MAKALAH TOLERANSI DALAM KERAGAMAN GLOBAL QS. AL-BAQARAH, 2:256


“PENDIDIKAN SOSIAL-UNIVERSAL”
TOLERANSI DALAM KERAGAMAN GLOBAL
QS. AL-BAQARAH, 2:256




KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, Wr.Wb

Pujisyuku rpenulispanjatkan kehadirat Allah Swt. Yang telahmelimpahkan Rahmat, Taufiq serta Hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah ini yang merupakan tugasmata kuliah Tafsir Tarbawi II. Penulissadar bahwa tanpa pertolongan-Nya segalausahapenulistidakakanadaartinya, laahaulawalaaquwwatailaabillaah.
Shalawat sertasalam dari penulis semoga senantiasa terlimpah untuk khalifah yang membawa angin perubahan bagi kehidupan dunia, NabiullahMuhammad Saw. Semoga penulis mampu mengikuti jejak beliau sebagai khalifah meski baru sebatas khalifah untuk diri penulis sendiri.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca untuk menambah wawasan.


Wassalamualaikum, Wr. Wb






PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Konsekuensi dari pluralitas agama bagi setiap umat beragama adalah kewajiban untuk mengakui sekaligus menghormati agama lain, sehingga sikap keagamaan yang perlu dibangun dalam menghadapi pluralitas agama adalah prinsip kebebasan dalam memeluk suatu agama.  Prinsip yang demikian antara lain dibangun dari misi historis Islam bahwa “Tidak ada paksaan untuk memeluk agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat…” (Q.S. Al-Baqarah (2):256).
B.     Nash dan Arti
Allah Ta’ala berfirman,

لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 256).
C . Mengapa Penting Di Kaji
Ayat ini menerangkan tentang kesempurnaan ajaran Islam, dan bahwasanya karena kesempurnaan bukti-buktinya, kejelasan ayat-ayat dan keadaannya merupakan ajaran akal dan ilmu, ajaran fitrah dan hikmah, ajaran kebaikan dan perbaikan, ajaran kebenaran dan jalan yang lurus, maka karena kesempurnaannya dan penerimaan fitrah terhadapnya, maka Islam tidak memerlukan pemaksaan.[1]

PEMBAHASAN
A. Teori
1.      Nash QS. AI-Baqarah 2:256

لآَإِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَد تَّبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَن يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِن بِاللهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لاَ انْفِصَامَ لَهَا وَاللهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
"Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya dia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui." (Al-Baqarah: 256).
2. pengertian Toleransi
Toleransi berasal dari bahasa Latin yaitu “tolerare” yang berarti bertahan atau memikul.  Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran”, yang berarti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan), pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, dan sebagainya) yang berbeda dan atau yang bertentangan dengan pendiriannya.  Toleransi juga berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan.
Menurut Siagian (1993) toleran diartikan dengan saling memikul walaupun pekerjaan itu tidak disukai; atau memberi tempat kepada orang lain, walaupun kedua belah pihak tidak sependapat. (Ajat Sudrajat, 2008:141)
Dalam bahasa Arab, toleransi biasa disebut “ikhtimal”, “tasamuh” yang artinya membiarkan sesuatu untuk dapat saling mengizinkan dan saling memudahkan.
Toleransi menurut Syekh Salim bin Hilali memiliki karakteristik sebagai berikut, yaitu antara lain:
1. Kerelaan hati karena kemuliaan dan kedermawanan
2.  Kelapangan dada karena kebersihan dan ketaqwaan
3.  Kelemah lembutan karena kemudahan
4.  Muka yang ceria karena kegembiraan
5. Rendah diri dihadapan kaum muslimin bukan karena kehinaan
6. Mudah dalam berhubungan sosial (mu'amalah) tanpa penipuan dan kelalaian
7. Menggampangkan dalam berda'wah ke jalan Allah tanpa basa basi
8. Terikat dan tunduk kepada agama Allah SWT tanpa rasa keberatan.
Selanjutnya, menurut Salin al-Hilali karakteristik tersebut merupakan:
1. Inti Islam
2.  Seutama iman,
3.   Puncak tertinggi budi pekerti (akhlaq)[2]
B. Tafsir
1.      Tafsir Al-Maraghi
(256) “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Tidak ada paksaan di dalam memasuki agama, karena iman harus dibarengi dengan perasaan taat dan tunduk. Hal ini tentunya tidak bisa terwujud dengan cara memaksa, tetapi hanya mungkin melalui hujjah atau argumentasi.
Ayat ini, kiranya cukup sebagai hujjah di hadapan orang-orang yang sengaja memusuhi Islam, bahkan orang-orang Islam sendiri yang mempunyai prasangka bahwa Islam tidak bisa tegak melainkan dengan pedang (kekerasan) sebagai penopangnya. Mereka beranggapan bahwa kekuatan tersebut di pamerkan dihadapan orang-orang apabila menerimanya, sehingga mereka selamat. Dan apabila menolak, maka pedang (senjata) mulai berbicara.
Sejarah telah membuktikan kebohongan anggapan ini. Apakah benar pedang berbicara dalam rangka mengintimidasi orang-orang untuk memasuki Islam? Bukankah Nabi sendiri melaksanakan ibadah salat dengan cara sembunyi, sedang kaum Musyrik dengan santernya melancarakan fitnah terhadap kaum Muslimin, dan menimpakan berbagai macam siksaan, sampai membuat beliau dan sahabat terpaksa melakukan hijrah.[3]
2.      Tafsir Al-Azhar
“Tidak ada paksaan dalam agama.” (pangkal ayat 256). Kalau anak itu sudah terang menjadi Yahudi, tidaklah boleh dia dipaksa memeluk Islam. Menurut riwayat Ibnu Abbas, Nabi s.a.w. hanya memanggil anak-anak i9tu dan disuruh memilih, apakah mereka sudi memeluk agama ayah mereka, yaitu Islam atau tetap dalam Yahudi dan turut diusir? Dan menurut riwayat, ada di antara anak-anak itu yang memilih Islam dan ada yang terus jadi Yahudi dan sama berangkat dengan Yahudi yang mengasuhnya itu meninggalkan Madinah. Keyakinan suatu agama tidaklah boleh dipaksakan, sebab: “telah nyata kebenaran dan kesesatan.” Orang yang boleh mempergunakan akalnya buat menimbang dan memilih kebenaran itu, dan orang pun mempunyai fikiran waras untuk menjauhi kesesatan . “Maka barangsiapa yang menolak segala pelanggaran batas dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya telah berpeganglah dia dengan tali yang amat teguh, yang tidak akan putus selama-lamanya.”Agama Islam memberi orang kesempatan untuk mempergunakan fikirannya yang murni, guna mencari kebenaran . asal orang sudi membebaskan diri daripada hanya turut-turutan dan pengaruh dari hawanafsunya, niscaya dia akan bertemu dengan kebenaran itu. Apabila inti kebenaransudah didapat, niscaya iman kepada Tuhan Allah mesti timbul, dan kalau iman kepada Tuhan Allah Yang Tunggal telah timbul, segala pengaruh dari yang lain, dari sekalian pelanggaran batas mesti hilang. Tetapi suasana yang seperti ini tidak bisa dengan paksa, mesti timbul dari keinsafan sendiri. “Dan Allah adalah Maha Mendengar, lagi Mengetahui.“ (ujung ayat 256). Di dengar-Nya permohonan hamba-Nya minta petunjuk. Diketahui-Nya hamba-Nya berusaha mencari kebenaran.[4]
3.      Tafsir Jalalain
(Tidak ada paksaan dalam agama) maksudnya untuk memasukinya (sesungguhnya telah nyata jalan yang benar dari jalan yang salah) artinya telah jelas dengan adanya bukti-bukti dan keterangan-keterangan yang kuat, bahwa keimanan itu berarti kebenaran dan kekafiran itu kesesatan. Ayat ini turun mengenai seorang Ansar yang mempunyai anak-anak yang hendak dipaksanya masuk Islam. (maka barang siapa yang ingkar kepada tagut) maksudnya setan atau berhala, dipakai untuk tunggal dan jamak (dan dia beriman kepada Allah , maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada simpul tali yang teguh kuat) ikatan tali yang kukuh (yang tidak akan putus-putus, dan Allah Maha Mendengar) akan segala ucapan (Maha Mengetahui) segala perbuatan.[5]
4.      Tafsir Al-Mishbah
Kembali pada penegasan ayat ini, tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama; Allah menghendaki agar setiap orang merasakan kedamaian. Agama-Nya dinamai Islam, yakni damai. Kedamaian tidak dapat diraih kalau jiwa tidak damai. Paksaan menyebabkan jiwa tidak damai, karena itu tidak ada paksaan dalam menganut keyakinan agama Islam.
Mengapa ada paksaan, padahal telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat, jika demikian, sangatlah wajar setiap pejalan memilih jalan yang benar, dan tidak terbawa kejalan yang sesat. Sangatlah wajar semua masuk agama ini. Pasti ada sesuatu yang keliru dalam jiwa seseorang yang enggan  menelusuri jalan yang lurus setelah jelas jalan itu terbentang di hadapannya.
Tidak ada paksaan dalam menganut agama, karena telah jelas jalan yang lurus, itu sebabnya, sehingga orang gila dan yang belum dewasa, atau yang tidak mengetahui tuntunan agama, tidak berdosa jika melanggar atau tidak menganutnya, karena bagi dia jalan jelas itu belum diketahuinya. Tetapi Anda jangan berkata, bahwa Anda tidak tahu jika Anda mempunyai potensi untuk mengetahui tetapi potensi itu tidak Anda gunakan. Disini Anda pun dituntut karena menyia-nyiakan potensi yang Anda miliki
Ayat ini merupakan perumpamaan keadaan seseorang yang beriman. Betapapun sulitnya keadaan, walau ibarat menghadap ke suatu jurang yang amat curam, dia tidak akan jatuh binasa karena dia berpegang dengan kukuh pada seutas tali yang amat kukuh, bahkan seandainya ia terjerumus masuk kedalam jurang itu, ia masih dapat naik atau ditolong, karena ia tetap berpegang pada tali yang menghubungkannya dengan sesuatu yang di atas, bagaikan timba yang dipegang ujungnya. Timba yang diturunkan mendapatkan air dan ditarik ke atas. Demikian juga seorang mukmin, yang terjerumus ke dalam kesulitan. Memang dia turun atau terjatuh, tetapi sebentar lagi dia akan keatas membawa air kehidupan yang bermanfaat untuk dirinya dan orang lain.[6]
C.     Aplikasi dalam kehidupan sehari-hari
Bersikap toleran merupakan solusi agar tidak terjadi perpecahan dalam mengamalkan agama. Sikap bertoleransi harus menjadi suatu kesadaran pribadi yang selalu dibiasakan dalam wujud interaksi sosial. Toleransi dalam kehidupan beragama menjadi sangat mutlak adanya dengan eksisnya berbagai agama dalam kehidupan umat manusia ini.
Memperkokoh Silaturahmi dan Menerima Perbedaan. Salah satu wujud dari toleransi hidup beragama adalah menjalin dan memperkokoh tali silaturahmi antarumat beragama dan menjaga hubungan yang baik dengan manusia lainnya. Pada umumnya, manusia tidak dapat menerima perbedaan antara sesamanya, perbedaan dijadikan alasan untuk bertentangan satu sama lainnya. Perbedaan agama merupakan salah satu faktor penyebab utama adanya konflik antar sesama manusia. Merajut hubungan damai antar penganut agama hanya bisa dimungkinkan jika masing-masing pihak menghargai pihak lain. Mengembangkan sikap toleransi beragama, bahwa setiap penganut agama boleh menjalankan ajaran dan ritual agamanya dengan bebas dan tanpa tekanan. Oleh karena itu, hendaknya toleransi beragama kita jadikan kekuatan untuk memperkokoh silaturahmi dan menerima adanya perbedaan. Dengan ini, akan terwujud perdamaian, ketentraman, dan kesejahteraan.
D.    Aspek Tarbawi
1. Tidak ada paksaan bagi seseorang untuk memeluk agama Islam, karena telah jelas yang mana petunjuk dan yang mana kesesatan.
2. Sesungguhnya hanya ada dua pilihan yaitu petunjuk atau kesesatan, karena seandainya ada yang ketiga maka Allah Ta’ala akan menyebutkannya, karena kedudukannya di sini adalah pembatasan, dan yang manunjukan hal tersebut adalah firman Allah Ta’ala Tidak ada setelah kebenaran kecuali kebatilan.
3. Sesungguhnya tidak akan sempurna keikhlasan seseorang kepada Allah kecuali dengan menolak semua bentuk kesyirikan.
4. Bahwasanya setiap sesuatu yang disembah selain Allah adalah thogut.
5. Bahwasanya keselamatan dunia dan akhirat hanya dengan kafir dan mengingkari thogut dan beriman kepada Allah Ta’ala, ini didasari firman Allah Ta’ala Sungguh dia telah berpegang dengan buhul tali yang amat kuat.

















KESIMPULAN

Islam adalah agama yang mudah dan penuh toleransi. Allah mengutus Muhammad SAW dengan membawa agama yang lurus dan yang mudah. Hukum-hukum Islam dibangun di atas kemudahan dan tidak menyulitkan, norma-norma agama ini seluruhnya dicintai (oleh Allah) namun yang mudah dari itu semualah yang paling dicintai oleh Allah. Maka dari itu sangat perlu usaha manusia untuk mewujudkan hubungan yang harmonis antar umat manusia. Salah satu caranya yaitu mengembangkan sikap Toleransi, Etika pergaulan.
Toleransi adalah keimanan yang paling utama. Toleransi adalah amalan yang paling ringan dan paling utama. Termasuk toleransi dalam Islam adalah bahwa Islam merupakan agama Allah untuk seluruh umat manusia. Toleransi Islam menolak sikap fanatisme dan perbedaan ras. Islam telah menyucikan diri dari ikatan dan belenggu jahiliyyah, maka Islam pun menghapus pengaruh fanatisme yang merupakan sumber hukum yang dibangun di atas hawa nafsu.









DAFTAR PUSTAKA

http//www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatquran&id=208/tgl 27 april 2017, pukul 10:20
nunung-kyeopta.blogspot.com/2012/04/toleransi-umat-beragama-dalam-islam.html/27 april 2017, pukul 10:40
Tafsir Al-Maragi, Ahmad Mustafa Al-Maragi 1993,Semarang, PT. KARYA TOHA PUTRA SEMARANG
Tafsir Al-Azhar Jus III, Hamka,2003, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Tafsir Al-Mishbah, M. Quraish Shihab,2002,Tangerang: Lentera Hati.
Tafsir Jalalain, Imam Jalaluddin Al-Mahalli2009, Bandung: Sinar Baru Algensindo Bandung












[1]http//www.alsofwah.or.id/?pilih=lihatquran&id=208/tgl 27 april 2017, pukul 10:20
[2] nunung-kyeopta.blogspot.com/2012/04/toleransi-umat-beragama-dalam-islam.html/27 april 2017, pukul 10:40
[3]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al-Maragi,(Semarang, PT. KARYA TOHA PUTRA SEMARANG, 1993) hlm 28-32
[4]Hamka, Tafsir Al-Azhar Jus III, (Jakarta: Pustaka Panjimas,2003) hlm 29-30
[5]Imam Jalaluddin Al-Mahalli, Tafsir Jalalain, (Bandung: Sinar Baru Algensindo Bandung) hlm 141-142

[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Tangerang: Lentera Hati, 2002) hlm 251-553

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel