telah menyebut dan memasukkan Nusantara dengan sebutan Barousai. Yang dimaksud tentunya pantai barat Sumatra yang kaya akan kapur barus.
Pedagang-pedagang muslim asal Arab, Persia dan India juga ada yang sampai ke kepulauan Indonesia untuk berdagang sejak abad ke 7 M (abad 1 Hijriyah), ketika Islam pertama kali berkembang di Timur Tengah. Hubungan perdagangan ini juga menjadi hubungan penyebaran agama Islam yang semakin lama semakin lebih intensif.
Dengan demikian, Indonesi telah dikenal sejak zaman dahulu oleh bangsa-bangsa baik di timur maupun di barat, karena menjadi jalur lalu lintas perjalanan. Sebagai wilayah yang mudah dijangkau dan menghasilkan banyak hasil bumi, maka amat logis jika Indonesia menjadi wilayah untuk memperoleh pengaruh, dan tidak terkecuali untuk penyebaran agama Islma.



1.2  Rumusan Masalah

1.     Bagaimana Islam Masuk ke Nusantara ?
2.     Bagaimana Tassawuf dan Islam di Indonesia ?
3.     Apa Saja Sebab – Sebab Islam Cepat Berkembang di Indonesia ?
4.     Bagaimana Kesultanan Islam di Luar Indonesia?
5.     Bagaimana Kondisi Kerajaan – Kerajaan di Indonesia : Kerajaan Perlak, Samudra Pasai, Kerajaan Demak, dll.

1.3  Tujuan
1.     Agar  dapat mengetahui bagaimana proses Islam masuk ke Nusantara.
2.     Agar dapat mengetahui bagaimana tassawuf dan Islam di Indonesia.
3.     Agar dapat mengetahui sebab – sebab Islam cepat berkembang di Indonesia.
4.     Agar dapat mengetahui Kesultanan Islam di luar Indonesia.
5.     Agar dapat mengetahui bagaimana kondisi kerajaan – kerajaan di Indonesia.



BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Islam Masuk ke Nusantara
Mengenai proses masuk dan berkembangnya agama Islam ke Indonesia, para sarjana dan peneliti sepakat bahwa islamisasi itu berjalan secara damai, meskipun ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa muslim Indonesia untuk mengislamkan rakyat atau masyarakatnya.
·     Teori tentang Masuknya Islam ke Indonesia
Mengenai asal, tokoh pembawa, waktu dan tempat islamisasi pertama kali di Indonesia masih merupakan masalah yang kontoversial. Hal ini disebabkan kurangnya data yang dapat dipergunakan untuk merekonstruksi sejarah yang valid, juga adanya perbedaan-perbedaan tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”. Sebagian sarjana dan peneliti memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat sederhana seperti pengucapan kalimat syahadat atau pemakaian nama Islam. Sebagian yang lain mendefinisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat itu dikatakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara aktual dalam lembaga sosial, budaya, dan politik. Jadi mereka menganggap bacaan kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya penetrasi Islam dalam suatu masyarakat.
Setidak-tidaknya ada empat teori tentang islamisasi awal di Indonesia, yaitu Islam bersumber dari Anak Benua India (teori India), teori Arab, teori Persia, dan teori Cina.


1.        Teori India
Teori ini antara lain dikemukakan oleh Pijnappel, Snouck Hurgronje, Moquette, dan Fatimi. Dalam teori ini dijelaskan bahwa Islam pertama kali datang ke Indonesia berasal dari Anak Benua India sekitar abad ke-13.
Pijnappel mengajukan bukti adanya persamaan mazhab Syafi’I antara di Anak Benua India dengan di Indonesia. Orang-orang Arab yang bermazhab Syafi’I bermigrasi dan menetap di Gujarat dan Malabar kemudian membawa Islam masuk ke Nusantara. Jadi berpendapat bahwa islamisasi di Nusantara dilakukan oleh orang Arab, tetapi bukan datang langsung dari Arab, melainkan dari India, terutama dari Gujarat dan Malabar.
Snouck Hurgronje berpendapat bahwa saat Islam mempunyai pengaruh yang kuat di kota-kota India selatan, banyak muslim Dhaka yang disana. Mereka inilah yang pertama menyebarkan agama Islam ke kepulauan Melayu, kemudian diikuti oleh orang-orang Arab. Snouck Hurgronje menyatakan bahwa Islam Nusantara bukan berasal dari Arab, karena sedikitnya fakta yang menyebutkan peranan bangsa Arab dalam penyebaran agama Islam ke Nusantara. Ia berpendapat bahwa Islam Nusantara berasal dari India, karena sudah lama terjalin hubungan perdagangan anatara Indonesia dengan India dan adanya inskripsi tertua tentang Islam yang terdapat di Sumatra mengindikasikan adanya hubungan antara Sumatra dan Gujarat.
Islam pertama kali muncul di Semenanjung Malaya dari arah pantai timur, bukan dari arah barat (Malaka), pada abad ke-11, melalui Kanton, Phanrang (Vietnam), Leran, dan Trengganau. Ia berpendapat bahwa Islam yang ada di Semenanjung lebih mirip dengan Islam di Phanrang dan elemen-elemen prasasti Trengganu juga lebih mirip dengan prasasti yang ditemukan di Leran.
Menaggapi tentang asal-usul Islam dari Gujarat, Marrison berpendapat meskipun beberapa batu nisan di bagian tertentu Nusantara mungkin berasal dari Gujarat, bukan berarti Islam berasal dari sana.

2.        Teori Arab
Teori ini antara lain dikemukakan oleh Sir Thomas Arnold, Crawfurd, Niemann, dan de Holander. Arnold berpendapat bahwa selain dari Coromandel dan Malabar Islam Nusantara juga berasal dari Arab. Bukti yang ia ajukan ialah adanya kesamaan mazhab antara di Coromandel dan Malabar dengan mazhab mayoritas umat Islam di Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i.
Mengenai pendapatnya tentang asal Islam Nusantara dari Arab, Arnold berpendapat bahwa para pedagang Arab membawa Islam saat mereka menguasai perdagangan Barat-Timur sejak awal abad ke-7 M dan ke-8 M. Dapat diduga bahwa mereka juga menyebarkan agama Islam ke Nusantara. Arnold juga mengatakan bahwa sebuah sumber Cina menyebutkan bahwa menjelang perempat ketiga abad ke-7 M ada seorang Arab yang menjadi pemimpin pemukiman Arab muslim di pesisir bangsa Sumatra. Mereka ini juga melakukan kawin campur dengan penduduk setempat, sehingga muncullah komunitas muslim.
Crawfurd mengatakan bahwa Islam dikenalkan langsung dari Arab, meskipun demikian dia juga menegaskan bahwa hubungan bangsa Melayu-Indonesia dengan kaum muslimin dari pesisir Timur India juga merupakan faktor penting . Niemann dan De Hollander mengatakan bahwa Islam datang dari Hadramaut, karena adanya persamaan antara mazhab yang dianut oleh muslim Hadramaut dengan muslim Nusantara, yaitu mazhab Syafi’i.

