Makala "Generasi Kuat, Hebat, Bermanfaat” (QS. An-Nisa’ 4 : 9)

PENDIDIKAN LIFE SKILL
“Generasi Kuat, Hebat, Bermanfaat”
(QS. An-Nisa’ 4 : 9)



KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayahnya saya dapat menyelesaikan makalah terntang PENDIDIKAN LIFE SKILL “Generasi Kuat, Hebat, dan Bermanfaat” dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya dan juga saya berterima kasih kepada Bapak M.Hufron, M.S.I Selaku dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi II yang telah memberikan tugas ini kepada saya. Saya berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan mengenai kesempurnaan akal. Saya juga menyadari sepenuhnya bahwa didalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Oleh sebab itu, saya berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan saya buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun, semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan-kesalahan yang kurang berkenan.


Pekalongan, 21 April 2017

Rina Febriastuti
(2021115267)
BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pendidikan selalu berhubungan dengan terwujudnya keserasian hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia dan manusia dengan alam sekitarnya. Semakin tinggi keserasian hubungan tersebut, maka semakin dekat pula terwujudnya tujuan pendidikan nasional yakni : berkembangya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga Negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut maka peran pendidikan sangat menentukan, terutama dalam pembentukan sikap mental yang positif, sangat dibutuhkan dalam rangka proses alih generasi.
Kandungan Al-Qur’an Surah An Nisaa ayat 9 berpesan agar umat Islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan di masa mendatang.

B.  TEMA : PENDIDIKAN LIFE SKILL
JUDUL : Generasi Kuat, Hebat, Bermanfaat.

C.    NASH

و ليخش ا لذ ين لو تر كو ا من خلفهم ذ ر ية ضعفا خا فو ا عليهم فليتقو ا ا لله و ليقو لو ا قو لا سد يد ا ( 9)
Artinya : “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”(QS. An-Nisaa 4 : 9)


D.    ARTI PENTING
Surah An Nisa ayat 9 penting dikaji karena menerangkan bahwa kelemahan ekonomi, kurang stabilnya kondisi kesehatan fisik dan kelemahan intelegensi anak, akibat kekurangan makanan yang bergizi, merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, maka disinilah hukum Islam memberikan solusi dan kemurahan untuk di laksanakannya KB, yang mana untuk membantu orang-orang yang tidak menyanggupi hal-hal tersebut, agar tidak berdosa di kemudian hari, yakni apabila orang tua itu meninggalkan keturunannya, atau menelantarkannya, akibat desakan-desakan yang menimbulkan kekhawatiran mereka terhadap kesejahteraannya. Oleh karena itu, bagi orang-orang yang beriman hendaklah bertakwa kepada Allah dan selalu berlindung dari hal-hal yang di murkai di sisi Allah. Kita hendaknya takut apabila meninggalkan keturunan yang lemah dan tak memiliki apa-apa, sehingga mereka tak bisa memenuhi kebutuhan mereka sendiri dan terlunta-lunta.
Ayat ini juga menjelaskan mengenai harta waris. Turun sebagai peringatan kepada orang-orang yang berkenaan dengan pembagian harta warisan agar jangan menelantarkan anak-anak yatim dan yang dapat berakibat pada kemiskinan dan ketakberdayaan.





BAB II
PEMBAHASAN
1.      Teori
Kemampuan peserta didik menghadapi problem hidup semasa aktif menjadi peserta didik maupun seusai meninggalkan bangku pendidikan dengan menggunakan potensi, kemampuan, kelihaian, dan ketrampilan (yang dimiliki seseorang) dengan diimbangi sarana dan kondisi yang ideal merupakan realitas yang harus dipahami. Berbagai kemampuan tersebut diperoleh dari bangku pendidikan dan potensi diri peserta didik  yang mengalami sentuhan-sentuhan akademis dan teknologis, serta peran lingkungannya. Akumulasi dari berbagai potensi tersebut jika mampu menanggulangi (memenuhi) kehidupan pada dasarnya adalah hakekat life skill.[1]
Menurut KBBI Generasi adalah sekalian orang yang kira-kira sama waktu hidupnya ; angkatan ; keturunan. Generasi kuat, hebat dan bermanfaat adalah generasi yang tumbuh dan berperilaku merubah lingkungan terdekatnya, menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh lingkungan, membagi pemahaman kepada pihak-pihak terkait, agar permasalahan dapat diurai dan ditanggulangi menuju hal yang lebih baik.[2]

2.      Tafsir  QS. An-Nisa’ 4 : 9           
a.       Tafsir Al-Maraghi
      Pembicaraan dalam ayat ini masih berkisar tentang para wali dan orang-orang yang diwasiati,yaitu mereka yang dititipi anak-anak yatim juga tentang perintah terhadap mereka agar memperlakukan anak yatim dengan baik, berbicara kepada mereka sebagimana berbicara kepada anak-anaknya, yaitu dengan halus, baik dan sopan, lalu memanggil mereka dengan sebutan anakku, sayangku dan sebagainya.
            Firman Allah taraku, artinya mereka hampir saja meninggalkan.
      Firman Allah min khalfihim, artinya sesudah mereka meninggal dunia.
      Firman Allah khafu ‘alaihim artinya mereka khawatir anak-anaknya menjadi terlantar dan tersia-sia hidupnya.[3]

b.      Tafsir Al Azhar
“ hendaklah orang-orang merasa cemas seandainya meninggalkan keturunan yang lemah, yang mereka khawatir atas mereka.”  (Pangkal ayat 9).
Ayat ini masih bersangkut dengan ayat-ayat yang sebelumnya, masih didalam rangka pemeliharaan anak yatim. Kalau diayat-ayat yang tadi diberi perintah kepada orang-orang yang menjadi wali pengawas anak yatim yang belum dewasa, supaya harta anak yatim jangan dicurangi, lalu datang ayat menegaskan, bahwa laki-laki dapat bagian dan perempuanpun dapat bagian, dan kemudian datang pula perintah kalau ada anak yatim dan orang-orang miskin hadir ketika tarikah dibagi hendaklah mereka diberi rezeki juga, maka sekarang ayat ini adalah peringatan kepada orang-orang yang akan meninggal, dalam hal mengatur wasiat atau harta benda yang akan ditinggalkannya.
Untuk menjelaskan ayat ini kita nukilkan cerita tentang sahabat Nabi yang terkemuka yaitu Sa’ad bin Abu Waqqash. Pada suatu hari dia ditimpa sakit, padahal harta bendanya banyak. Lalu dia meminta fatwa kepada Rasulullah saw karena dia bermaksud hendak mewasiatkan harta bendanya itu seluruhnya bagi kepentingan umum. Mulanya beliau hendak mewasiatkan seluruh harta bendanya tetapi dilarang oleh Rasulullah. Kemudian dia berniat hendak memberikan separuh saja, itupun dilarang oleh Rasulullah saw kemudian hendak diberikan sebagai wasiat sepertiga saja, lalu berkatalah Rasulullah saw :
“sepertiga? Dan sepertiga itupun sudah banyak! Sesungguhnya jika engkau tinggalkan pewaris-pewaris engkau itu didalam keadaan mampu, lebih baik daripada engkau tinggalkan mereka dalam keadaan melarat, menadahkan telapak tangan kepada sesama manusia.”(Riwayat Bukhori dan Muslim).
Lalu datanglah lanjutan ayat, sebagai bimbingan agar jangan meninggalkan ahli waris, terutama anak-anak dalam keadaan lemah, yaitu: “maka bertakwalah kepada Allah dan katakanlah perkataan yang tepat.”(ujung ayat 9).
Lebih dahulu ingatlah dan janganlah hendaknya sampai waktu engkau meninggal dunia, anak-anakmu terlantar. Janganlah sampai anak-anak yatim kelak menjadi anak-anak melarat. Sebab itu bertakwalah kepada Allah, takutlah kepada Tuhan, ketika engkau mengatur wasiat, jangan sampai karena engkau hendak menolong orang lain, anakmu sendiri emgkau terlantarkan. Dan didalam mengatur wasiat itu hendaklah memakai kata yang terang, jelas dan jitu, tidak menimbulkan keraguan bagi orang-orang yang ditinggalkan.
Akhirnya diperingatkan sekali lagi tentang harta anak yatim untuk menjadi peringatan bagi seluruh masyarakat muslimin. Baik wali pengasuh anak itu, ataupun kekuasaan Negara yang akan menjadi pengawas keamanan umum. Demikianlah Firman Tuhan.[4]

c.       Tafsir Al-Misbah
Setelah menjelaskan yang wajib menyangkut harta warisan, ditetapkan-nya dalam ayat ini yang dianjurkan. Memang, bukanlah sesuatu yang dipuji, bila ada yang hadir atau mengetahui adanya pembagian rezeki, lalu yang hadir dan mengetahui itu tidak diberi, apalagi jika diketahui oleh yang mendapat bagian itu bahwa mereka  adalah kerabat dan kaum lemah yang membutuhkan uluran tangan. Karena itu, sebelum menguraikan bagian masing-masing, kedua ayat diatas mengingatkan dua hal pokok. Pertama adalah apabila sewaktu pembagian itu hadir, yakni diketahui oleh kerabat yang tidak berhak mendapat warisan baik mereka dewasa maupun anak-anak, atau hadir anak yatim dan orang miskin, baik mereka kerabat ataupun bukan, bahkan mereka hadir atau tidak selama diketahui oleh yang menerima adanya orang-orang yang butuh, maka berilah mereka sebagian, yakni walau sekedarnya dari harta itu, dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang baik, yang menghibur hati mereka, karena sedikitnya yang diberikan kepada mereka atau bahkan karena tidak ada yang dapat diberikan kepada mereka.
Hal kedua yang diingatkan adalah kepada mereka yang berada di sekeliling para pemilik harta yang sedang menderita sakit. Mereka sering kali memberi aneka nasihat kepada pemilik harta yang sakit itu, agar yang sakit itu mewasiatkan kepada orang-orang tertentu sebagian dari harta yang akan ditinggalkannya, sehingga akhirnya anak-anaknya sendiri terbengkalai. Kepada mereka itu ayat 9 diatas berpesan : Dan hendaklah orang-orang yang memberi aneka nasihat kepada pemilik harta, agar membagikan hartanya kepada orang lain sehingga anak-anaknya terbengkalai, hendaklah mereka membayangkan seandainya mereka akan meninggalkan dibelakang mereka, yakni setelah kematian mereka anak-anak yang lemah, karena masih kecil atau tidak memiliki harta, yang mereka khawatir terhadap kesejahteraan atau penganiayaan atas mereka, yakni anak-anak lemah itu. Apakah jika keadaan serupa mereka alami, mereka akan menerima nasihat-nasihat seperti yang mereka berikan itu? Tentu saja tidak! Karena itu – hendaklah mereka takut kepada Allah kalau keadaan anak-anak mereka dimasa depan. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dengan mengindahkan sekuat kemampuan perintahNya dan menjauhi laranganNya dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar lagi tepat.
Seperti terbaca diatas, ayat ini ditujukan kepada yang berada disekeliling seorang yang sakit dan diduga akan segera meninggal. Pendapat ini adalah pilihan banyak pakar tafsir, seperti Ath-Thabari, Fakhruddin Ar Razi dan lain-lain. Ada juga yang memahaminya ssebagi ditunjukan kepada mereka yang menjadi wali anak-anak yatim, agar memperlakukan anak-anak yatim itu, seperti perlakuan yang mereka harapkan kepada anak-anaknya yang lemah bila kelak para wali itu meninggal dunia. Pendapat ini menurut Ibn-Katsir didukung pula oleh ayat berikut yang mengandung ancaman kepada mereka yang menggunakan harta anak yatim secara aniaya.
Muhammad Sayyid Thanthawi berpendapat bahwa ayat diatas ditunjukan kepada semua pihak, siapapun, karena semua diperintahkan untuk berlaku adil, berucap yang benar dan tepat, dan semua khawatir akan mengalami apa yang digambarkan diatas.
Ayat yang memerintahkan pemberian sebagian warisan kepada kerabat dan orang-orang lemah, tidak harus dipertentangkan dengan ayat-ayat kewarisan, karena itu merupakan anjuran dan yang itu adalah hak yang tidak dapat dilebihkan atau dikurangi.
Kata sadidan, terdiri dari huruf sin dan dal yang menurut pakar bahasa Ibn Faris menunjuk kepada makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya. Ia juga berarti istiqamah/konsistensi. Kata ini juga digunakan untuk menunjuk kepada sasaran. Seorang yang menyampaikan sesuatu/ucapan yang benar dan mengena tepat pada sasarannya, dilukiskan dengan kata ini. Dengan demikian kata sadidan dalam ayat diatas, tidak sekedar berarti benar, sebagaimana terjemahan sementara penerjemah, tetapi ia juga harus berarti tepat sasaran. Dalam konteks ayat diatas keadaan sebagai anak-anak yatim pada hakikatnya berbeda dengan  anak-anak kandung dan menjadikan mereka lebih peka, sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih hati-hati dan kalimat-kalimat yang lebih terpilih, bukan saja yang kandunganya benar, tetapi juga yang tepat.sehingga kalau memberi informasi atau mengatur jangan sampai menimbulkan kekeruhan dalam hati mereka, tetapi teguran yang disampaikan hendaknya meluruskan kesalahan sekaligus membina mereka.
Pesan ayat ini berlaku umum, sehingga pesan-pesan agampun,jika bukan pada tempatnya,tidak diperkenanakan untuk disampaikan.” Apabila Anda berkata kepada teman Anda pada hari jum’at saat Imam berkhutbah Diamlah (dengarkan khutbah) maka anda telah melakukan sesuatu yang seharusnya tidak dilakukan.”(HR.KeEnam pengarang kitab standar hadist).
Tidak dibenarkan pula dalam arti makruh mengucapkan salam kepada siapa yang sedang berdzikir, belajar dan makan.
Dari kata sadidan yang mengandung makna meruntuhkan sesuatu kemudian memperbaikinya diperoleh pula petunjuk bahwa ucapan yang meruntuhkan jika disampaikan, harus pula dalam saat yang sama memperbaikinya dalam arti kritik yang disampaikan hendaknya merupakan kritik yang membangun, atau dalam arti informasi yang disampaikan harus mendidik.
Pesan Illahi diatas, didahului oleh ayat sebelumnya yang menekankan perlunya memilih (Qaulan Ma’rufan), yakni kalimat-kalimat yang baik sesuai dengan kebiasaan dalam masing-masing masyarakat, selama kalimat tersebut tidak bertentangan dengan nilai-nilai Illahi. Ayat ini mengamanahkan agar pesan hendaknya disampaikan dalam bahasa yang sesuai dengan adat kebiasaan yang baik menurut ukuran setiap masyarakat.
Ayat-ayat diatas dijadikan juga oleh sementara ulama sebagai bukti adanya dampak negatif dari perlakuan kepada anak yatim yang dapat terjadi dalam kehidupan dunia ini. Sebaliknya amal-amal saleh yang dilakukan seorang ayah dapat mengatar terpeliharanya harta dan peninggalan orang tua untuk anaknya yang telah menjadi yatim. Ini  diisyaratkan oleh firmanNya : “Adapun dinding rumah (yang hampir runtuh dan diperbaiki oleh hamba Allah bernama Musa As) maka ia adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan dibawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayah keduanya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu.”(QS.Al-Kahf [18]: 82). Demikian dampak positif yang dapat diraih dalam kehidupan dunia ini.[5]

d.      Tafsir Al Qurtubi
Dalam ayat ini dibahas dua masalah:
Pertama: Al Qurthubi mengatakan: keterangan tentang makna ayat ini telah dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muhammad bin Ka’ab Al Qurazhi, dari Abu Hurairah, dari Nabi SAW, beliau bersabda,
“Barangsiapa bersedekah dengan sebaik-baik sedekah maka ia akan selamat ketika melewati jembatan (Shirath) dan barangsiapa yang memenuhi kebutuhan seorang janda maka Allah akan mengganti hartanya.”
Pendapat lain : Kebanyakan ahli tafsir berpendapat bahwa ayat ini menjelaskan orang yang akan menghadapi sakaratul maut dan orang yang hadir pada saat itu berkata kepadanya, ‘Sesungguhnya Allah akan memberikan rizki kepada anakmu maka perhatikanlah dirimu, dan wasiatkan hartamu untuk disedekahkan dijalan Allah, bersedekahlah dan bebaskanlah budak sampai hartanya habis dan hal itu menghilangkan hak pewarisan, oleh karena itu mereka dilarang melakukannya’.
Seakan-akan ayat ini berpesan kepada mereka, ‘Sebagaimana kalian takut (akan keadaan) warisan dan keturunanmu sepeninggalmu, oleh karena itu hendaknya kalian juga takut terhadap warisan anak-anak yatim yang berada dalam pengawasan kalian, maka janganlah kalian menghambur-hamburkan hartanya’,”
Kedua  : Firman Alah:. و ليقو لو ا قو لا سد يد ا “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” As-Sadid bermakna perkataan yang adil dan benar, atau perintahkan orang yang sakit mengeluarkan sebagian hartanya untuk menunaikan kewajibannya (zakat), lalu ia boleh berwasiat kepada sebagian kerabatnya dengan takaran yang tidak membahayakan hak ahli waris yang paling kecilpun.[6]

3.      Aplikasi Dalam Kehidupan
Nilai-nilai yang terkandung dalam Surah An Nisa ayat 9, diantaranya:
1.      Bagi orang-orang yang beriman hendaklah bertakwa kepada Allah dan selalu berlindung dari hal-hal yang dimurkai disisi Allah.
2.      Mengharuskan setiap umat tidak meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah, tak berdaya dan tak memiliki daya saing dalam kompetensi kehidupan.
3.      Hak waris anak yatim harus ditunaikan secara baik.
4.      Meningkatkan kesadaran para pemuda untuk mengelola lingkungan dengan baik dan memiliki kemampuan, ketrampilan serta moral yang baik.
5.      Menjadi teladan yang baik dan bijak bagi generasi berikutnya.

4.       Aspek Tarbawi
a.       Agar umat Islam menyiapkan generasi penerus yang berkualitas sehingga anak mampu mengaktualisasikan potensinya sebagai bekal kehidupan di masa mendatang.
b.      Bagi umat Islam agar terus melahirkan umat yang berkualitas yang cinta kepada agamanya.
c.       Mengajarkan membaca Al-Qur’an kepada anak-anak sejak dini agar kelak mereka mempunyai pegangan hidup dan tidak terombang-ambing dan tidak juga meniru hal-hal yang bertentangan dan di haramkan oleh agamanya.






PROFIL PENULIS
Nama               : Rina Febriastuti
Anak pertama dari 2 bersaudara.
TTL                 : Pekalongan, 20 Februari 1996
Pendidikan      : TK Muslimat NU Ngalian Tirto Pekalongan
MIS Ngalian Tirto Pekalongan
Mts-IN Banyurip Ageng
MAS HIFAL Banyurip Alit
Masih menempuh S1 di IAIN Pekalongan
Alamat                        : Ngalian, RT:01 RW:01, Gang 8, Tirto Pekalongan.




[1]Moh. Rosyid, Pendidikan Life Skill, (Kudus: Kudus Press, 2007), hlm.123-124
[3] Ahmad Musthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz IV , (Semarang:PT Karya Toha Putra Semarang,1993), hlm 347


[4]Hamka, Tafsir Al Azhar Juz IV, (Jakarta: Pustaka Panjimas,2004), hlm 349-351

[5]M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an, (Tangerang:Lentera Hati, 2002), hlm 354-356

[6]Imam Abu Abdilah Muhammad bin Ahmad Al Qurthubi Al Andalusi, Al Jami’ Lil Ahkam Al-Qur’an,(Jakarta : Pustaka Azzam,2008) hlm 127-133

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel