Makalah QS. AL-ISRA’ (17) : 36 “JANGAN MENGIKUT TANPA DASAR ILMU”
PENDIDIKAN ILMIAH INTELEKTUAL
“JANGAN MENGIKUT TANPA DASAR ILMU”
(QS. AL-ISRA’ (17) : 36)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu masalah besar umat manusia, baik dilingkup keluarga maupun masyarakat ialah menghukumi suatu hal secara gegabah, berprasangka secara subjektif, dan gampang mempercayai suatu hal tanpa landasan dalil yang kuat dan pengetahuan yang obyektif. Betapa sering kita melakukan tudingan tanpa bukti dan hanya berlandaskan kecurigaan dan prasangka buruk. Tentu saja obyektifitas apa yang kita lihat lebih berharga dari apa yang kita dengar. Namun begitu, hal itu pun memerlukan analisa mendalam dan bukan sekedar melihat secara lahiriah sepintas.
Sayangnya, hingga kini masih banyak orang-orang yang melakukan tindakan licik semacam tadi. Orang-orang yang lalai dan kurang waspada pun kerap menjadi korban konspirasi mereka. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dan sigap dalam menyikapi beragam isu dan informasi. Dalam al-Qur’an surat al-Isra’ ayat 36 ini kita diingatkan bahwa apa yang kita dengar dan lihat belum tentu menghasilkan ilmu yang benar. Namun jika kita yakin bahwa apa yang kita dengar dan lihat dapat dipertanggungjawabkan, maka kita pun harus bertindak sesuai dengan apa yang kita ketahui dan yakini. Sejatinya manusia tidak hanya bertanggungjawab atas apa yang ia lihat dan dengar, tetapi juga terhadap segala hal yang terlintas di benak dan hatinya. Sebab meski kita tidak mengucapkannya secara lisan, namun betapa sering kita berprasangka buruk dalam hati dan pikiran terhadap orang lain sehingga turut mempengaruhi perilaku dan tindakan kita. Padahal hal itu hanya sekedar sangkaan tanpa dalil dan bukti.
B. Nash dan Terjemahan QS. Al-Isra’ (17): 36
وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسْئُُٔوْلٗا
Artinya: “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.”
C. Arti Penting untuk Dikaji
Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 36 ini menerangkan tentang larangan untuk mengikuti persoalan apapun yang tidak diketahui tanpa dasar ilmu. Sebab pendengaran, penglihatan dan hati akan dimintai pertanggngjawabannya oleh Allah kelak.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
Menurut Quraish Shihab, kata ilmu dalam berbagai bentuk terdapat 845 kali dalam al-Qur’an. Kata ini digunakan dalam proses pencapaian tujuan. Ilmu dari segi bahasa berarti kejelasan. Jadi ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Perintah al-Qur’an untuk mencari ilmu dapat dipahami dari beberapa aspek, diantaranya al-Qur’an menyuruh manusia untuk menggunakan akalnya dan juga untuk meneliti alam semesta.
Cara memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pendengaran, penglihatan dan melalui akal. Dengan menggunakan potensi yang diberikan Allah tersebut manusia dapat menemukan, mendapatkan dan memahami berbagai ilmu pengetahuan. Di samping itu ada pula pengetahuan yang dapat diperoleh melalui hidayah dari Allah, seperti firasat, intuisi dan semacamnya dapat diraih dengan penyucian hati (tazkiyatun nafs), karena hidayah Allah tidak akan sampai kepada manusia, jika kesucian hatinya belum tercapai.
Melalui cara diatas, berkembanglah ilmu keislaman dari masa ke masa. Al-Qur’an sebagai kumpulan wahyu merupakan sumber pengetahuan utama dalam Islam yang dapat digali sepanjang masa, ditambah lagi dengan hadis-hadis Nabi yang didalamnya terdapat prinsip-prinsip dasar berbagai cabang ilmu pengetahuan.
Adapun fungsi ilmu pengetahuan secara umum adalah untuk berubudiyah kepada Allah, untuk dapat membedakan yang hak dan yang bathil, sebagai modal untuk mencapai kebenaran dan kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat.[1]Al-Qur’an sangat mengedepankan kebenaran intelektual, yakni kebenaran yang didasarkan atas pendengaran, penglihatan dan hati atau akal secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini diperlukan pendidikan intelektual.[2]
B. Tafsir
1. Tafsir al-Mishbah
Tuntunan diatas merupakan tuntunan universal. Nurani manusia, dimana dan kapan pun pasti menilainya baik dan menilai lawannya merupakan sesuatu yang buruk, enggan diterima oleh siapa pun. Karena itu dengan menggunakan bentuk tunggal agar mencakup setiap orang sebagaimana nilai-nilai diatas diakui oleh nurani setiap orang, ayat ini memerintahkan: Lakukan apa yang telah Allah perintahkan diatas dan hindari apa yang tidak sejalan dengannya dan janganlah engkau mengikuti apa-apa yang tiada bagimu pengetahuan tentangnya. Jangan berucap tentang apa yang tidak kau ketahui, jangan mengaku tahu apa yang engkau taj tahu atau mengaku mendengar apa yang engkau tidak dengar. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, yang merupakanalat-alat pengetahuan semua itu yakni alat-alat itu masing-masing tentangnya akan ditanyaitentang bagaimana pemiliknya akan dituntut mempertanggungjawabkan bagaimana ia menggunakannya.
Dari satu sisi tuntunan ayat ini mencegah sekian banyak keburukan, seperti tuduhan, sangka buruk, kebohongan dan kesaksian palsu. Di sisi lain ia memberi tuntunan untuk menggunakan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat-alat untuk meraih pengetahuan.
Sayyid Quthub berkomentar bahwa ayat ini dengan kalimat-kalimatnya yang sedemikian singkat telah menegakkan suatu sistem yang sempurna bagi hati dan akal, mencakup metode ilmiah yang baru saja dikenal oleh umat manusia, bahkan ayat ini menambah sesuatu yang berkaitan dengan hati manusia dan pengawasan Allah swt. tambahan dan penekanan ini merupakan keistimewaan Islam dibanding dengan metode-metode penggunaan nalar yang dikenal selama ini dan yang sangat gersang itu.
Kehati-hatian dan upaya pembuktian terhadap semua berita, semua fenomena, semua gerak,-sebelum memutuskan- itulah ajakan al-Qur’an, serta metode yang sangat teliti dari ajaran Islam. apabila akal dan hati telah konsisten menerapkan metode ini, maka tidak akan ada lagi tempat bagi waham dan khurafat dalam akidah, tidak ada juga wadah bagi dugaan atau perkiraan dalam bidang ketetapan hukum dan interaksi., tidak juga hipotesa atau perkiraan yang rapuh dalam bidang penelitian, eksperimen dan ilmu pengetahuan. Amanah ‘ilmiyah yang didengungkan di abad modern ini, tidak lain kecuali sebagian dari Amanah aqliyah dan qalbiyah yang dikumandangkan tanggung jawabnya oleh al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia bertanggung jawab terhadap kerja pendengaran, penglihatan dan hatinya, dan bertanggung jawab kepada Allah yang menganugerahkan pendengaran, mata dan hati. Ayat ini menegaskan bahwa manusia pun akan dituntut mempertanggungjawabkan kerja al-fuad/hatinya. Para ulama menggarisbawahi bahwa apa-apa yang tersirat dalam hati, bermacam-macam dan bertingkat-tingkat. Ada yang dinamai (ها جس) hajis yaitu sesuatu yang terlintas dalam pikiran secara spontan dan berakhir seketika. Selanjutnya (خا طر) khathir, yakni yang terlintas sejenak kemudian terhenti; tingkat ketiga adalah apa yang dinamai (حديث نفس) hadits nafs, yakni bisikan-bisikan hati yang dari saat ke saat muncul dan bergejolak. Peringkat yang lebih tinggi adalah (همّ) hamm, yaitu kehendak melakukan sesuatu sambil memikirkan cara-cara pencapaiannya, dan yang terakhir sebelum melangkah mwujudkan kegiatan adalah (عزم) ‘azm, yakni kebulatan tekad setelah rampungnya seluruh proses hamm dan dimulainya langkah awal bagi pelaksanaan. Yang dituntut kelak adalah ‘azm itu, sedang semua yang ada dalam hati dan belum mencapai tingkat ‘azm ditoleransi oleh Allah swt.[3]
2. Tafsir al-Maraghi
(وَلَا تَقۡفُ مَا لَيۡسَ لَكَ بِهِۦ عِلۡمٌۚ)
Dan janganlah kamu bersikap mengeluarkan perkataan atau perbuatan yang kamu tidak tahu.
Kata-kata ini merupakan undang-undang yang mencakup banyak persoalan kehidupan. Dan oleh karenanya, mengenai kata-kata ini para penafsir mengeluarkan beberapa pendapat:
a. Ibnu Abbas mengatakan: janganlah kamu menjadi saksi kecuali atas sesuatu yang diketahui oleh kedua matamu, didengar oleh kedua telingamu dan dipahami oleh hatinmu.
b. Qatadah mengatakan pula: janganlah kamu mengatakan “Saya telah mendengar,” padahal kamu belum pernah mendengar, atau “Saya telah melihat,” padahal kamu tak pernah melihat, atau “Saya telah mengetahui,” padahal kamu belum tahu.
c. Dan ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud ialah melarang berkata-kata tanpa ilmu, tapi hanya persangkaan dan waham belaka. Kecuali ada dalil yang membolehkan pengamalannya, yakni manakala tidak ada satu dalil dalam al-Qur’an maupun al-Hadis.
d. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa yang dimaksud adalah melarang orang-orang musyrik dari kepercayaan-kepercayaan mereka yang didasar pada taqlid kepada nenek moyang dan hanya mengikuti hawa nafsu belaka.
Kemudian Allah SWT, menyebutkan pula, apa alasan dari larangan tersebut, seraya firman-Nya:
(إِنَّ ٱلسَّمۡعَ وَٱلۡبَصَرَ وَٱلۡفُؤَادَ كُلُّ أُوْلَٰٓئِكَ كَانَ عَنۡهُ مَسْئُُٔوْلٗا)
Sesungguhnya Allah pasti menanyakan pendengaran, penglihatan dan hati tentang apa yang dilakukan oleh pemiliknya, sebagaimana Allah Ta’ala firmankan:“Pada hari (ketika) lidah, tangan dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.” (An-Nur: 24).[4]
3. Tafsir Ibnu Katsir
“Dan janganlah kamu mengikuti,” yakni janganlah kamu mengatakan “apa yang kamu tidak mengetahui pengetahuan tentangnya”. maksudnya, janganlah kamu mengatakan, “Aku telah melihat,” padahal kamu tidak melihat, “Aku mendengar,” padahal kamu tidak mendengar, dan “Aku tahu.” Padahal kamu tidak tahu, karena Allah Ta’ala akan menanyakan hal itu kepadamu. Firman Allah, “Semua itu,” yakni hal-hal yang berkenaan dengan pendengaran, penglihatan, dan hati “akan diminta pertanggungjawabannya”. Yakni seorang hamba akan ditanya mengenai hal itu pada hari kiamat, ditanya tentang dirinya dan perbuatannya.[5]
C. Impementasi dalam Kehidupan
Ayat ini termasuk sendi budi pekerti muslim yang hedak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah “menurut” saja, maksudnya tidak menyelidiki sebab dan musababnya. Orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain akan membuat orang tersebut tidak mempergunakan pertimbangan dirinya. Dalam hidup beragama sangat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan dan hati sebagai alat pertimbangan. Sebab terkadang dicampuradukkan antara amalan yang sunnah dan bid’ah. Bahkan kerapkali kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bid’ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu.[6]
D. Aspek Tarbawi
1. Perlunya kehati-hatian dalam menggunakan potensi manusia, terutama mata, telinga dan hati/pikiran dalam konteks meraih ilmu. Ia harus digunakan semaksimal mungkin di samping kewajiban menunaikan amanah ilmiah.[7]
2. Senantiasa mengembangkan diri kita dengan menuntut ilmu, agar memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
3. Seseorang tidak boleh mengikuti apa yang tidak diketahuinya.
4. Apa saja yang dilakukan oleh pendengaran, penglihatan dan hati kita akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Dalam Islam, mengikuti sesuatu, persoalan atau seseorang tanpa dasar ilmu itu tidak diperbolehkan. Sebab, apa pun yang kita lihat dengan mata, yang kita dengar dengan telinga serta yang kita sangka dalam hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawabannya oleh Allah kelak di akhirat. Al-Qur’an sangat mengedepankan kebenaran intelektual, yakni kebenaran yang didasarkan atas pendengaran, penglihatan dan hati atau akal secara integral. Maka untuk mendapatkan kebenaran intelektual ini diperlukan pendidikan intelektual. Bentuk dari pendidikan intelektual itu ialah menjadi insan yang berlimu. Ilmu pengetahuan sendiri merupakan pengetahuan yang jelas tentang sesuatu. Adapun cara memperoleh ilmu pengetahuan dapat dilakukan melalui pendengaran, penglihatan dan melalui akal, dapat pula melalui hidayah dari Allah.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al-Maraghi Juz XV. Semarang: PT. Karya Toha Putra.
Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir.Jakarta: Gema Insani Press.
Hamka. 1984. Tafsir Al-AzharJuz XV. Jakarta: Pustaka Panjimas.
Ramayulis & Samsul Nizar. 2009.Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Shuhab, M. Quraish. 2012. Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah- surah al-Qur’an. Tangerang: Lentera Hati.
Shihab, M. Quraish. 2004. Tafsir Al-Mishbah Volume 7. Jakarta: Lentera Hati.
[1] Ramayulis & Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009)., hlm. 75-79
[2]http://abufathirabbani.blogspot.co.id/2012/05/pendidikan intelektual.html diakses pada Jumat, 14 April 2017 pukul 19.00 WIB
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah Volume 7, (Jakarta: Lentera Hati, 2004)., hlm. 464-466
[4] Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz XV, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993)., hlm. 84-86
[5] Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir, (Jakarta: Gema Insani Press, 1999)., hlm. 59
[6] Hamka, Tafsir Al-AzharJuz XV, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1984)., hlm. 66
[7] M. Quraish Shihab, Al-Lubab, Makna, Tujuan dan Pelajaran dari Surah-surah al-Qur’an, (Tangerang: Lentera Hati, 2012)., hlm. 86