3.     Teori Persia
Teori ini dikemukakan oleh P.A. Hoesein Djajadiningrat. Dalam teori ini dinyatakan bahwa Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-13 M di Sumatra, yang berpusat di Samudra Pasai. Dia mendasarkan argumennya pada persamaan budaya yang berkembang di kalangan masyarakat Islam Indonesia dengan budaya yang ada di Persia.
Bukti-bukti persamaan budaya itu antara lain;
a)     Adanya peringatan 10 Muharram atau Asyura yang merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat Syiah untuk memperingati hari kematian Husain di Karbela. Tradisi ini diperingati dengan membuat bubur Syura.
b)     Adanya persamaan antara ajaran al-Hallaj, tokoh sufi Iran dengan ajaran Syeikh Siti Jenar.
c)     Persamaan dalam sistem mengeja huruf Arab bagi pengajian al-Qur’an tingkat awal.
d)     Adanya persamaan batu nisan yang ada di makam Malik al-Shalih (1297 M) di Pasai dengan makam Malik Ibrahim (1419 M) di Gresik yang dipesan dari Gujarat.
Meskipun demikian teori Persia ini juga memandang adanya pengaruh mazhab Syafi’i di Indonesia berasal dari Malabar, yang merupakan mazhab paling utama di daerah itu.
Pijnappel juga berpendapat bahwa Islam di Nusantara juga mendapat pengaruh dari Persia di samping dari Arab. Dia menunjukkan bukti adanya jalur perdagangan dari Teluk Persia ke pantai barat India, Broach, Surat, dan Quilon (Kulam) merupakan pusat – pusat perdagangan yang penting. Adanya pengaruh dari Persia disebabkan karena kontak dengan pantai barat India.

4.     Teori Cina
Teori ini menyatakan bahwa Islam datang ke Nusantara bukan dari Timur Tengah/Arab maupun Gujarat/India, tetapi dari Cina. Pada abad ke-9 M banyak orang muslim Cina Kanton dan wilayah Cina selatan lain yang mengungsi ke Jawa sebagian ke Kedah dan Sumatra. Hal ini terjadi karena pada masa Huan Chou terjadi penumpasan terhadap penduduk Kanton dan wilayah Cina selatan lainnya yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Mereka berusaha mengadakan revolusi politik terhadap Keraton Cina pada abad ke-9 M.
Disamping adanya pengungsi Cina ke Jawa pada abad ke-9 M, pada abad ke- 8M -11 M sudah ada pemukiman Arab muslim di Cina dan di Campa. Memang sudah terjadi hubungan perdagangan yang cukup lama antara orang-orang Cina dengan orang-orang Jawa. Suatu hal yang wajar jika pada abad ke-11 M telah terdapat komunitas muslim di Jawa, seperti adanya makam Islam dan keramik Cina di situs Leran. Temuan tersebut dapat dijadikan bukti bahwa sejak abad ke-11 M derah Leran dan sekitarnya merupakan pusat perdagangan penting di Jawa Timur.
Cina mempunyai peranan yang besar dalam perkembangan Islam di Indonesia. Di samping bukti-bukti di atas, arsitektur masjid Demak dan juga berdasarkan beberapa catatan sejarah beberapa sultan dan sunan yang berperan dalam penyiaran agama Islam di Indonesia adalah keturunan. Cina, misalnya Raden Patah yang mempunyai nama Cina Jin Bun, Sunan Ampel dan lain-lain.[1]

·            Proses Islamisasi di Nusantara
Menurut Hasan Maurif Ambary ada tiga tahap proses islamisasi di Nusantara. Pertama, fase kehadiran para pedagang muslim (abad ke-1 sampai ke-4 H). Kedua, fase terbentuknya kerajaan Islam (13-16M). Pada fase ini ditandai dengan munculnya pusat-pusat kerajaan Islam. Ketiga, fase pelembagaan Islam, Agama Islam yang berpusat di Pasai tersebar luas ke Aceh di Pesisir Sumatra, Semenanjung Malaka, Demak, Gresik, Banjarmasin, dan Lombok.
Ada tiga pola sosialisasi Islam di Nusantara, yaitu: Pertama, kota menjadi pusat perdagangan dan sebagai basis komunitas muslim dan dari sinilah penguasa diislamkan. Kedua, kaum elit kerajaan berguru ke pusat pendidikan Islam, seperti Ternate yang berguru ke Giri, Gresik. Ketiga, kesultanan Islam memberikan bantuan kepada suatu kerajaan untuk menaklukan kerajaan lainnya, seperti Kerajaan Demak membatu kerajaan Banjar dalam rangka menaklukan kerjaan Daha, dengan syarat alasan penguasanya harus memeluk Islam.[2]
·          Jalur-jalur yang dilakukan oleh para penyebar Islam yang mula-mula di Indonesia adalah sebagai berikut.
1.     Melalui jalur perdagangan
Kesibukan lalu lintas perdagangan pada abad ke-7 hingga ke-16 M membuat para pedagang muslim (Arab, Persia, dan India) turut ambil bagian dalam perdagangan dari negeri-negeri bagian barat, tenggara, dan timur benua Asia. Islamisasi melalui perdagangan ini sangat menguntungkan karena para raja dan bangsawan turut serta dalam kegiatan perdagangan. Mereka yang melakukan dakwah Islam, sekaligus juga sebagai pedagang yang menjajakan dagangannya kepada penduduk pribumi.
2.        Melalui jalur perkawinan
Dari sudut ekonomi, para pedagang muslim memiliki status sosial yang lebih baik daripada kebanyakan pribumi sehingga penduduk pribumi, terutama putri-putri bangsawan, tertarik untuk menjadi istri saudagar-saudagar itu. Sebelum menikah mereka diislamkan lebih dahulu. Dengan melalui jalur perkawinan, para penyebar Islam melakukan perkawinan dengan penduduk pribumi. Melalui jalur perkawinan mereka telah menanamkan cikal bakal kader-kader Islam.
3.     Melalui jalur tasawuf
Para penyebar Islam juga dikenal sebagai pengajar-pengajar tasawuf. Mereka mengajarkan teosofi yang bercampur dengan ajaran yang sudah dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Di antara mereka juga ada yang mengawini putri-putri bangsawan setempat. Penyebaran Islam kepada masyarakat Indonesia melalui jalur tasawuf atau mistik ini mudah diterima karena sesuai dengan alam pikiran masyarakat Indonesia.
4.     Melalui jalur pendidikan
Dalam islamisasi di Indonesia ini, juga dilakukan melalui jalur pendidikan seperti pesantren, surau, masjid, dan lain-lain yang dilakukan oleh guru-guru agama, kiai dan ulama. Jalur pendidikan digunakan oleh para wali khususnya di Jawa dengan membuka lembaga pendidikan pesantren sebagai tempat kaderisasi mubaligh-mubaligh Islam di kemudian hari. Setelah keluar dari pesatren atau pondok, mereka pulang ke kampung masing-masing atau berdakwah ke tempat tertentu mengajarkan Islam.
5.     Melalui jalur kesenian
Para penyebar Islam juga menggunakan kesenian dalam rangka penyebarluasan Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya.
6.     Melalui jalur politik
Pengaruh politik raja sangat membantu tersebarnya Islam di Indonesia. Sebagaimana diketahui, melalui jalur politik para walisongo melakukan strategi dakwah mereka dikalangan para pembesar kerajaan seperti Majapahit, Pajajaran, bahkan para walisongo juga mendirikan kerajaan Demak, Sunan Gunungjati juga mendirikan Kerajaan Cirebon dan Kerajaan Banten.[3]

2.2 Tassawuf dan Islam di Indonesia
Para ahli berpendapat bahwa kedatangan dan perkembangan tasawuf di Indonesia bersamaan dengan kedatangan dan berkembangnya Islam. Yang perkembangannya sampai sekarang masih berlanjut. Mula-mula Islam datang di pelabuhan, diperkenalkan, disebarkan, dikembangkan, dimantapkan, dan diperbarui. Kedatangannya tentu melalui jaringan perhubungan yang berlanjut timbal balik dari genarasi ke generasi, dari abad ke abad antara Nusantara dengan Timur Tengah (sebagai pusat Islam). Mula-mula berupa jaringan perdagangan, berlanjut jaringan ulama (sebagaimana disebut oleh Azyumardi Azra), selanjutnya jaringan tasawuf / tarekat, sehingga perubahan apapun di pusat Islam Timur Tengah akan sangat mempengaruhi Islam di Indonesia.[4]
Islam dalam tahap ini sangat diwarnai oleh aspek tasawuf atau mistik ajaran Islam, namun ini tidak berarti bahwa aspek hukum (syariah) terabaikan sama sekali. Pendulum Islam tidak pernah berhenti bergerak di antara kecenderungan sufisme dengan panutan yang lebih taat kepada syariah. Misalnya Nuruddin Arraniri yang lebih berorientasi pada syariah dengan dukungan penguasa “membersihkan” Aceh khusunya dari gagasan-gagasan filosofis sufistik Hamzah Fansuri dan Samsudin yang dianggapnya menyimpang wahdat al-wujud yang berbau Pantheisme itu. Dan Abdurrauf Singkel  yang juga pemimpin terkemuka (syaikh) tarekat Syatariyah, tidak kurang pula menekankan pentingnya syariah dalam menempuh jalan tasawuf.
Meskipun demikian, secara umum Islam tasawuf tetap unggul dalam tahap pertama Islamisasi, setidaknya sampai akhir abad ke17 M. Hal tersebut dikarenakan Islam tasawuf yang datang ke Nusantara, dengan segala pemahaman dan penafsiran mistisnya terhadap Islam, dalam berbagai segi tententu “cocok” dengan latar belakang masyarakat setempat yang dipengaruhi asketisme Hindhu Buddha dan Sinkritisme keperayaan lokal. Juga terhadap kenyataan bahwa tarekat-tarekat sufi memiliki kecenderungan untuk bersikap toleran terhadap pemikiran dan praktik tradisional semacam itu, yang sebenarnya bertentangan dengan praktik ketat unilitarianisme Islam.
Dalam proses Islamisasi tahap pertama ini Islam tidak langsung secara merata diterima oleh lapisan bawah masyarakat. Di Jawa misalnya, semula Islam hanya dipraktikan oleh sekelompok kecil muslimin yang aktif dan dinamis dalam membawa pesan – pesan Islam, yang juga  bertugas melaksanakan kegiatan keislaman atas nama seluruh masyarakat desa di banyak bagian di Jawa. Sebagian besar penduduk tetap menganut kepercayaan nenek moyang mereka atau memeluk Islam hanya secara nominal.
Jelas bahwa Islam pada awal masuk ke wilayah Nusantara, khususnya di Indonesia, nuansa tasawuf sangat dominan. Hal tersebut dapat dimaklumi bahwa kondisi Indonesia ketika Islam datang, faktor Animisme, Dinamisme, Hindu dan Buddha juga sangat dominan dipercayai oleh masyarakat. Dalam paham-paham kepercayaan dan agama tersebut nuansa mistik sangat kuat dan melekat pada pemeluk kepercayaan tersebut. Oleh karena itu, menjadi lebih mudah diterima masyarakat Indonesia, masuknya Islam dengan warna tasawuf yang lebih menekan faham-faham mistik yang ketika itu menjadi “trend” masyarakat Indonesia.
Perkembangan tasawuf semakin semarak dengan hadirnya para tokoh tasawuf dan tarekat yang turut berjasa dalam pengembangan agama Islam di Indonesia, seperti Syaikh Ismail Al-Khalid Al-Minagkabawi, Syaikh Ahmad Khatib Sambas, Syaikh Abdul Karim Banten dan lain-lain.
Sementara di Jawa, Proses Islamisasi sudah berlangsung sejak abad ke-11 M , meskipun belum meluas, terbukti dengan ditemukannya makam Fatimah binti Maimun di Leran Gresik yang berangka tahun 475 H / 1802 M.
Adapun para penyebar Islam di Jawa dikenal dengan sebutan “Walisongo” (sembilan wali), mereka ialah:
a.      Maulana Malik Ibrahim,
b.     Sunan Ampel,
c.      Sunan Bonang,
d.     Sunan Derajat,
e.      Sunan Giri,
f.      Sunan Kalijaga,
g.     Sunan Kudus,
h.     Sunan Muria, dan
i.       Sunan Gunungjati.
Demikian pula perkembangan tarekat di Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya, membawa pengaruh yang sangat terasa dalam perkembangan Islam. Para tokoh tasawuf dan tarekat cukup berjasa dalam perkembangan Islam di Indonesia. Dikarenakan melalui pendekatan tasawuf ini Islam justru diterima dengan mudah dan proses islamisasi berjalan dengan damai tanpa ada kekerasan. Hal ini menunjukkan bahwa para penyebar Islam sangat luwes (fleksibel) dalam menggunakan pendekatan untuk menyebarluaskan Islam di Indonesia, karena dalam konsep dakwah Islam menggunakan metide hikmah, mauidzah hasanah, dan mujadalah yang baik.[5]



2.3 Sebab – Sebab Islam Cepat Berkembang di Indonesia
Menurut Dr. Adil Muhyiddin Al-Allusi, seorang penulis sejarah Islam dari Timur Tengah dalam bukunya Al-Urubatu wal Islamu fi Janubi Syarqi Asia alhindu wa Indonesia, menyatakan bahwa ada tiga faktor yang menyebabkan Islam cepat berkembang di Indonesia, yaitu sebagai berikut.
1)       Faktor Agama
Faktor agama, yaitu akidah Islam itu sendiri dan dasar-dasarnya yang memerintahkan menjunjung tinggi kepribadian dan meningkatkan harkat dan martabatnya, mengahapuskan kekuasaan kelas kerohanian seperti Brahmana dalam sistem kasta yang diajarkan Hindu. Masyarakat diyakinkan bahwa dalam Islam semua lapisan masyarakat sama kedudukannya, tidak ada yang lebih utama dalam pandangan Allah kecuali karena takwanya.
2)       Faktor Politik
      Faktor politik yang diwarnai oleh pertarungan dalam negeri antara negara-negara dan penguasa-penguasa Indonesia, serta oleh pertarungan negara-negara bagian itu dengan pemerintah pusatnya yang beragama Hindu.
3)       Faktor Ekonomis
      Faktor ekonomis, yang pertama diperankan oleh para pedagang yang menggunakan jalan laut, baik antarkepualauan Indonesia sendiri, maupun yang melampaui perantara Indonesia ke Cina, India, dan Teluk Arab / Parsi yang merupakan pendukung umatnya, karena telah memberikan keuntungan yang tidak sedikit sekaligus mendatangkan bea masuk yang besar bagi pelabuhan-pelabuhan yang disinggahinya, baik menyangkut barang-barang yang masuk mapun yang keluar.[6]

2.4 Kesultanan Islam di luar Indonesia
1. Kesultanan Malaka (Abad ke-15)
Kesultanan ini terletak di Semenanjung Malaka. Islam di Malaka berasal dari kesultanan Samudera Pasai. Pendiri Kesultanan Malaka adalah Parameswara, seorang pangeran Majapahit. Kesultanan Malaka mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Sultan Muzzafar Syah pada tahun  (1445-1459). Kesultanan ini runtuh ketika Portugis menyerang dan mengalahkan Malaka pada tahun 1511. Peninggalan sejarah Kesultanan Malaka berupa mata uang yang merupakan peninggalan dari akhir abad ke-15 dan benteng A-Farmosa yang merupakan bukti penaklukan Malaka oleh pasukan Portugis.
2. Kesultanan Malaka
Menurut Hamka, raja Malaka yang pertama adalah seorang Raja Hindu Permaisura. Permaisura (Parameswara) dikenal sebagai raja yang pernah bertahta di Kerajaan Singapura.
Kerajaan Malaka menjadi maju dalam perdagangan karena Malaka sebagai kota pelabuhan yang dikunjungi banyak pedagang sebagai pusat transit perdagangan di wilayah Asia Tenggara. Disamping menjalankan dagang untuk memperoleh keuntungan, mereka juga dapat mengenal dari dekat cara hidup orang-orang muslim di Malaka bagi yang berminat mendapat kesempatan untuk mempelajari agama Islam dan kemudian memeluknya. Kerajaan Malaka ketika itu, juga sebagai salah satu pusat penyebaran agama Islam ke berbagai wilayah lain di Asia Tenggara.
3.     Kesultanan Islam Pattani (Abad ke-15 M)
Kehadiran Islam di Pattani dimulai dengan kedatangan Syaikh Said mubaligh dari Pasai, yang berhasil menyembuhkan Raja Pattani bernama Phaya Tu Nakpa yang sedang sakit parah. Phaya Tu Nakpa (1486-1530 M) beragama Buddha, kemudian masuk Islam dan bergelar Sultan Islamil Syah. Kesultanan Pattani kemudian menjadi pusat perdagangan dan pelabuhan, terutama bagi pedagang dari Cina dan India. Kejayaan Pattani berakhir setelah dikalahkan Kerajaan Siam dari Bangkok. Peninggalan sejarah Pattani berupa nisan kubur yang disebut Batu Aceh yang melambangkan kedekatan hubungan dengan Samudera Pasai.
4.     Kesultanan Brunei Darus Salam
Raja Brunei pertama adalah Awang Betatar yang tertarik menerima Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Muhammad Syah.
Pada tahun 1511 M, kerajaan Melayu Malaka jatuh ke tangan Portugis. Maka atas kekosongan ini Brunei mengambil alih menjadi pusat penyebaran Islam dan perdagangan di Kepulauan Melayu. Di zaman pemerintahan Sultan Bolkiah (1473-1521 M), sultan Brunei ke-5, Brunei berkembang menjadi suatu kerajaan yang kuat dan maju.
Brunei merdeka sebagai Negara Islam di bawah pimpinan Sultan ke-29, yaitu Hasan Bolkiah Muizaddin Waddaulah.
5.     Kesultanan Islam Sulu (Abad ke-15)
Kesultanan Sulu merupakan Islam yang terletak di Filipina bagian selatan. Islam masuk dan berkembang di Sulu melalui orang Arab yang melewati jalur perdagangan Malaka dan Filipina. Pembawa Islam di Sulu adalah Syarif Karim Al-Makdum, mubalig Arab yang ahli dalam ilmu pengobatan. Abu Bakar, seorang dai dari Arab, menikah dengan putri dari pangeran Bwansa dan kemudian memerintah di Sulu dengan mengangkat dirinya sebagai Sultan.
Di dalam silsilah Sultan Sulu secara jelas dinyatakan bahwa Sayid Abu Bakar dijadikan sultan. Hal tersebut menunjukkan bahwa penduduk Bwansa dan pemimpin-pemimpin mereka pastilah orang yang telah memeluk Islam dan memiliki kemauan untuk menerima suatu kerajaan Islam di negerinya. Oleh karena itu, Islam diterapkan oleh Sayid Abu Bakar baik di pemerintahan maupun dalam kehidupan masyarakatnya.
Para penguasa Kesultanan Sulu di Filipina Selatan yang dimulai sejak Syarif Abu Bakar (Sultan Syarif Al-Hasyim) (1405-1420 M) hingga Sultan Jamalul Kiram II (1887) berjumlah 32 Sultan. Di antaranya adalah Sultan Abu Bakar (Sultan Syarif Al-Hasyim), Sultan Kamaluddin bin Syarif Abu Bakar. Sultan Alauddin bin Syarif Abu Bakar.
6.     Kesultanan Johor (Abad ke-16)
Kesultanan Johor berdiri setelah Kesultanan Malaka dikalahkan oleh Portugis (1511 M). Sultan Alaudin Riayat Syah membangun Kesultanan Johor sekitar tahun 1530 – 1536 M. Masa kejayaan kesultanan ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil Riayat Syah II. Kesultanan Johor memperkuat dirinya dengan mengadakan aliansi bersama kesultanan Riau sehingga disebut kesultanan Johor-Riau. Kesultanan Johor Riau berakhir setelah Raja Haji wafat dan wilayahnya dikuasai oleh Belanda.
Kesultanan Johor merupakan lanjutan dari Kerajaan Melayu Malaka yang dikalahkan Portugis (1511 M). Kesultanan Johor merupakan kerajaan yang gigih mengadakan perlawanan terhadap penjajah Portugis. [7]

2.5 Kondisi Kerajaan – Kerajaan di Indonesia
1.     Kerajaan Perlak
Peureulak adalah nama suatu daerah di wilayah Aceh Timur yang banyak ditumbuhi Kayei Peureulak atau Kayu Perlak. Kayu ini sangat bagus sebagai bahan pembuatan kapal, sehingga banyak orang luar datang untuk membeli kayu tersebut. Mereka menyebut daerah tempat pembelian dengan nama kayu yang dihasilkannya sehingga terkenal dengan nama sebutan Negeri Perlak.[8]
Kerajaan Perlak adalah kerajaan Islam pertama di Nusantara. Kerajaan Perlak berdiri pada abad ke-3 Hijriyah (abad ke-9 Masehi).
Disebutkan pada tahun 173 H, sebuah kapal layar berlabuh di Bandar Perlak membawa angkatan dakwah di bawah pimpinan nahkoda khalifah. Kerajaan Perlak didirikan oleh Sayid Abdul Aziz (Raja Pertama Kerajaan Perlak) dengan gelar Sultan Alaiddin Sayid Maulana Abdul Aziz Syah.
Angkatan dakwah yang dipimpin nahkoda khalifah berjumlah 100 orang, yang terdiri dari orang Arab, Persia, dan India. Mereka ini menyiarkan Islam pada penduduk setempat dan keluarga istana. Salah seorang dari mereka yaitu Sayid Ali dari suku Quraisy kawin dengan seorang putri yakni Makhdum Tansyuri, salah seorang adik dari Maurah Perlak yang bernama Syahir Nuwi. Dari perkawinan ini lahirlah Sayid Abdul Aziz, putra campuran Arab-Perlak yang kemudian setelah dewasa dilantik menjadi raja Kerajaan Perlak pada tahun 225 H.[9]
2.     Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai didirikan oleh Maurah Selu dengan gelar Sultan Al-Malikush Shalih (1261-1289 M). Maurah Selu masih keturunan Raja Perlak, Makhdum Sultan Malik Ibrahim Johan Berdaulat. Samudra Pasai mengalami puncak kejayaan pada masa Sultan Malik Azh-Zhahir.
Ibnu Batutah, seorang pengembala muslim, dalam Rihlah Ibnu Batutah (Travels of Ibn Batutah) menyebutkan bahwa Ibnu Batutah tiba di Samudera Pasai pada zaman pemerintahan Sultan Malikuzh Zhahir pada tahun 1345 M.
Kerajaan Samudera Pasai berakhir tahun 1524 M, ketika direbut oleh Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah.[10]
3.     Kerajaan Malaka
Hubungan pelayaran dan perdagangan yang dilakukan oleh orang-orang muslim melalui selat Malaka makin lama semakin kuat sampai pada masa awal abad ke-13 M sehingga terbentuklah perkampungan Islam di pesisir Samudera. Sebagai akibat hubungan lalu lintas melalui selat Malaka dengan Samudera Pasai sebagai salah satu tempat persinggahan para pedagang maka sampailah Islam ke bagian Semenanjung Melayu yaitu ke Trengganu dan ini merupakan bukti yang tidak dapat dipungkiri lagi tentang kedatangan dan tumbuhnya masyarakat Islam di daerah tersebut.
Pada abad ke-15, Malaka menjadi emporium yang sangat penting di Asia Tenggara. Malaka menjadi sebuah kota metropolitan, sebuah Bandar yang makmur, dan tempat berbaurnya berbagai bangsa dengan kebudayaan yang beragam. Pendirinya adalah Parameswara yang setelah memeluk Islam (ketika berumur 72 tahun) bergelar Megat Iskandar Syah wafat tahun 1424 M. penggantinya adalah Sultan Muhammad Syah (1414-1444 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud, tepatnya bulan Agustus tahun 1511 M, Malaka jatuh ke tangan kekuasaan Portugis.
Meskipun demikian Sultan Mahmud selalu berusaha untuk merebut Malaka kembali dari tangan Portugis, tetapi sampai akhir hayatnya usaha itu tidak pernah berhasil. Atas usaha puteranya Kerajaan Melayu berhasil dilanjutkan dengan berpusat di Johir. Sebagai Sultan Johor pertama ia memakai gelar Sultan Alaudin Riayat Syah II (1528-1564 M). Pada masa pemerintahan Sultan Ibrahim (1677-1685 M) pusat kerajaan dipindahkan ke Bintan, tepatnya pada tahun 1678 M.[11]
4.     Kerajaan Aceh Darussalam
Kerajaan Aceh Darussalam didirikan pada tahun 1524 M oleh Sultan Ali Mughayat Syah. Kerajaan ini mencapai puncaknya pada masa Sultan Iskandar Muda (1608-1637 M). Pada masanya Aceh menguasai seluruh pelabuhan di pesisir Timur dan barat Sumatra. Pada masa Sultan Iskandar Tsani perkembangan ilmu pengetahuan Islam mengalami masa keemasannya. Akan tetapi, setelah ia meninggal, semua penguasanya dari kalangan perempuan (1641-1699 M), yaitu Sultanah Syafiyatuddin Syah, Zakiyatuddin Syah, Naqiyatuddin Syah sehingga kekuasaan mengalami kelemahan, yang pada akhirnya pada abad ke-18 kebesarannya mulai menurun.  Pada masa kerajaan ini, perkembangan ilmu pengetahuan semakin maju.
5.     Kerajaan Siak (Islam)
Kerajaan Siak terletak di Kepulauan Riau di Selat Malaka. Raja Islam pertama adalah Sultan Abdul Jalil Rahmat Syah (1723-1746 M). Kerajaan Siak, yaitu di zaman Islam memiliki wilayah yang cukup luas dan bernaung di bawah kekuasaan Kerajaan Siak, baik dalam penyebaran agama Islam maupun dalam menghadapi imperialisme Portugis dan Belanda. Kerajaan Siak memiliki peran yang sangat besar.
6.     Kerajaan Islam Palembang Darussalam
Sultan pertama sekaligus pendiri kesultanan ini adalah Ki Gendeng Suro (1539-1572 M). Pendapat lain menyatakan Kerajaan Islam Palembang didirikan oleh Raja Pertama Sultan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayidil Islam (1659-1706 M), dengan gelar Pangeran Aria Kusuma Abdurrahman. Kesultanan Palembang menjadi Bandar transit dan ekspor lada karena letaknya yang strategis. Belanda kemudian menghapus Kesultanan Palembang setelah berhasil mengalahkan Sultan Mahmud Bahruddin. Salah satu peninggalan Kesultanan Palembang adalah Masjid Agung Palembang yang didirikan pada masa kepemimpinan Sultan Abdur Rahman.
7.     Kerajaan Demak
Kerajaan Demak didirikan atas prakarsa para walisongo. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta. Walisongo bersepakat mengangkat Raden Fatah sebagai raja pertama Kerajaan Demak. Masa kekuasaan pemerintahan Raden Fatah berlangsung kira-kira akhir abad ke-15 M hingga awal abad ke-16M. Raden Fatah merupakan raja pertama Demak yang sangat berjasa dalam pengembangan agama Islam di daerah wilayah kekuasaannya. Ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Pati Unus (Adipati Unus) yang terkenal dengan sebutan pangeran Sabrang Lor. Ketika menggantikan kedudukan ayahnya, Pati Unus baru berumur 17 tahun pada tahun 1507 M.
Sepeninggal Pati Unus, digantikan Sultan Trenggono yang dilantik oleh Sunan Gunungjati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul Arifin. Sultan Trenggono memerintah 1524-1546 M. Pada masa ini agama Islam berkembang sampai ke Kalimantan Selatan. Dalam penyerangan ke Blambangan, Sultan Trenggono meninggal (1546 M) dan kedudukannya digantikan oleh adiknya, Sultan Prawoto. Pada masa Sultan Prawoto terjadi kerusuhan sehingga ia terbunuh. Kemudian kedudukannya digantikan oleh Jaka Tingkir yang berhasil membunuh Aria Penangsang. Pada masa inilah kemudian Kerajaan Islam Demak dipindahkan ke Pajang.
8.     Kerajaan Pajang
Kerajaan Pajang didirikan oleh Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging. Setelah ia mengambil alih kekuasaan dari tangan Aria Penangsang pada tahun 1546 M, seluruh kebesaran kerajaan dipindahkan ke Pajang, dan ia bergelar Sultan Hadiwijaya.
Pada masa pemerintahan Sultan Hadiwijaya, ia berusaha memperluas wilayah kekuasaannya ke pedalaman ke arah timur sampai ke Madiun. Setelah itu menaklukkan Blora pada tahun 1554 M, dan Kediri pada tahun 1577 M. Pada masa pemerintahannya kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat laut dikenal di pedalaman Jawa. Demikian pula juga pengaruh Islam semakin kuat di pedalaman Jawa.
Sepeninggal Sultan Hadiwijaya pada tahun 1587 M kedudukannya digantikan oleh Aria Penggiri, anak Sunan Prawoto, sementara anak Sultan Hadiwijaya, yaitu Pangeran Benowo diberi kekuasaan di Jipang. Akan tetapi, ia mengadakan pemberontakan kepada Aria Penggiri dengan mendapat bantuan dari Senopati Mataram. Usahanya tersebut berhasil dan ia mendapat tanda terima kasih dari Senopati berupa hak atas warisan ayahnya. Akan tetapi, ia menolak tawaran tersebut dan hanya meminta pusaka Kerajaan Pajang untuk dipindahkan ke Mataram. Dengan demikian, Kerajaan Pajang berada di bawah perlindungan Mataram, yang kemudian menjadi daerah kekuasaan Mataram.
9.     Kerajaan Mataram Islam
Kerajaan Islam Mataram didirikan oleh Panembahan Senopati. Setelah permohonan Senopati Mataram atas penguasa Pajang berupa pusaka kerajaan dikabulkan, keinginannya untuk menjadi raja sebenarnya telah terpenuhi. Sepeninggalnya Senopati, ia digantikan putranya yang bernama Mas Jolang yang terkenal dengan Sultan Seda ing Krapyak yang memerintah sampai tahun 1613 M. Sultan Seda ing Krapyak kemudian digantikan oleh Sultan Agung yang bergelar Sultan Agung Hanyokrokusuma Sayidin Panataagama Khalifatullah ing Tanah Jawi (1613-1646 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Agung inilah kontak bersenjata antara Kerajaan Mataram Islam dengan VOC mulai terjaadi. Pada tahun 1646 M, Sultan Agung digantikan oleh putranya, yaitu Amangkurat I. Pada masanya terjadi perang saudara dengan Pangeran Alit yang mendapat dukungan dari para ulama. Akibatnya antara pendukungnya dibantai pada tahun 1647 M. Pemberontakan itu kemudian diteruskan oleh Raden Kajoran 1677 dan 1678 M. Pemberontakan-pemberontakan seperti itulah yang meruntuhkan kerajaan Islam Mataram.
10.  Kerajaan Cirebon
Kerajaan ini didirikan oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati diperkirakan lahir pada tahun 1448 M dan wafat pada tahun 1568 M dalam usia 120 tahun. Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang merdeka dari kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunungjati berusaha meruntuhkan Pajajaran yang masih belum meenganut ajaran Islam.
Dari Cirebon, Sunan Gunungjati mengembangkan ajaran Islam ke daerah-daerah lain di Jawa Barat, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh, Sunda Kelapa dan Banten.
Sepeninggalnya kesultanan Cirebon diperintah oleh dua orang putranya, yaitu Martawijaya atau Panembahan Sepuh yang memerintah Kesultanan Kesepuhan dengan gelar Syamsuddin, dan Kartawijaya atau Panembahan Anom yang memerintah Kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.
11.  Kerajaan Banten
Kerajaan Islam Banten didirikan oleh Sunan Gunungjati. Setelah Gunungjati menaklukan Banten pada tahun 1525 M, ia kembali ke Cirebon, dan kekuasaannya diserahkan kepada anaknya yaitu Sultan Hasanuddin.
Pada tahun 1568 M, ketika kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Sultan Hasanuddin memerdekakan Banten. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai raja Islam pertama dari Banten. Ketika ia meninggal pada tahun 1570 M, kedudukannya digantikan oleh putranya yaitu Pangeran Yusuf. Pangeran Yusuf menaklukan Pakuan pada tahun 1579 M sehingga banyak para bangsawan Sunda yang masuk Isam.
Setelah Pangeran Yusuf meninggal pada tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya, yaitu Maulana Muhammad yang masih muda. Maulana Muhammad bergelar Kanjeng Ratu Banten. Selama itu kekuasaan dipegang oleh Qadhi bersama empat pembesar istana lainnya. Maulana Muhammad meninggal pada tahun 1596 M dalam usia 25 tahun. Setelah itu kedudukannya digantikan oleh anaknya yang masih kecil bernama Abdul Mufakhir Abdul Qadir. Ia memerintah secara resmi pada tahun 1638 M.
Pada masa Sultan Abdul Fatah yang bergelar Sultan Ageng Tirtayasa (1651-1659 M) terjadi beberapa kali peperangan antara Banten dengan VOC karena Sultan Ageng Tirtayasa anti Belanda. Sikap-nya anti Belanda itu mendapat dukungan dari seorang alim berpengaruh, yaitu Syaikh Yusuf yang berasa dari Makasar. Peperangan itu baru berakhir dengan perdamaian pada tahun 1659 M. Sikap anti Belanda ini tidak disetujui oleh anaknya, yaitu Abdul Kahar yang bergelar Sultan Haji, ia lebih suka bekerja sama dengan Belanda.
12.  Kerajaan Sukadana (Kalimantan Barat)
Kerajaan Islam Sukadana terletak di barat daya Kalimantan. Sekitar tahun 1590 M, Sukadana berada di bawah pengaruh Demak. Raja Sukadana yang pertama masuk Islam adalah Giri Kusuma. Kemudian ia dinobatkan sebagai raja Islam pertama di Kerajaan Islam Sukadana.
Pada tahun 1725 M, Kerajaan Islam Sukadana melepaskan diri dari pengaruh Kerajaan Demak. Sukadana runtuh ketika penjajah Belanda mulai menguasai Kalimantan tahun 1787 M. Kerajaan Sukadana berdiri selama satu abad.
13.  Kerajaan Banjar (Abad ke-16)
Kesultanan Banjar merupakan kesultanan Islam yang terletak di Kalimantan bagian Selatan. Kesultanan Banjar berdiri pada tahun 1595 M dengan penguasa pertama Sultan Suriansyah. Islam masuk ke wilayah ini pada tahun 1470, bersama dengan melemahnya Kerajaan Majapahit di Pulau Jawa.
Kesultanan Banjar yang dipimpin oleh Pangeran Samudra berperang dengan Kerajaan Daha. Kemudian Raja Samudra meminta bantuan ke Demak dengan janji jika menang maka raja beserta penduduknya akan masuk Islam. Dalam peperangan itu, Kerajaan Banjar yang dibantu Demak menang. Sejak itu Pangeran Samudra masuk Islam, dan Kerajaan Banjar dinyatakan sebagai kerajaan Islam pada tahun 1550 M.
Kesultanan Banjar mengalami kemunduran dengan terjadinya pergolakan masyarakat yang menentang pengangkatan pangeran Tamjidillah (1857-1859 M) sebagai Sultan oleh Belanda. Pada 1859-1905 M, terjadi perang Banjar yang dipimpin pangeran Antasari (1809-1862 M) melawan Belanda. Akibat perang ini Belanda menghapuskan Kesultanan Banjar pada tahun 1860 M. Peninggalan sejarah Kesultanan Banjar dapat dilihat dari bangunan masjid di Desa Kuin. Banjar Barat (Banjarmasin) yang dibangun pada masa pemerintahan Sultan Tamjidillah.
14.  Kerajaan Goa (Makassar)
Raja Goa mula-mula masuk Islam adalah Karaeng Tonigallo. Setelah masuk Islam, ia bergelar Sultan Alauddin Awwalul Islam. Kemudian Kerajaan Goa (Makassar) dinyatakan sebagai kerajaan Islam Makassar pada tahun 1603. Sultan Alauddin Awwalul Islam memerintah sejak 1591-1638 M.
Pada tahun 1654-1660 M, kerajaan Goa diperintah oleh Sultan Hasanuddin. Selama pemerintahannya, Goa berkembang dan maju. Wilayah kekuasaannya meliputi : Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara dan pulau-pulau sekitarnya dan Sumbawa.
Tahun 1660 Sultan Hasanuddin turun tahta setelah menandatangani perjanjian perdamaian dengan Belanda. Sebelum perjanjian perdamaian antara Sultan Hasanuddin dan Belanda, berkali-kali telah terjadi peperangan. Setelah Sultan Hasanuddin turun tahta, anaknya Mapasomba naik tahta menggantikannya.
Kerajaan Makassar berdiri kurang lebih 65 tahun, sejak diproklamirkan oleh Sultan Alauddin Awalul Islam tahun 1603 sampai tahun 1669 M.
15.  Kerajaan Bugis
Kerajaan Islam Bugis mula-mula bukan kerajaan Islam. Raja Bugis yang pertama masuk Islam adalah Lamdu Sadat. Setelah ia mangkat digantikan oleh putranya bernama Apu Tanderi.
Kerajaan Bugis meliputi Wajo, Sopeng, Sindenrengi, Tanette dan lain-lain. Ibukotanya adalah Luwu. Kerajaan ini berdiri semasa dengan Kerajaan Islam Goa yang berpusat di Makassar.
16.  Kerajaan Ternate
Raja Ternate yang pertama masuk Islam adalah Raja Gapi Buguna atas ajakan Maulana Husein. Setelah masuk Islam, maka Ternate dinyatakan sebagai kerajaan Islam. Rja Gapi Baguna memerintah dari tahun 1465-1486 M. Setelah ia mangkat namanya dikenal sebagai Raja Marhum.
Setalah Raja Marhum meninggal, digantikan oleh putranya yang bernama Zainal Abidin Sultan Ternate. Pada tahun 1495 M, ia merantau ke Jawa belajar agama Islam kepada Sunan Giri dan urusan memerintah diserahkan kepada wakilnya.
Pada masa Ternate di bawah pemerintahan Sultan Khairun, tahun 1564 diadakan perjanjian dengan Portugis bahwa Ternate di bawah perlindungan kerajaan Portugis. Pada waktu itu Portugis telah menjajah Malaka dan yang memerintah di sana adalah seorang Gubernur Portugis bernama de Mesquita.
Pada tahun 1565 M, Sultan Khairun memaklumkan perang Sabil melawan kesewenang-wenangan de Mesquita di Ternate. Karena terdesak, Portugis mengadakan perjanjian, tetapi ketika penandatanganan perjanjian tersebut Sultan Kharun dibunuh.
Pengganti Sultan Khairun adalah Sultan Babullah (1570-1583M). Sultan Babullah memaklumkan perang secara total terhadap Portugis. Perang antara tentara Ternate dengan Portugis dimenangkan oleh Ternate pada tahun 1575 M. Sepeninggal Sultan Babullah digantikan oleh anaknya Saiduddin Narakat.
17.  Kerajaan Tidore
Kerajaan Tidore semasa dengan Kerajaan Ternate. Wilayah kerajaan ini meliputi sebagian Halmahera, pantai barat Irian Jaya, dan sebagian kepualuan Seram. Raja Tidore yang pertama kali masuk Islam adalah Cirali Lijtu, yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Jamaluddin.
Ketika Spanyol datang ke Maluku pada tahu 1521 M mereka telah mendapati kerajaan Islam Tidore. Dan kerajaan ini telah ada 50 tahun sebelumnya. Sedangkan setelah Sultan Jamaluddin meninggal, digantikan oleh putranya, Sultan Mansur.
18.  Kerajaan Bacan
Pada tahun 1521, raja Bacan yang memerintah negeri ini  masuk Islam, namanya kemudian berganti menjadi Sultan Zainul Abidin. Wilayah Kerajaan Bacan meliputi kepulauan Bacan, Obi, Waigeo, Salawati dan Misool. Ketika Portugis menguasai Maluku, sultan-sultan Bacan mereka paksa untuk masuk agama Kristen.
19.  Kerajaan Jailolo
Raja Jailolo yang pertama kali masuk Islam ialah raja yang ke sembilan. Setelah masuk Islam namanya berganti dengan nama Sultan Hasanuddin. Kerajaan Islam Jailolo ini berdiri tahun 1521. Wilayahnya meliputi sebagian Halmahera dan pesisir utara Pulau Seram. Ketika Portugis menguasai daerah-daerah Maluku, mereka memaksa Kerajaan Jailolo untuk masuk Islam.
20.  Kesultanan Buton (Abad ke-16)
Kesultanan Buton merupakan kerajaan Islam yang terletak di pulau Buton, Sulawesi bagian Tenggara. Kerajaan Buton menjadi Kesultanan setelah Halu, Oleo, Raja ke-6 kerajaan tersebut memeluk agama Islam. Penyebaran Islam secara luas dilakukan oleh Syaikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman Al-Pathani, seorang ulama dari kesultanan Johor asal Pathani. Peninggalan sejarah Kesultanan Buton berupa Benteng Kraton dan Batupoaro yaitu batu tempat berkhalwat (mengasingkan diri) Syaikh Abdul Wahid di akhir keberadaannya di Buton.
21.  Kesultanan Kutai (Abad ke-16)
Kesultanan Kutai terletak di sekitar Sungai Mahakam bagian timur. Pada awalnya, Kutai merupakan kerajaan yang dipengaruhi ajaran Hindu dan Buddha. Islam berkembang pada masa kepemimpinan Aji Raja Mahkota (1525-1600 M). Penyebaran Islam dilakukan oleh seorang mubaligh bernama Said Muhammad bin Abdullah bin Abu Bakar Al-Wars. Kesultanan ini mencapai puncak kejayaan pada masa Kesultanan Aji Sultan Muhammad Salehuddin (1780-1850 M) memerintah. Kesultanan Kutai mengalami kemunduran setelah Aji Sultan Muhammad Salehuddin meninggal dunia. Peninggalan sejarah Kutai berupa makam para sultan di Kutai Lama (dekat Anggana).
22.  Kesultanan Bima (Abad ke-17)
Kesultanan Bima adalah kerajaan Islam yang terletak di Pulau Sumbawa bagian Timur. Kerajaan Bima berubah menjadi kesultanan Islam pada tahun 1620 setelah rajanya La Ka’I memeluk Islam dan mengganti namanya menjadi Sultan Abdul Khair. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair Sirajuddin (1640-1682), kesultanan Bima menjadi pusat penyebaran Islam kedua di Timur Nusantara setelah Makassar. Kesultanan Bima berakhir pada masa 1951, ketika Muhammad Salahuddin, sultan terakhir wafat. Peninggalan Kesultanan Bima antara lain berupa kompleks istana yang dilengkapi dengan pintu lare-lare atau pintu gerbang kesultanan.[12]



BAB III
PEMBAHASAN

3.1  Kesimpulan
Islam masuk ke Nusantara pada abad ke-7 M. Penyebaran Islam di Nusantara melalui jalur perdagangan, jalur pernikahan, jalur tassawuf, jalur pendidikan, jalur kesenian, dan jalur politik. Terdapat empat teori yang mengatakan bahwa islam masuk ke Nusantara melalui
a.      Teori India
b.     Teori Arab
c.      Teori Persia
d.     Teori Cina
Sebab-sebab Islam cepat berkembang di Nusantara dikarenakan ada berbagai faktor yang mendukung, diantaranya;
a.      Faktor Agama
b.     Faktor Politik
c.      Faktor Ekonomis
Setelah Islam berkembang di Nusantara terdapat berbagai kesultanan dan kerajaan yang didirikan yang bertujuan untuk menyebarluaskan Islam.
3.2  Saran
Dalam makalah ini tentunya ada banyak sekali kesalahan ataupun koreksi dari para pembaca. Karena menyadari bahwa makalah ini jauh dari sempurna. Maka dari itu, kami mengharapkan kritik dan saran dari pembaca guna menjadikan makalah ini menjadi lebih baik dari sebelumnya.


DAFTAR PUSTAKA

Amin Munir Samsul. 2009. Sejarah Peradaban Islam. Jakarta : Amzah
Sunanto Musyrifah. 2010. Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Jakarta : Rajawali Pers
Yusuf Mundzirin. 2006. Sejarah Peradaban Islam di Indonesia. Yogyakarta : Pustaka







[1] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia,(Yogyakarta:2006), hal.33-45
[2] Ibid, hal. 45-50
[3] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta:2009) hal. 306-308
[4] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta:2010), hal.225-226
[5] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:2009), hal.310-316
[6] Ibid, hal.316-318
[7] Ibid, hal. 325-330
[8] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia (Yogyakarta :2006). hal. 55
[9] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta:2009), hal. 330-331
[10] Ibid, hal.322-333
[11] Mundzirin Yusuf, Sejarah Peradaban Islam di Indonesia(Yogyakarta :2006). Hal. 55-65
[12] Samsul Munir Amin, Sejarah Peradaban Islam (Jakarta : 2009), hal. 333-344

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel