TT A L4 METODE PENDIDIKAN SPESIAL "METODE DIALOGIS"


METODE PENDIDIKAN SPESIAL
"METODE DIALOGIS"
QS. As-Shafaat ayat 37: 102
Uswatun Khasanah
NIM. (2117107)
Kelas A

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PEKALONGAN


2018



KATA PENGATAR

Puji syukur atas kehadirat Allah swt yang telah memberikan kita kehidupan yang sebaik-baiknya sampai sekarang ini. Sehingga makalah yang berjudul “METODE DIALOGIS” QS. Ash-Shafaat 37:102 bisa diselesaikan dengan baik. Sholawat serta sama yang tidak lupa kita junjungkan kepada nabi kita Nabi Muhammad saw yang kita tunggu syafa’atnya di hari akhir.
Mudah-mudahan makalah yang saya buat ini dapat dipahami oleh semua orang tertuma yang suka dalam membaca. Saya mohon maaf jika ada salah kata maupun salah ketik dalam makalah ini.
                                                            Pekalongan,2018
                                                                       
                                                                        Penulis











DAFTAR ISI
Kata Pengatar ........................................................................................ i
Daftar isi .............................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan
a.       Latar Belakang Masalah ........................................................... 4
b.      Rumusan Masalah .................................................................... 4
c.       Tujuan Penulis .......................................................................... 4
Bab II Pembahasan
a.       Hakikat metode dialogis........................................................... 5
b.      Tafsir metode dialogis............................................................... 6
c.       Penerapan metode dialogis...................................................... 10
d.      Aspek tarbawi metode dialogis............................................... 10
Bab III Penutup
a.       Kesimpulan.............................................................................. 11
Daftar Pustaka..................................................................................... 12
Biodata Penulis................................................................................... 13







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kisah-kisah dalam Al-Quran sarat dengan hikmah dan ibrah yang tidak akan habis tergali sampai kapanpun. Teladan yang abadi dicontohkan dalam sosok-sosok yang dikisahkan dalam Alquran, salah satunya sosok Nabiyullah Ibrahim as. Beliau adalah sosok seorang Rasul, pendidik, ayah dan suami yang sukses mendidik keluarga dan ummat. Tak ada lagi yang meragukan kualitas keimanan, keshalihan dan kepemimpinannya sebagai seorang Nabi, utusan Allah. Demikian juga dengan perannya sebagai ayah dan pendidik. Namun memang tidak mudah untuk memahami atau mencerna konsep-konsep pendidikannya dalam mendidik keluarga dan ummat.
Konsep-konsep pendidikan Nabi Ibrahim inilah yang akan kita coba kupas dan kita kaji untuk kita jadikan acuan dan teladan dalam pendidikan Islam dalam mendidik generasi penerus bangsa.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa hakikat dari metode dialogis?
2.      Apa dalil metode dialogis?
3.      Bagaimana implimentasi metode dialogis dalam pendidikan?
4.      Bagaimana aspek tarbawi dalam metode dialogis?
C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui hakikat dari metode dialogis.
2.      Untuk mengetahui dalil metode dialogis.
3.       Untuk mengetahui implimentasi metode dialogis dalam pendidikan.
4.       Untuk mengetahui aspek tarbawi dalam metode dialogis.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Metode Dialogis
Metode dalam bahasa arab disebut dengan al-thariq, yang artinya jalan. Jalan adalah sesuatu yang dilalui supaya sampai ke tujuan. Mengajarkan materi pelajaran agar dapat diterima peserta didik hendaknya menggunakan jalan yang tepat, atau dalam bahasa yang lebih tepatnya cara dan upaya yang dilakukan pendidikan.[1]
Abu al-Fath al-Tawanisi mendefinisikan metode mengajar sebagi cara-cara yang diikuti oleh guru untuk menyampaikan informasi ke otak muurid-murid.
Kata ‘Dialog’ berasal dari bahasa yunani, yaitu dialogos, yang berarti percakapan. Dialog adalah sebuah proses yang di dalamnya terjadi komunikasi yang berbentuk percakapan atau diskusi untuk saling bertukar pikiraan dan opini-opini dari apa yang ada di pikiran individu. Dialog dapat terjadi secara langsung dan tidak langsung. Dialog secara langsung nampak dalam pertemuan antar pribadi. Dialog ini disebut dialog lisan. Sedangkan dialog secara tidak langsung adalah dialog melalui lisan.
Dalam dunia pendidikan, dialog antar guru dan murid sangatlah penting dalam menciptakan suasana yang harmonis, sehingga murid akan menikmati proses pembelajaran dengan rasa senang dan nyaman tanpa ada paksaaan dan ia akan muda memahami apa yang disampaikan oleh guru dengan melalui dialog berupa tanya jawab.

B.     Dalil metode dialogis QS. As-Shafaat ayat 37: 102
فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَىٰ فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَىٰ ۚ قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ ۖ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Artinya: maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (ibrahim) berkata, “wahai anak-anaku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Dia (ismail) menjawab,” wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.
a.       Tafsir Al-Maraghi
فَلَمَّابَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ اِنِّى اَرَى فِى الْمَنَامِ اَنِّيْ اَذْبَحُكَ فَانْظُرْمَاذَاتَرَى
Dan tatkala ismail menjadi besar, tumbuh dan dapat pergi bersama ayahnya berusaha melakukan pekerjaan-pekerjaan dan memenuhi keperluan-keperluan hidupnya, maka berkatalah ibrahim kepadanya, “Hai anaku, sesungguhnya aku telah bermimpi bahwa aku menyembelih kamu. Maka, bagaimanakah pendapatmu. Mimpinya itu dia ceritakan kepada anaknya, dia tahu bahwa yang diturunkan kepadanya adalah cobaan Allah. Sehingga, ia hendak meneguhkan hatinya kalau-kalau dia gusar dan hendak menenteramkan jiwanya untuk menunaikan penyembelihan, disamping agar dia menginginkan pahala Allah dengan tunduk kepada perintah-Nya.
Kemudian, Allah menerangkan bahwa ismail itu mendengar dan patuh serta tunduk kepada apa yang diperintahkan kepada ayahnya.
قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ
Ismail berkata, “Hai ayahku, engkau telah menyeru kepada anak yang mendengar, dan engkau telah meminta kepada anak yang mengambulkan dan engkau telah berhadapan dengan anak yang rela dengan cobaan dan putusan Allah. Maka, bapak tinggal melaksanakan saja yang diperintahkan, sedang aku hanyalah akan patuh dan tunduk kepada perintah, dan aku serahkan kepada Allah pahalanya, karena dialah cukup bagiku dan sebaik-baik tempat berserah diri.
Setelah ibrahim berbicara kepada anaknya dengan ucapannya, Ya bunayya, sebagai ungkapan kasih sayang, maka dijawab anaknya dengan mengucapkan Ya Abati, sebagai ungkapan tunduk dan hormat, dan menyerahkan urusan kepada ayahnya, sebagaimana yang dia rundingkan denganya. Dan bahwa kewajibannya hanyalah melaksanakan apa yang dipadang baik oleh ayahnya.
Kemudian, dia tegaskan tentang kepatuhanynya kepada perintah dengan katanya:
سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ
Aku akan sabar menerima putusan dan sanggup menanggung penderitaan tanpa gusar dan tanpa gempar dengan apa yang telah ditakdirkan dan diputuskan. Dan memang benar-benar ismail menepati apa yang dia janjikan dan melaksanakan dengan baik kepatuhan dalam menunaikan apa yang diperintahkan kepadanya. [2]
b.      Tarsir Al-Azhar
Maka setelah sampai anak itu dapat berjalan bersamanya.  Anak yang sudah dapat berjalan bersama ayahnya ialaah di antara ussia 10-15 tahun.  Keadaan itu diitonjolkan dalam ayat ini, untuk menunjukkan betapa tertumpahnya kasih ibrahim kepada anak itu. Di kala anakberusia sekitar 10 sampai 15 tahun, memanglah seorang ayah bangga sekali jika dapat berjalan bersama anaknya itu.
Suatu waktu dibawahlah ismail oleh ibrahim berjalan bersama-sama. Ditengah jalan; “Berkatalah dia: “Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwasannya  akau meenyembelih engkau. Maka fikirkanlah, apa pendaptmu!”
Dengan kata-kata yang halus mendalam, si ayah berkata kepada si anak , yaitu ayah yang lebih tua, berusia lebih dari 90 taahun, dan anak yanag dihadapi adalah anak yang berpuluh tahun lamanya ditunggu-tunggu dan sangat diharapkan. Dalam pertanyaan ini Tuhaan telah meembayangkan kepadaa kita bagaimana seorang manusia yang terjadi dari darah dan daging, sebab itu merasa juga sedih dan rawan, tetapi tidak sedikit juga ragu atau bimbang bahwa dia adalah Nabi.
Disuruhnya anaknya memikirkan mimpinya itu dan kemudiaan diharapkannya anaknya menyatakan pendapat. Tentu ismail sejak dari mulai tumbuh akal telah mendengar, baik dari ibunya sendiri Hajar, atau orang lain di sekelilingnya, khadam-khadam dan orang-orang yang mengelilingi ayahnya, sebab ayahnyaa pun seorang yaang mampu, telah didengarnya jua siapa ayahnya. Tentu sudah didengarnya bagaimana ayah itu besediaa dibakar, malahan dengan tidak merasa ragu sedikit juaa puun dimasukinya api yang sedang menyala itu, karena dia yakin bahwa pendirian yang dia pertahankan adalah benara. Demikian pula mata-mata rantai dan percobaan hidup yang dihadapi oleh ayahnya, semuanya tentu sudah diketahuinya. Dan tentu sudah didengarnya juga bahwasannya mimpi ayahnya bukanlah semata-mata apa yang disebut rasian, yaitu khayalan kacau tak tentu ujung pangkal yang dialami orang sedang tidur. Oleh sebab itu tidaklah lama ismail merenungkan dan tidaklah lama dia tertegun buat mengeluarkan pendapat.
Berkata dia: yaitu ismail- “Ya Ayahku! Perbuatlah apa yang diperintahkan kepada engkau. Akan engkau dapati aku-insya Allah termasuk orang yang sabar.”[3]
c.       Tafsir Al-Mishbah
Ayat sebelum ini menguraikan janji Allah kepada Nabi Ibrahim as. Tentang perolehan anak. Demikianlah hingga tiba saatnya anak tersebut lahir dan tumbuh berkembang., maka tatkala ia yakni sang anak itu telah mencapai usia yang menjadikan ia mampu berusaha bersamanya yakni bersama Nabi Ibrahim, ia yakni Nabi Ibrahim berkata sambil memanggil anaknya dengan panggilan mesra: “Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu dan engkau tentu tahu bahwa mimpi para nabi adalah wahyu Illahi. Jika demikian itu halnya, maka pikirkanlah apa pendapatmu tentang mimpi yang merupakan perintah Allah itu! Ia yakni sang anak menjawab dengan penuh hormat: “Hai bapakku, laksanakanlah apa yang sedang dan akan diperintahkan kepadamu termasuk perintah menyembelihku; engkau akan mendapatiku insya Allah termasuk kelompok para penyabar.”
Nabi Ibrahim as. Menyampaikan mimpi itu kepada anaknya. Ini agaknya karena beliau memahami bahwa perintah tersebut tidak dinyatakan sebagai harus melaksanaknnya kepada sang anak. Yang perlu adalah bahwa ia berkehendak melakukannya. Bila ternyata sang anak membangkang, maka itu adalah urusan ia dengan Allah. Ia ketika itu akan dinilai durhaka, tidak ubahnya dengan anak Nabi Nuh as, yang membangkang nasihat orang tuanya.
Ayat diatas menggunakan bentuk kata kerja mudhari’ (masa kini dan datang) pada kata-kata (ارى) ara/saya melihat dan (اذبحك) adzbahuka/saya menyembelihmu. Demikian juga kata (تؤمر) tu’mar /diperintahkan. Ini untuk mengisyaratkan bahwa apa yang beliau lihat itu seakan-akan masih terlihat hingga saat penyampaiannya itu. Sedang penggunaan bentuk tersebut untuk kata menyembelihmu untuk mengisyaratkan bahwa perintah Allah yang dikandung mimpi itu belum selesai dilaksanakan, tetapi hendaknya segera dilaksanakan. Karena itu pula jawaban sang anak menggunakan kata kerja masa kini juga untuk mengisyaratkan bahwa ia siap, dan bahwa hendaknya sang ayah melaksanakn perintah Allah yang sedang maupun yang akan diterimanya.
Ucapan sang anak: (افمل ما تؤمر) if’al ma tu’mar / laksanakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, bukan berkata:”Sembelihlah aku”. Mengisyaratkan sebab kepatuhannya, yakni karena hal tersebut adalah perintah Allah swt. Bagaimanapun bentuk, cara dan kandungan apa yang diperintahkan –Nya, maka ia sepenuhnya pasrah,. Kalimat ini juga dapat merupakan obat pelipur lara bagi keduanya dalam menghadapi ujian berat itu.[4]

C.     Implementasi metode dialogis dalam pendidikan.
1.      Wajibnya taat dan berbakti pada orang tua selama dalam kebaikan.
2.      Ada balasan besar bagi orang yang berbuat ihsan, sabar dan taat kepada Allah.
3.      Mengarahkan anak pada jalan yang di ridhai Allah.
4.      Kecintan pada Allah mesti di kedepankan dari pada kecintaan pada istri dan anak.
5.      Orang yang beriman mesti diuji keimanannya.
D.    Aspek Tarbawi
Nilai-nilai yang terkandung dalam QS. As-Shafaat ayat 102 sebagai berikut:
1.      Pendidikan aqidah yang bisa diimplementasikan dari keimanan Nabi ibrahim dan Nabi ismail terhadap Allah swt.
2.      Pendidikan akhlak menunjukkan tingginya akhlak dan sopan santun ismail kepada orang tua dan Allah.
3.      Pendidikan spiritual yang berlandaskan dialogis, artinya ibrahim memberitahukan ismail tentang mimpinya agar dapat dipahami oleh ismail yang masih remaja. Cara berdialog ini melatih untuk berargumentasi, ketangguhan dan keteguhan untuk patuh kepada Allah dan orang tua.








BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Metode dalam bahasa arab disebut dengan al-thariq, yang artinya jalan. Kata ‘Dialog’ berasal dari bahasa yunani, yaitu dialogos, yang berarti percakapan. Jadi metode dialogis adalah sebuah proses yang di dalamnya terjadi komunikasi yang berbentuk percakapan atau diskusi untuk saling bertukar pikiraan dan opini-opini dari apa yang ada di pikiran individu.














DAFTAR PUSTAKA
Mushthafa Ahmad Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (semarang: CV Toha Putra, 1989)
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 2005).
Quraish M. Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lenteran Hati, 2002)
Nizar, Samsul dan Zaenal Efendi, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)

















BIOGRAFI PENULIS

Nama          : Uswatun Khasanah
TTL            : Batang, 1 maret 1999
Alamat        : Ds. Wonokerso, Kandeman, Batang.
No hp                   : 085803109308
Status                   : Mahasiswa IAIN Pekalongan / Wiraswasta
Moto hidup : Legowo.



[1] Nizar, samsul dan Zaenal Efendi, Hadis Tarbawi, (Jakarta: Kalam Mulia, 2011)
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (semarang: CV Toha Putra, 1989), hlm., 199-120
[3] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: PT  Pustaka Panjimas, 2005), hlm., 143
[4] M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lenteran Hati, 2002), hlm., 62-63

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel