TT E K2 METODE PENDIDIKAN UNIVERSAL “Metode Dakwah”
METODE PENDIDIKAN UNIVERSAL
“Metode Dakwah”
QS. An-Nahl ayat 125
Wildan Maulana
NIM. (2117349)
Kelas E
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) PEKALONGAN
2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama dakwah. Artinya agama yang selalu mendorong pemeluknya untuk senantiasa aktif melakukan kegiatan dakwah. Dakwah merupakan aktivitas untuk mengajak manusia agar berbuat kebaikan dan melarang mereka dari perbuatan mungkar agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Tugas dakwah adalah tugas umat secara keseluruhan bukan hanya tugas kelompok tertentu umat Islam.Dalam tugas penyampaian dakwah Islamiyyah, seorang da’i sebagai subjek dakwah memerlukan seperangkat pengetahuan dan kecakapan dalam bidang metode. Dengan mengetahui metode dakwah, penyampaian dakwah dapat mengena sasaran, dan dakwah dapat diterima oleh mad’u (objek) dengan mudah karena penggunaan metode yang tepat sasaran. Seorang pendidik dalam menyampaikan materi perlu mempersiapkan metode karena sebaik apapun materinya jika tanpa adanya metode dalam menyampaikannya tidak mengena sasaran atau tidak mencapai tujuan yaitu membuat peserta didik menjadi paham
Rumusan Masalah
1. Apa hakikat metode dakwah ?
2. Apa dalil metode dakwah qur’ani ?
3. Bagaimana implementasi metode dakwah dalam pendidikan ?
B. Tujuan
1. Untuk mengetahui hakikat metode dakwah .
2. Untuk mengetahui dalil metode dakwah qur’ani.
3. Untuk mengetahui implementasi metode dakwah dalam pendidikan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Metode Dakwah
Secara etimologi, metode berasal dari bahasa Yunani “metodos” yang artinya cara atau jalan. Metode berarti cara yang telah diatur dan melalui proses pemikiran untuk mencapai suatu tujuan. Sedangkan arti dakwah menurut beberapa pandangan beberapa ilmuwan diantaranya sebagai berikut:
1. Pendapat Bakhial Khauli, dakwah adalah satu proses menghidupkan peraturan-peraturan Islam demgan maksud memindahkan umat dari satu keadaan kepada keadaan lain.
2. Pendapat Syaikh Ali Mahfudz, dakwah adalah mengajak manusia untuk mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk, menyuruh mereka berbuat baik dan melarang mereka dari perbuatan jelek agar mereka mendapat kebahagiaan di dunia dan akhirat. Pendapat ini juga selaras dengan pendapat Al-Ghazali bahwa amar ma’ruf nahi mungkar adalah inti gerakan dakwah dan penggerak dalam dinamika masyarakat Islam.
Jadi, metode dakwah adalah jalan atau cara untuk mencapai tujuan dakwah yang dilaksanakan secara efektif dan efisien.[1]
B. Dalil metode dakwah qur’ani
äí÷$#4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$# ( Oßgø9Ï»y_ur ÓÉL©9$$Î/ }Ïd ß`|¡ômr& 4 ¨bÎ) y7/u uqèd ÞOn=ôãr& `yJÎ/ ¨@|Ê `tã ¾Ï&Î#Î6y ( uqèdur ÞOn=ôãr& tûïÏtGôgßJø9$$Î/ ÇÊËÎÈ
Artinya : “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”
1. Tafsir Al-Lubab
Nabi Muhammad Saw yang diperintahkan untuk mengikuti Nabi Ibrahim As., sebagaimana terbaca pada ayat yang lalu, kini diperintahkan lagi untuk mengajak siapapun agar mengikuti pula prinsip-prinsip ajaran Nabi Ibrahim As itu. QS. An-Nahl Ayat 125 menyatakan: Serulah semua yang engkau sanggup seru agar menuju ke jalan yang ditunjukkan Tuhan, yakni ajaran Islam dengan hikmah dan pengajaran yang baik dan bantahlah siapapun yang menolak atau meragukan ajaran Islam dengan cara yang tebaik. Lebih jauh ayat ini mengingatkan agar tidak menghiraukan cemoohan atau tuduhan-tuduhan tidak berdasar kaum musyrik, dan hendaknya menyerahkan segala urusan kepada Allah karena Allah yang selalu membimbing dan berbuat baik. Dialah yang lebih mengetahui dari siapapun yang bejat jiwanya sehingga tersesat dari jalan-Nya dan Dia juga lebih mengetahui orang-orang yang sehat jiwanya sehingga mendapat petunjuk.[2]
2. Tafsir Al-azhar
Ayat ini adalah mengandung ajakan kepada Rasul saw. tentang cara melancarkan da’wah, atau seruan terhadap manusia agar mereka berjalan di atas jalan Allah (Sabilillah). Sabilillah, atau Shirathal Mustaqim, atau Ad-Dinul Haqqu, agama yang benar. Nabi saw. memegang tampuk kepemimpinan dalam melakukan dakwah hendaklah memakai tiga macam cara atua tiga tingkat cara. Pertama, Hikmah (kebijaksanaan), yaitu dengan secara bijaksana, akal budi yang mulia, dada yang lapang dan hati yang bersih menarik perhatian orang kepada agama, atau kepada kepercayaan terhadap kepercayaan Tuhan. Contoh-contoh kebijaksanaan itu selalu pula ditunjukkan Tuhan.
Yang kedua ialah Al-Mau’izhatul Hasanah, yang kita artikan pengajaran yang baik, atau pesan-pesan yang baik, yang disampakan sebagai nasihat. Sebagai pendidikan dan tuntunan sejak kecil. Sebab itu termasuklah kedalam bidang “Al-Mau’izhatul Hasanah”, pendidikan ayah-bunda dalam rumah-tangga kepada anak-anaknya, yang menunjukkan contoh beragama di hadapan anak-anaknya, sehingga menjadi kehidupan mereka pula. Termasuk juga pendidikan dan pengajaran dalam perguruan-perguruan.
Yang ketiga ialah “Jadilhum billati hiya ahsan”, bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Kalau terpaksa timbul perbantahan atau pertukaran fikiran, yang di zaman kita ini sudah tidak dapat dielakkan lagi, pilihlah jalan yang sebaik-baiknya. Diantaranya ialah memperbedakkan pokok soal yang tengah dibicarakan dengan perasaan benci atau sayang kepada pribadi orang yang tengah diajak berbantah. Misalnya seseorang yang masih kufur, belum mengerti ajaran Islam, lalu dengan sesuka hatinya saja mengeluarkan celaan kepada Islam, karena bodohnya. Orang ini wajib dibantah dengan jalan yang sebaik-baiknya, disadarkan dan diajak kepada jalan fikiran yang benar, sehingga dia menerima. Tetapi kalau terlebih dahulu hatinya disakitkan, karena cara kita membantah yang salah, mungkin dia enggan menerima kebenaran, meskipun hati kecilnya mengakui, karena hatinya telah disakitkan. Al-Qur’an sudah menegaskan bahwa dalam hal agama sekali-kali tidak ada paksaan (Al-Baqarah ayat 256). Dan diujung ayat ini dengan tegas Allah mengatakan bahwa urusan memberi orang petunjuk atau menyesatkan orang, adalah hak Allah sendiri.
3. Tafsir Ibnu Katsir
Allah berfirman menyuruh Rasul-Nya berseru kepada manusia mengajak mereka ke jalan Allah dengan hikmah kebijaksanaan dan nasihat serta anjuran yan baik. Dan jika orang-orang itu mengajak berdebat, maka bantahlah mereka dengan cara yang baik. Allah lebih mengetahui siapa yang durhaka tersesat dari jalanNya dan siapa yang bahagia berada di dalam jalan yang lurus yang ditunjukkan oleh Alah. Maka janganlah menjadi kecil hatimu, hai Muhammad, bila ada orang-orang yang tidak mau mengikutimu dan tetap berada dalam jalan yang sesat. Tugasmu hanyalah menyampaikan apa yang diwahyukan oleh Allah kepadamu dan memberi peringatan kepada mereka, sedang Allah lah yang akan menentukan dan memberi petunjuk, serta Dia-lah yang akan memminta pertanggungjawaban hamba-hambaNya kelak di hari kiamat.
4. Tafsir Al Maraghi
Dalam ayat-ayat terdahulu, Allah ta’ala menjelaskan kedustaan paham orang-orang musyrik dalam hal-hal berikut : menetapkan sekutu-sekutu dan dan tandingan-tandingan bagi Allah, mencela kenabian para nabi dan rasul seperti dengan mengatakan, “ sekiranya Allah hendak mengutus seorang rasul, tentu dia mengutus para malaikat,” menghalalkan perkara-perkara yang telah diharamkan Allah dan mengharamkan perkara-perkara yang telah dihalalkannya. kemudian dengan tegas dan tandas dia menolak keyakinan-keyakinan tersebut.
Akhirnya Allah menutup surat dengan hal-hal berikut. yaitu : menceritakan ibrahim, pemimpin ahli tauhid, yang orang-orang musyrik membaggakan diri dengannya dan menetapkan kewajiban menteladaninya, agar menjadi pendorong bagi mereka untuk bertauhid dan meninggalkan kemusyrikkan: menyuruh nabi-Nya Muhammad saw. untuk mengikuti jejaknya : menggariskan landasan dakwahnya, yaitu hikmah, pemberian pelajarn yang baik dan bantahan dengan cara yang baik, menyuruh beliau untuk bersikap lemah lembut dalam menjatuhkan jika beliau menjatuhkannya , atau tidak menjatuhkannya dan itu lebih utama bagi orang-orang yang bersabar, menyuruh beliau untuk menjadikan kesabaran sebagai penuntunnya didalam mengerjakan seluruh pekerjaannya, dan melarang beliau untuk bersedih hati karena kaumnya kafir, tidak menerima seruannya dan melakukan tipu daya terhadapnya. sesungguhnya Allah pasti menolong beliau atas mereka dan akan menghentikan penganiayaan mereka terhadapnya. sunnah Allah telah berjalan, bahwa kesudahan yang baik hanyalah bagi orang-orang yang bertaqwa, dan kehinaan akan diterima oleh orang-orang yang bermaksiat lagi berkhianat.[3]
Dari tafsir tersebut, jelaslah bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam tidaklah mewujudkan kekakuan, akan tetapi menunjukkan fleksibelitas yang tinggi. Ajakan dakwah tidak mengharuskan cepatnya keberhasilan dengan satu metode saja, melainkan dapat menggunankan bermacam-macam cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi mad’u sebagai objek dakwah. Dalam hal ini kemampuan masing-masing da’i sebagai subjek dakwah dalam menentukan penggunaan metode dakwah amat berpengaruh bagi keberhasilan suatu aktivitas dakwah.[4]
C. Implementasi metode dakwah dalam pendidikan
Dalam surat An-Nahl (lebah) ayat 125 ini, terdapat tiga prinsip dalam implementasi metode pembelajaran yaitu :
1. Al-Hikmah
Dalam bahasa Arab Al-hikmah artinya ilmu, keadilan, falsafah, kebijaksanaan, dan uraian yang benar. Al-hikmah berarti mengajak kepada jalan Allah dengan cara keadilan dan kebijaksanaan, selalu mempertimbangkan berbagai faktor dalam proses belajar mengajar, baik faktor subjek, obyek, sarana, media dan lingkungan pengajaran. Pertimbangan pemilihan metode dengan memperhatikan audiens atau peserta didik diperlukan kearifan agar tujuan pembelajaran tercapai dengan maksimal.
2. Mauidzah Hasanah
Ibnu Katsir menafsiri Al-mauidzah hasanah sebagai pemberian peringatan kepada manusia, mencegah dan menjauhi larangan sehingga dengan proses ini mereka akan mengingat kepada Allah. Jadi, dalam pndididakn kita harus memberi nasehat-nasehat dan wejangan kebaukan pada peserta didik.
3. Mujadalah
Mujadalah dalam konteks dakwah dan pendidikan diartikan dengan dialog, diskusi, atau berbantah-bantahan. Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata bahwa mujadalah ini adalah cara penyampaian melalui diskusi dengan wajah yang baik kalimat lemah lembut dalam berbicara
Termasuk dalam metode mujadalah yaitu metode diskusi. Diskusi memberikan peluang sebesar-besarnya kepada para siswa untuk mengeksplor pengetahuan yang dimilikinya kemudian dipadukan dengan pendapat siswa lain. Satu sisi mendewasakan pemikiran, menghormati pendapat orang lain, sadar bahwa ada pandapat di luar pendapatnya dan disisi lain siswa merasa dihargai sebagai individu yang memiliki potensi, kemampuan dan bakat bawaannya. Metode mujadalah lebih menekankan kepada pemberian dalil, argumentasi dan alasan yang kuat. Para siswa berusaha untuk menggali potensi yang dimilikinya untuk mencari alasan-alasan yang mendasar dan ilmiyah dalam setiap argumen diskusinya. Para guru hanya bertindak sebagai motivator, stimulator, fasilitator atau sebagai instruktur. Sistem ini lebih cenderung ke “Student Centre” yang menekankan aspek penghargaan terhadap perbedaan individu para peserta didik (individual differencies) bukan “Teacher Centre”.[5]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan mengenai surat An-Nahl ayat 125 diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa prinsip-prinsip dakwah Islam tidaklah mewujudkan kekakuan, akan tetapi menunjukkan fleksibelitas yang tinggi. Ajakan dakwah tidak mengharuskan cepatnya keberhasilan dengan satu metode saja, melainkan dapat menggunankan bermacam-macam cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi mad’u sebagai objek dakwah. Dalam hal ini kemampuan masing-masing da’i sebagai subjek dakwah dalam menentukan penggunaan metode dakwah amat berpengaruh bagi keberhasilan suatu aktivitas dakwah.
B. Saran
Demikianlah makalah ini kami susun. Kami menyadari dalam penulisaan makalah ini terdapat banyak kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun kami perlukan untuk menyempurnakan makalah ini dan makalah yang akan kami buat selanjutnya. Semoga bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
Al Maraghi, Ahmad Mustafa. 1993. Tafsir Al Maraghi Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang.
Amin, Samsul Munir. 2009. Ilmu Dakwah. Jakarta: Amzah.
Aziz, Ali Mohammad. 2004. Ilmu Dakwah Edisi Revisi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Saputra, Wahidin. 2011. Pengantar Ilmu Dakwah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Shihab, M Quraish. 2012. Al-Lubab. Tangerang: Lentera Hati.
[3]Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir Al Maragi (Semarang : PT Karya Toha Putra Semarang, 1993), hlm.284