Makalah Kompetensi Dan Etika Guru

KOMPETENSI DAN ETIKA GURU
“ETIKA GURU”



KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan rahmat, taufik, hidayah serta karunia-Nya saya dapat menyelesaikan makalah Strategi Belajar Mengajar mengenai “Etika Guru”. Meskipun banyak hambatan dalam proses pengerjaannya, serta masih banyak kekurangan di dalamnya, tapi saya berhasil menyelesaikan makalah ini dengan baik.
Tidak lupa kami sampaikan terimakasih untuk dosen pengampu mata kuliah Strategi Belajar Mengajar, Bapak  Muhammad Hufron, M.S.I yang telah mengajar serta memberi tugas kepada saya. Saya berharap makalah ini dapat memenuhi tugas mata kuliah Strategi Belajar Mengajar dengan baik. Dan juga dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.
Saya menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, untuk itu saya mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna sempurnanya makalah ini. Semoga bermanfaat dan terima kasih.
                                                                                      

________________, 6 September 2017


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Tema
Kompetensi dan Etika Guru
B.     Sub Tema
Etika Guru
C.     Alasan Penting Dikaji
Pentingnya mengkaji tentang “etika guru” yaitu agar seorang guru itu bisa mencapai keberhasilan dalam mengajar dan membelajarkan, serta untuk mencapai fungsi dari guru. Karena, untuk melaksanakan fungsi keguruan, guru dituntut untuk memiliki seperangkat keyakinan, komitmen, etos kerja, dan etika kerja yang menjamin bahwa guru dengan keyakinan dan komitmen tersebut dapat melaksanakan fungsinya dengan baik sehingga tujuan kegiatan belajar mengajar akan tercapai secara efektif.
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Etika
Secara etimologis, kata etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang artinya adat kebiasaan atau watak kesusilaan (costum). Secara terminologis etika menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (edisi ketiga) diartikan sebagai ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).[1]Selain itu, etika juga dapat didefinisikan sebagai seperangkat aturan/undang-undang yang menentukan pada perilaku benar dan salah.
Etika di dalam Islam mengacu pada dua sumber yaitu Al-Qur’an dan Sunnah atau Hadits Nabi Muhammad SAW. Dua sumber ini merupakan sentral segala sumber yang membimbing segala perilaku dalam menjalankan ibadah, perbuatan atau aktivitas umat Islam yang benar-benar menjalankan ajaran Islam.
Etika dalam Islam menyangkut norma dan tuntunan atau ajaran yang mengatur sistem kehidupan individu atau lembaga (corporate), kelompok dan masyarakat dalam interaksi hidup antar individu, antar kelompok atau masyarakat dalam konteks hubungan dengan Allah dan lingkungan. Di dalam sistem etika Islam ada sistem penilaian atas perbuatan atau perilaku yang bernilai baik dan bernilai buruk.[2]
B.     Etika Guru
Etika profesi keguruan adalah aplikasi etika umum yang mengatur perilaku keguruan. Norma moralitas merupakan landasan yang menjadi acuan profesi dalam perilakunya. Dasar perilakunya tidak hanya hukum-hukum pendidikan dan prosedur kependidikan saja yang mendorong perilaku guru itu, tetapi nilai moral dan etika juga menjadi acuan penting yang harus dijadikan landasan kebijakannya.[3]
Etika guru dalam proses pembelajaran diantaranya yaitu:
1.      Cara pandangnya tidak terfokus pada sesuatu yang menarik perhatiannya saja, namun harus meliputi seluruh kelas.
2.      Tidak persial.
3.      Bersikap tenang, tidak gugup.
4.       Ambil posisi yang baik sehingga dapat dilihat dan didengar oleh peserta didik.
5.      Bangkitkan kreativitas peserta didik selama kegiatan proses pembelajaran berlangsung.
6.      Usahakan untuk menguasai bahasa pengantar yang baik dan betul.[4]
Etika guru terhadap peserta didik di dalam Islam menurut Al-Ghazali yaitu:
1.      Guru harus menaruh rasa kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukan mereka seperti perlakuan kita terhadap anak kita sendiri.
2.      Hendaknya guru tidak mengharapkan balas jasa ataupun ucapan terima kasih, tetapi bermaksud mengajar untuk mencapai keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada Tuhan.
3.      Hendaknya guru memberi nasihat kepada peserta didik setiap ada kesempatan.
