MAKALAH GEZAG (KEWIBAWAAN)
GEZAG (KEWIBAWAAN)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan bukan sekedar mengajarkan atau mentransfer pengetahuan, atau semata mengembangkan aspek intelektual, melainkan juga untuk mengembangkan karakter, moral, nilai-nilai dan budaya serta didik. Dengan kata lain, pendidikan adalah membangun budaya, membangun peradaban, membangun masa depan bangsa. Karena itu, untuk meningkatkan harkat dan martabat sebuah bangsa pada era global ini, tidak ada jalan lain kecualidengan meningkatkan kualitas pendidikan
Dengan meningkatkan kualitas pendidikan maka akan tercipta kesatuan utuh dalam rencana dan gerak langkah pembangunan bangsa di masa depan. Sebab, kualitas pendidikan sangat menentukan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Kualitas pendidikan mesti bersandar pada segenap aspek yang terdapat dalam diri manusia atau warga negara. Dan yang penting disadari ialah bahwa pendidikan merupakan sebuah proses, sesuatu yang terus diperjuangkan perbaikan dan kemajuannya. Meminjam ungkapan Mendiknas, pendidikan Indonesia adalah sebuah proses pembentukan manusia Indonesia seutuhnya, yang setidaknya akan termanifestasikan dalam tiga hal, penguasaan iptek (ilmu pengetahuan dan ).
Berbicara tentang pendidikan, kita tidak bisa lepas dari pada tenaga pendidik itu sendiri. Agar bisa menjadi tenaga pendidik yang baik dan profesional. Di samping mempunyai atau memiliki ilmu dan seni dalam mendidik, seorang pendidik itu harus memiliki wibawa (gezag). Di dalam makalah ini penulis akan membahas tentang wibwa di dalam pendidikan.
B. Tema dan Judul
Tema : Ketrampilan dasar mengajar
Judul : Gezag (Kewibawaan).
C. Arti penting dikaji
Makalah ini penting dikaji karena dengan jiwa kewibaannya para pendidik nantinya bisa untuk mengarahkan peserta didik kearah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankannya juga. Selain itu juga bisa membuat peserta didik kita nurut dan patuh dengan apa saja yang kita perintahkan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Gezag (kewibawaan)
Kewibawaan berasal dari kata wibawa yang berati kekuasaan. Secara istilah wibawa berarti pembawaan untuk dapat menguasai dan mempengaruhi dihormati orang lain melalui sikap dan tingkah laku yang mengandung kepemimpinan dan penuh daya tarik. Kewibawaan juga sering disebut gezag yang berasal dari kata zeggen yang berati berkata. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain berati dia mempunyai kewibawaan.[1]
Kewibawaan atau gezag adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan suka rela menjadi tunduk dan patuh kepadanya.[2]
Ciri utama seorang pendidik adalah adanya kewibawaan yang terpancar dari dirinya terhadap peserta didik, pendidik harus memiliki kewibawaan menhindari penggunaan kekuasaan lahir, yaitu kekuasaan yang semata-mata didasarkan kepada unsure kewenangan jabatan. Kewibawaan merupakan suatu pancaran batin yang dapat menimbulkan pada pihak lain sikap untuk mengakui, menerima, dan menuruti dengan penuh pengertian atas pengaruh tersebut.
Kewibawaan adalah suatu pengaruh yang diakui kebenaran dan kebesarannya, bukan sesuatu yang memaksa. Kewibawaan harus berbanding dengan ketidakberdayaan peserta didik, jika pendidik kemampuannya tidak berbeda dengan peserta didik, jika pendidik kemampuannya tidak berbeda dengan peserta didik, maka kewibawaan tersebut sukar ditegakan. Dengan demikian kewibawaan seorang pendidik akan diakui apabila pendidik mempunyai kemampuan lebih dari peserta didik baik sikap, pengetahuan dan ketrampilan.[3]
Bahwa kewibawaan itu termasuk alat pendidikan maka seorang guru harus memiliki kewibawaan, sebab dengan adanya kewibawaan proses belajar-mengajar akan terlaksana dengan baik, berdisiplin, tertib dan siswa mematuhi apa yang ditugaskan oleh guru.[4]
B. Fungsi Gezag (kewibawaan) Dalam Pendidikan
Ada dua sikap anak terhadap kewibawaan seorang guru, antara lain sebagai berikut :
1. Sikap menurut atau mengikuti, yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
2. Sikap tunduk atau patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak orang lain untuk menerima dirinya, dan dirinya merasa terikat untuk memenuhi perintah itu.
Pada sikap yang terakhir inilah tampak fungsi kewibawaan dalam pendidikan, yaitu membawa peserta didik kearah pertumbuhan yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankan juga. Dalam menggunakan kewibawaannya hendaknya guru :
1. Menggunakan kewibawaan didasarkan atas perkembangan peserta didik.
2. Menerapkan kewibawaannya didasari rasa kasih sayang kepada peserta didik
3. Kewibawaan digunakan untuk kepentingan peserta didik.
4. Kewibawaan hendaknya digunakan dalam suasana pergaulan antara guru dan peserta didik yang sehat.
Berkenaan dengan wibawa; guru harus memiliki kelebihan dalam merealisasikan nilai spiritual, emosional, moral, sosial dan intelektual dalam pribadinya, serta memiliki kelebihan dalam pemahaman ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni sesuai dengan bidang yang dikembangkan[5]
C. Macam-Macam Gezag (kewibawaan)
Di dalam kehidupan sehari-hari kita mengenal ada dua macam kewibawaan, yaitu :
1. Kewibawaan pemimpin/ kepala
Seperti kewibawaan pemimpin organisasi massa, kewibawaan guru, kewibawaan kepala sekolah dan sebagainya. Kewibawaan tersebut adalah karena jabatan atau kekuasaan.
2. Kewibawaan keistimewaan
Seperti kewibawaan seseorang yang mempunyai kelebihan atau keunggulan dibidang tertentu. Diantara kelebihan yang dapat menimbulkan kewibawaan seorang adalah :
a. Kelebihan dibidang ilmu pengetahuan, baik umum maupun agama
b. Kelebihan dibidang pengalaman, baik pengalaman hidup maupun pekerjaan
c. Kelebihan dibidang kepribadian, baik dibidang akhlaq maupun sosial
d. Kelebihan dibidang harta, baik harta tetap maupun harta berpindah
e. Kelebihan dibidang keturunan yang mewarisi leluhurnya.
Tingkat pengakuan terhadap kewibawaan ada dua tingkat, yaitu :
1. Pengakuan kewibawaan pasif
Seperti anak mengikuti anjuran pada saat ada si pengajar, anak memandang norma-norma yang disampaikan menyatu dengan yang menyampaikan. Norma-norma itu dianggap berlaku apabila pribadi yang menyampaikan norma itu ada dan bila pribadi yang menyampaikan tidak ada maka norma itu dianggap sudah tidak berlaku lagi.
2. Pengakuan kewibawaan yang aktif
Seperti mengikuti anjuran si pengajar dengan penuh kesadaran, baik si pengajar itu ada ataupun pengajar itu tidak ada mereka tetap melaksanakan norma tersebut karena sadar akan kebaikan jika ditaati.[6]
D. Hubungan Kewibawaan dengan Peserta Didik
1. Awal penerimaan kewibawaan oleh anak
Kewibawaan itu menentukan pembentukan perlakuan yang harus diikuti, menghalangi atau menolak yang tidak dikehendaki. Seandainya hal terakhir ini hanya dapat dilakukan dengan pembuktian atau atas dasar keterikatan pada pribadi pendidik bataupun dengan paksaan, maka si anak akan tetap tak terdidik. Sebab itu kewibawaan merupakan syarat mutlak untuk mendidik.
Dalam arti sempit pendidikan itu dimulai setelah anak menghayati kewibawaan pendidik, seperti dikatakan oleh Langeveld (1980), bahwa pendidikan itu baru dapat dimulai apabila anak sudah mengakui atau menghayati kewibawaan orang tua atau pendidiknya, dan anak dapat mengakui kewibawaan pendidiknya, apabila anak sudah memahami (mengerti) bahasa. Anak baru dipandanf mengerti bahasa apabila anak sudah berumur 3 tahun.
Oleh karena itu Langeveld berpendapat, bahwa pendidikan anak yang sesungguhnya baru dimulai pada umur 3 tahun. Kalau ada usaha pendidikan yang dilakukan pada anak yang belum berumur 3 tahun, ini disebut dengan pendidikan pendahuluan. Dalam pendidikan pendahuluan ini karena anak belum mengenal dan mengakui kewibawaan maka boleh menggunakan rasa takut atau peringatan agar anak didik mau menuruti apa yang dikehendaki pendidik atau dilarang oleh pendidik.
2. Kewibawaan dan penerimaan oleh anak
Kalau anak sudah mengakui kewibawaan pendidik, maka dapatlah dimulai pendidikan yang sesungguhnya, anak mulai dapat dikenalkan dengan norma yang sesungguhnya. Anak bukan sekedar harus berbuat yang sesuai dengan norma secara paksa tanpa mengetahui normanya, melainkan norma itu sendiri yang diperkenalkan kepada anak didik. Kepada anak didik diperkenalkan mana perbuatan yang baik dan mana perbuatan yang buruk, dengan contoh, larangan, nasihat, dongeng, teladan dan lain sebagainya.
Agar anak mengikuti norma tertentu, maka pendidiklah yang harus pertama kali menjadi perwujudan dalam dirinya dari norma tersebut (ibda’ binafsi) untuk mengajarkan pengetahuan pendidik terlebih dahulu berpengetahuan, untuk mendidik moral maka pendidik harus bermoral terlebih dahulu. Bagi pendidik harus ada kesesuaian antara perkataan dengan perbuatan, seperti firman Allah swt “ hai orang-orang yang beriman mengapa kamu katakana sesuatu padahal kamu tidak melakukannya, besar sekali murka disisi Allah swt bagi orang yang mengatakan sesuatu padahal ia sendiri tidak melakukannya” (QS. As-Shaf:2-3). [7]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Kewibawaan atau gezag adalah suatu daya mempengaruhi yang terdapat pada seseorang, sehingga orang lain yang berhadapan dengan dia secara sadar dan suka rela menjadi tunduk dan patuh kepadanya
Fungsi kewibawaan yaitu membawa peserta didik kearah pertumbuhan yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankan juga
Macam-macam gezag (kewibawaan) yaitu kewibawaan pemimpin dan kewibawaan keistimewaan
Tingkat pengakuan terhadap kewibawaan ada dua tingkat, yaitu tingkat pengakuan pasif dan tingkat pengakuan aktif
Hubungan kewibawaan dengan peserta didik yaitu awal penerimaan kewibawaan oleh anak dan kewibawaan dan penerimaan oleh anak.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu. 2015. Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT. Rineka Cipta
Mulyasa. 2006. Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan Cet ke-6. Bandung: PT Remaja Rosyakarya
Naim, Ngainin. 2009. Menjadi Guru Inspiratif Memberdayakan Jalan Siswa, Cet ke-1. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Sadullah, Uyoh Dkk. 2010. Pedagogik. Bandung: Alfabeta
Wijaya, Novan Ardy dan Barnawi. 2012. Ilmu Pendidikan Islam. Jogjakarta: Ar-ruz Media
[1]Novan Ardy Wijaya dan Barnawi, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jogjakarta: Ar-ruz Media, 2012), hlm, 115
[2] Abu Ahmadi, Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2015), hlm 58
[3] Uyoh Sadullah Dkk, Pedagogik, (Bandung: Alfabeta,2010), hlm 165-167
[4]Ngainin Naim, Menjadi Guru Inspiratif Memberdayakan Jalan Siswa, Cet ke-1, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hlm 44
[5]Mulyasa, Menjadi Guru Profesional Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan Cet ke-6, ( Bandung: PT Remaja Rosyakarya, 2006), hlm 37
[6]Abu Ahmadi, Op, Cit, hlm 159-160
[7]Uyoh Sadullah, Op, Cit, hlm 167-170