Makalah Empati Sebagai Satu Warga Dunia
PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL
Empati Sebagai Satu Warga Dunia (QS. Al-Baqarah, 2: 156)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul QS. Al-Baqarah;2 ayat 156 tentang “PENDIDIKAN SOSIAL UNIVERSAL” (Empati Sebagai Satu Warga Dunia) ini dengan baik meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga saya berterima kasih pada Bapak Muhammad Hufron, M.S.I selaku Dosen mata kuliah Tafsir Tarbawi II yang telah memberikan tigas ini kepada saya.
Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai Empati sebagai Satu Warga Dunia. saya juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan saya memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
_______________, 28 April 2017
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia pada hakikatnya tidak akan terhindar dari ditimpanya cobaan atau ujian, maka kita harus siapkan diri untuk bisa bersikap sabar jika mendapati ujian keburukan. Dan apabila ujian itu berupa kebaikan maka harus senantiasa siap untuk bersyukur.Sesungguhnya kebenaran iman seseorang tidak akan tampak dengan jelas, kecuali ketika ia tertimpa suatu musibah, maka saat itulah akan terlihat secara jelas perbedaan orang yang sabar dan orang yang murka (terhadap musibah tersebut). Antara orang yang beriman dan orang yang ragu-ragu.Karena ujian dan cobaan ini tidak bisa kita hindari maka yang harus diatur/diperhatikan adalah bagaimana kondisi kita dalam menerima ujian.
Kondisi menerima ujian ada 2 macam, menerima dalam kondisi beriman dan menerima dalam kondisi tidak beriman. inilah yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya. hamba yang menerima dalam kondisi beriman tentu saja melewati ujian dengan baik, memohon bantuan kepada Allah SWT, dan mencari solusi sesuai dengan yang tertulis di Al-Qur’an dan Hadis. sedangkan hamba yang menerima ujian dalam kondisi tidak beriman menggunakan cara yang salah, tidak berserah diri pada Allah, atau bahkan mencari jalan ke jalan yang salah.
B. Judul
PENDIDIKAN SOSISL UNIVERSAL “Empati Sebagai Satu Warga Dunia”.
C. Nash dan Artinya
ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَٰبَتْهُم مُّصِيبَةٌ قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ ﴿١٥٦﴾
Artinya:
(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali).
D. Arti Penting Untuk Dikaji
Dalam konteks ini, mengapa sangat perlu dikaji mengenai Empati Sebagai Satu Warga Dunia dan penjelasannya telah ada dalam QS. Al-Baqarah ayat 156, Manusia dalam hidupnya seringkali diberi ujian dan cobaan oleh Allah SWT. Berhasil atau tidaknya dalam menghadapi cobaan tersebut tergantung kepada diri manusia itu sendiri. Tetapi Allah SWT telah memberikan petujuk kepada hamba-Nya dalam menghadapi cobaan yang ada yaitu dengan cara bersabar diri. Sehingga akan memperoleh kesuksesan dalam hidupnya baik di dunia maupun di akhirat.
Kebahagiaan, keuntungan, keselamatan dan semua macam cobaan yang lain hanya dapat dicapai dengan usaha secara tekun dan terus menerus dengan penuh kesabaran dan keteguhan hati. Sebab sabar ini merupakan asas untuk melakukan segala usaha dan tingkatan untuk merealisasikan segala cita-cita dan tujuan hidup.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Teori
1. Konsep Empati
Menurut KBBI, empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau kelompok lain.
Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.
Sedangkan Eileen R. dan Sylvina S menjelaskan bahwa empati adalah kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan dengan orang lain.
Menurut Bullmer, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti perasaan orang lain itu.
Dari berbagai definisi diatas dapat disimpulkan bahwa empati merupakan suatu aktivitas untuk memahami apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan orang lain, serta apa yang dipikirkan dan dirasakan yang bersangkutan ( observer, perceiver) terhadap kondisi yang sedang dialami orang lain, tanpa yang bersangkutan kehilangan kontrol dirinya.[1]
2. Pengertian Satu Warga Dunia / Kelompok Sosial
Kelompok sosial adalah himpunan atau kesatuan manusia yang hidup bersama. Hubungan ini menyangkut kaitan timbal balik yang saling pengaruh-mempengaruhi, kesadaran untuk saling menolong dan kesadaran saling membutuhkan satu sama lain. tidak setiap himpunan manusia dikatakan kelompok sosial (social group). Syarat-syarat untuk menjadi kelompok sosial adalah:
a. Setiap anggota kelompok harus sadar bahwa ia merupakan bagian dari kelompoknya.
b. Ada hubungan timbal balik antara anggota yang satu dengan anggota yang lain.
c. Ada faktor yang dimiliki bersama sehingga hubungan antar mereka bertambah erat.
d. Berstruktur, berkaidah dan mempunyai pola perilaku,
e. Bersistem dan berproses.[2]
B. Tarfsir
1. Tafsir Al-Misbah
Kami milik Allah. jika demikian, Dia melakukan Apa Saja sesuai dengan kehendak-Nya. Tetapi Allah Maha Bijaksana. Segala tindakan-Nya pasti benar dan baik. Tentu ada hikmah dibalik ujuian atau musibah itu. Dia Maha Pengasih, maha Penyayang, kami akan kembali kepada-Nya, sehingga ketika bertemu nanti, tentulah pertemuan itu adalah pertemuan dengan kasih sayang-Nya.
Kami adalah milik Allah. Bukan hanya saya sendiri. Yang menjadi miliknya, adalah kami semua yang juga merupakan makhluk-Nya. Jika kali ini petaka menimpa saya, maka bukan saya yang pertama ditimpa musibah, bukan juga yang terakhir. Makna ini akan meringankan beban pada saat menghadapi petaka, karena semakin banyak yang ditimpa petaka, semakin ringan ia dipikul.
Kalimat ini tidak dianjurkan Allah kecuali kepada Nabi Muhammmad saw. Seandainya Nabi Ya’qub mengetahuinya maka dia tidak akan berucap seperti ucapannya yang yang diabadikan Al-Qur’an: “ Aduhai duka citaku, terhadap yusuf ” (QS. Yusuf ;12 ayat 18). Demikian Said Ibn Jubair.
Yang mengucapkan kalimat ( وانّااليه رجعوناناللّه( Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un dengan menghayati makna-maknanya, antara lain seperti dikemukakan diatas. Mereka itulah yang mendapat banyak kebeekatan.
Keberkatan itu sempurna, banyak dan beraneka ragam, sebagaimana dipahami dari bentuk jamak yang digunakan ayat diatas; antara lain berupa limpahan pengampunan, pujian, mmenggantikan yang lebih baik dari pada nikmat sebelumnya yang telah hilang, dan lain-lain. Semua keberkatan itu bersumber dari TuhanYang Memelihara dan mendidik mereka, dan dengan demikian keberkatan itu dilimpahkan sesuai dengan pendidikan dan pemeliharaan-Nya.[3]
2. Al-Azhar
Setelah di ayat 153 tadi dinyatakan kepentingan sabar dan shalat, diayat ini diulang lagi bahaya-bahaya, percobaan dan derita yang akan mereka tempuh. Disebut pahitnya sebelum manisnya. Orang yang akan menempuh derita hendaklah sabar. Hanya dengan sabar semuanya itu akan dapat diatasi. Karena kehidupan itu tidaklah membeku demikian saja. Penderitaan dirasai dengan merata. Nabi Muhammad saw. sendiri dalam peperangan Uhud kehilangan pamannya yang dicintainya Hamzah bin Abdul Muthalib. Maka apabila mereka sabar menahan derita, selamatlah mereka sampai kelak ke seberang cita-cita. Tidak ada cita-cita yang tercapai dengan tidak memberikan pengorbanan. Berilah kabar kesukaan kepada mereka yang sabar itu.
“(yaitu) orang-orang yang apabila menimpa kepada mereka suatu musibah, mereka berkata;: sesungguhnya kita ini dari Allah, dan sesungguhnya kepada-Nyalah kita semua akan kembali.”
Ucapan yang begini mendalam, tidaklah akan keluar dari dalam lubuk hati kalau tidak menempuh latihan.
Kabar kesukaan apakah yang dijanjikan buat mereka?
“mereka itu, akan dikaruniakan atas mereka anugerah-anugerah dari Tuhan mereka, dan tahmat.”[4]
3. Tafsir Al- Maraghi
Ayat 156 menjelaskan, sampaikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar, yakni orang-orang yang mengatakan perkataan tersebut sebagai ungkapan rasa iman dengan kodrat dan kepastian Allah. Berita gembira tersebut adalah keberhasilan yang akan dicapai oleh orang-orang, sesuai dengan sunnatullah terhadap makhluk-Nya. Sabar, bukannya bertentangan dengan perasaan sedih ketika datang suatu musibah. Sebab, perasaan sedih ini merupakan perasaan halus yang ada secra fitri pada diri manusia normal.
Disebutkan didalam hadis shahih bahwa Nabi Muhammad saw. Pernah menangis ketika anak beliau yang bernama ibrahim menjelang ajal (sakratulmaut). Kemudian ada seseorang yang mengatakan,, “bukankah anda telah melarang kami berbuat demikian?” Nabi saw. Menjawab, “ini adalah rahmat (kasih sayang)”. Kemudian Nabi melanjutkan sabdanya,” sesungguhnya mata ini menangis dan hati ini ikut bersedih, dan kami tidak akan mengucapkan sesuatu kecuali yang mendapatkan ridha Tuhan kami. Dan sesungguhnya kami ini merasa sedih karena berpisah denganmu, wahai Ibrahim!”
Kesedihan yang tercela
Kesedihan yang tercela adalah kesedihan yang mendorong seseorang berbuat hal-hal yang tercela oleh akal sehat, dan dilarang oleh syari’at agama. Misalnya, banyak terjadi dikalangan masyarakat ketika ketika mereka ditimpa musibah, (seperti kematian anggota keluarga, lalu diratapi).
Imam muslim meriwayatkan sebuah hadis yang diterima dari Umu Salamah yang mengatakan, saya pernah mendengar Rasulullah bersabda:
مَامِنْ عَبْدِ تُسِبُهُ مُصِيْبَةٌ فَيَقُوْلُ : اِنَّ لِلّهِ وَاِنَّ اِلَيْهِ رَا جِعُوْنَ الّلهُمَّ اضجِرْفِى مُصِيْبَتِى وَاُخْلُفْ لِى خَيْرًامِنْهَا اِلاَّاَجْرَهُ اللّهُ فِى مُصِيْبَتَهِ, وَخَلَفَ لَهُ خَيْرًا مِنْهَا.
Musibah apapun yang menimpa seseorang hamba, hendakknya ia mengucapkan, “sesungguhnya kita ini kepunyaan Allah dan kita hanya akan kembali kepadaNya. Ya Allah, berilah hamba pahala atas musibah itu, dan gantilah dengan yang lebih baik. Maka Allah akan memberi pahala tasa musibah tersebut, dan Allah akan menggantikannya yang lebih baik...”
Imam baihaqi, didalam syu’abul imam (cabang-cabang iman) meriwayatkan sebuah hadis dari Abdullah ibnu abbas dari Nabi saw. Hadis tersebut menceritakan bahwa rasulullah saw. Bersabda
مَنْ اُسْتَرْ جَعَ عِنْدَالْمُصِيْبَةِ ,جَبَّرَااللّهُ مُصِيْبَتَهُوَاَحْسَنَ عَاقِبَتَهُ, وَجَعَلَ لَهُ خَلَفًا صَا لِحًا يَرْضَاهُ
Barang siapa yang mengucapkan istirja’(mengucapkan inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) ketika tertimpa musibah, Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik, dan Allah akan membalasnya dengan kebaikan, serta akan dianugerahi penerusnya (anaknya) yang shalehdan berbakti kepadanya.
Didalam firman Allah yang berbunyi innalillahi, menunjukkan pengakuan hamba terhadap Allah sebagai Tuhan yang disembah dan diagungkan. Dan didalam firman yang berbunyi, wa inna ilaihi raji’un, merupakan pengakuan hamba terhadap Allah, bahwa ia akan mati dan dibangkitkan kembali dari kubur. Juga merupakan ungkapan keyakinan seorang hamba, bahwa semua perkara itu kembalinya hanya kepada Allah.[5]
4. tafsir Al-Qurthubi
Ayat 156 ini menjelaskan tentang berbagai masalah:
Pertama: firman Allah مُصِيْبَةٌ, maknanya adalah segala apa yang diderita atau dirasakan oleh seorang mukmin. Dan kata مُصِيْبَةٌ , ini adalah bentuk tunggal,sedangkan bentuk jama’nya adalahالمصاعب . Musibah ini biasanya diucapkan jika seseorang mengalami malapetaka, walaupun malapetaka yang dirasakannya itu ringan atau tidak berat baginya. Kaata musibah ini juga sering dipakai untuk kejadian-kejadian yang buruk atau tidak dikehendaki.
Sebuah riwayat dari akramah menyebutkan, bahwa pada suatu malam lentera Rasulullah SAW mendadak padam, lalu Rasulullah SAW menyebut:
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ (sesungguhnya kami milik Allah dan kepadanya kami kembali), kemudian Rasulullah SAW dirtanya oleh seorang sahabat: “apakah ini termasuk salah satu musibah wahai Rasulullah?” kemudian beliau menjawab:”benar, setiap penderitaan yang dirasakan oleh seorang mukmin adalah sebuah musibah.”
Kedua: Ibnu Majah meriwayatkan sebuah hadis dalam kitab sunnahnya, yang sanadnya dari abu bakar bin abi syaibah, dari waki’ bin Al jirah....Ia berkata Rasulullah SAW bersabda jika salah seorang dari kamu pernah mengalami musibah , lali (pada suatu hari) ia teringat akan musibahnya itu dan berucap (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un) walaupun misibah itu sudah lama berlalu, namun Allah tetap akan memberikannyapahala, seperti pahala yanh diberikan ketika ia mendapatkan musibah tersebut.
Ketiga: yang termasuk musibah yang terberat adalah musibah dalam beragama. Abu Umar menyebutkan sebuah riwayat dari Al- firyabi ia mengatakan: fithr bin khalifah memberitahukan dari Atha’ bin Abi Rabah ia mengatakan: Rasulullah Saw bersabda: “ jika salah satu diantara kalian mengalami suatu musibah, maka bandingkanlah musibahnya dengan musibahku. Karena (musibah yang aku alami) adalah musibah yang terberat.
Keempat: firman Allah SWT: قَالُوٓا۟ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيْهِ رَٰجِعُونَ“mereka mengucapkan: inna lillahi wa inna ilahi raji’un.” Allah SWT telah menjadikan kalimat ini sebagai tempat bernung bagi orang mukmin yang tengah mengalami musibah, dan juga penjagaan bagi orang-orang yang sedang diuji. Karena dalam kalimat ini terdapat sekumpulan makna yang diberkati.
Kelima: Abu sinnan bercerita: ketika anakku sinnan meninggal dunia, Abu Thalhah Al Khaulani ikut serta mengantarkan jenazah anakku. Lalu tatkala aku hendak pulang, tanganku digamit olehnya, kemudian ia menghiburku dengan mengatakan. “wahai Abu sinnan, maukah engkau jika aku beritahukan sebuah kabar gembira? Aku penah diberitahukan oleh Adh-Dahak, dari Abu Musa bahwa Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
Jika salah seorang hamba ditinggal wafat oleh anaknya, maka Allah bertanya kepada malaikatnya: apakah kalian telah menyabut myawa anak dari hamba-ku? Para malaikat pun menjawabnya, kemudian Allah pertanya kembali: apakah kalian telah menyabut nyawa buah hati dari hamba-ku? Para malaikat pun menjawabnya, kebudian Allah bertanya: lalu apa yang dikatakan oleh hambaku, para malaikat pun menjawab: ia memuji-Mu bertahmid mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Kemudian Allah berfirman dirikanlah sebuah rumah untuk hamba-Ku itu didalam surga dan namakanlah rumah tersebut “rumah pujian.” [6]
C. Aplikasi Dalam Kehidupan
Kita sebagai makhluk sosial dalam kehidupan sehari-hari apabila ada tentangga atau teman yang sedang terkena musibah hindaknya kita memiliki sikap kesadaran untuk saling menolong dan kesadaran saling membantu satu sama lain. Dan menyampaikan bahwa Orang yang akan menempuh derita hendaklah sabar. Hanya dengan sabar semuanya itu akan dapat diatasi Dan memberikan kabar gembira kepada orang yang sedang terkena musibah, apabila mereka menghadapi musibah dengan sabar maka Allah berfirman dirikanlah sebuah rumah untuk hamba-Ku itu didalam surga dan namakanlah rumah tersebut “rumah pujian.
D. Aspek tarbawi
Aspek tarbawi pada surat Al-Baqarah ayat 156 adalah:
1. kesabaran adalah sumber kekuatan yang diberikan Allah untuk melewati berbagai macam ujian hidup. Dengan sabar, manusia tak gampang menyerah, putus asa dan berhenti bergerak untuk menuju tujuan hidup atau cita-citanya.
2. Sabar menghadapi segala macam musibah dan selalu bersyukur bila terhindar dari musibah. Hendaknya harus selalu memberi penilaian yang baik dengan landasan bahwa semua yang terjadi itu selalu ada hikmahnya. Di balik apa yang terjadi boleh jadi yang paling baik menurut Allah.
3. Orang yang diberi cobaan dan ujian harus senantiasa bersabar karena sabar merupakan kunci dari segala persoalan. Sifat sabar harus senantiasa melekat pada diri kita selama hidup di dunia. Orang sabar akan mendapatkan balasan pahala di sisi Allah SWT.
4. menghadapi musibah dengan sabar maka Allah berfirman dirikanlah sebuah rumah untuk hamba-Ku itu didalam surga dan namakanlah rumah tersebut “rumah pujian.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Manusia pada hakikatnya tidak akan terhindar dari ditimpanya cobaan atau ujian, maka kita harus siapkan diri untuk bisa bersikap sabar jika mendapati ujian keburukan. Dan apabila ujian itu berupa kebaikan maka harus senantiasa siap untuk bersyukur.Sesungguhnya kebenaran iman seseorang tidak akan tampak dengan jelas, kecuali ketika ia tertimpa suatu musibah, maka saat itulah akan terlihat secara jelas perbedaan orang yang sabar dan orang yang murka (terhadap musibah tersebut). Antara orang yang beriman dan orang yang ragu-ragu.Karena ujian dan cobaan ini tidak bisa kita hindari maka yang harus diatur/diperhatikan adalah bagaimana kondisi kita dalam menerima ujian.
sumber kekuatan yang diberikan Allah untuk melewati berbagai macam ujian hidup. Dengan sabar, manusia tak gampang menyerah, putus asa dan berhenti bergerak untuk menuju tujuan hidup atau cita-citanya. Dan apabila disekitar kita terdapat orang sedang terkena musibah hindaknya kita memiliki sikap kesadaran untuk saling menolong dan kesadaran saling membantu satu sama lain.
DAFTAR PUSTAKA
Taufik, 2012. Empati Pendekatan Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pres
Ismawati Esti, 2012. Ilmu Sosial Budaya Dasar. Yogyakaarta: Penerbit Ombak
Shihab M. Quraish, 2002. TAFSIR AL-MISBAH pesan kesan dan keserasian Al-Qur’an. Jakarta: Lentera Hati
Hamka, 2002. Tafsir Al-Azhar. Jakarta: Pustaka Panjimas
Al- Amraghi Ahmad mustafa, 1993. tafsir Al-Maraghi. semarang: PT. Karya Toha Putra
Al-Qurthubi Syaikh Imam, 2007. Tafsir Al-Qurthubi. Jakarta: Pustaka Azzam
[1] Taufik, Empati Pendekatan Psikologi Sosial, (Jakarta: Rajawali Pres, 2012) hlm. 40-43
[2] Esti Ismawati, Ilmu Sosial Budaya Dasar, (Yogyakaarta: Penerbit Ombak, 2012) hlm. 38
[3]M. Quraish shihab, TAFSIR AL-MISBAH pesan, kesan dan keserasian Al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002) hlm. 366-367
[4] Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 2002) hlm. 32-33
[5] Ahmad mustafa Al- Amraghi, tafsir Al-Maraghi, (semarang: PT. Karya Toha Putra, 1993) hlm. 39-40
[6] Syaikh Imam Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007) hlm. 411-415