4.      Hendaknya guru mencegah peserta didik dari akhlak yang tidak baik dengan jalan sindiran jika mungkin dan jangan dengan cara terus terang, dengan jalan halus dan jangan mencela.
5.       Guru hendaknya berbicara dengan bahasa yang dipahami oleh peserta didik.
6.      Jangan menimbulkan rasa benci pada diri peserta didik mengenai suatu cabang ilmu yang lain, melainkan sayogyanya dibukakan jalan bagi mereka untuk belajar cabang ilmu tersebut. Artinya, si peserta didik jangan terlalu fanatik terhadap jurusan pelajarannya saja.
7.      Sayogyanya peserta didik yang masih di bawah umur diberikan pelajaran yang jelas dan pantas buat dia, dan tidak perlu disebutkan kepadanya akan rahasia-rahasia yang terkandung di belakang semua itu, hingga tidak menjadi dingin kemauannya atau gelisah pikirannya.
8.       Sang guru harus mengamalkan ilmunya dan jangan berlain kata dengan perbuatannya.
Sedangkan menurut al-Abrasi, etika seorang guru yaitu:
1.      Seorang guru harus bersifat zuhud atau tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari ridha Allah semata.
2.      Bersih jasmani dan rohani, serta jauh dari dosa dan kesalahan.
3.      Guru juga harus memiliki sifat ikhlas beramal, tulus dan jujur dalam pekerjaannya.
4.      Guru harus bijaksana dan tegas dalam kata dan perbuatannya.
5.      Guru harus bersifat positif terhadap peserta didiknya.
6.      Guru harus menguasai mata pelajaran yang akan disampaikan kepada peserta didiknya.
7.      Guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, adat kebiasaan, rasa dan pemikiran peserta didik agar ia tidak tersesat dalam mendidik peserta didik mereka.[5]
Etika guru Indonesia berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 42 yaitu:
1.      Menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan kreatif, dinamis, dan dialogis.
2.      Mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan.
3.      Memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.[6]
Sedangkan etika guru Indonesia berdasarkan hasil rumusan kongres PGRI XIII pada tanggal 21 sampai dengan 25 November 1973 di Jakarta yaitu:
1.      Guru berbakti membimbing peserta didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangun yang ber-Pancasila.
2.      Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan peserta didik masing-masing.
3.       Guru mengadakan komunikasi, terutama dalam memperoleh informasi tentang peserta didik, tetapi menghindari diri dari segala bentuk penyalahgunaan.
4.      Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua peserta didik sebaik-baiknya bagi kepentingan peserta didik.
5.      Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas, untuk kepentingan pendidikan.
6.      Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
7.      Guru menciptakan dan memelihara antara sesama guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan.
8.      Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya.
9.      Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.[7]
















DAFTAR PUSTAKA
Assegaf, Abd. Rahman. 2004. Pendidikan Tanpa Kekerasan. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Arifin, Muhammad dan Barnawi. 2012. Etika dan Profesi Kependidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
Asril, Zainal. 2011. Micro Teaching. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Djamarah, Syaiful Bahri. 2000. Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Mudlorif, Ali. 2012. Pendidik Profesional. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.






[1] Barnawi dan Muhammad Arifin, Etika dan Profesi Kependidikan, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2012), hlm. 47
[2] Dr. Ali Mudlorif, M.Ag., Pendidik Profesional, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2012), hlm. 38-42
[3] Ibid., hlm. 52-53
[4] Drs. Zainal Asril, M.Pd., Micro Teaching, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 7
[5] Drs. Abd. Rahman Assegaf, M.A., Pendidikan Tanpa Kekerasan, (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 2004), hlm. 220-223
[6] Dr. Ali Mudlorif, M.Ag., Op. Cit., hlm.205-206
[7] Drs. Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2000), hlm. 49-50

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel