MAKALAH HINDARI SIKAP SOMBONG DIMANAPUN QS.Al-Luqman Ayat 18

(Pendidikan Karakter Regelius)
HINDARI SIKAP SOMBONG DIMANAPUN
QS.Al-Luqman Ayat 18




KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah SWT, Atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga makalah ini yang berjudul “Hindari sikap sombong dimanapun” yang dijelaskan dalam Qs. Al-Luqma ayat 18 dapat  saya selesaikan. Sholawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada junjungan Nabi kita Nabi Muhammad Saw beserta keluarganya,dan sahabatnya.
Dalam penyusunan makalah ini penulis tak lupa mengucapkan terimah kasih kepada Bapak Muhammad Ghufron M.S.I selaku dosen pengampuh mata kuliah Tafsir Tarbawi yang telah memberikan ilmu pengetahuan serta motivasi-motivasi serta tak lupa kepada kedua orang tua saya yang telah memberikan dukungan dan doa yang menyertai dengan ikhlas, serta tidak ketinggalan pula teman-teman seperjuangan yang saya cintai.
Semoga makalah ini dapat dipergunakan untuk memperdalam pengetahuan dan memberikan manfaat khususnya bagi penulis dan umumnya bagi pembaca.  Makalah ini kami buat guna memenuhi tugas dari mata kuliah Tarsir Tarbawi.
            Dalam makalah ini kami menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Untuk itu kami sangat menerima dengan rendah hati apabila ada kritik dan saran guna membuat perbaikan di kemudian hari.



                                                                                                            ______________, 7 April 2017
                                                                       
                                                                                                                        Penulis







BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Sombong adalah keadaan seseorang yang merasa bangga dengan dirinya sendiri. Memandang dirinya lebih besar dari pada orang lain, kesombongan yang paling parah adalah sombong kepada Robbnya dengan menolak kebenaran dan angkuh untuk tunduk kepada-Nya baik berupa ketaatan ataupun mrngesakan-Nya. Sombong penyebab utama yang menjadikan pelakunya selalu memandang semua manusia lainnya dengan remeh serta menjadikan pelakunya melakukan perbuatan-perbuatan yang tidak wajar. Sifat ujub hanya pada jiwa-jiwa manusia yang kerdil dan timbul dari akal yang sempit dan dangkal. Karenanya, jika seseorang memliki kejernian akal dan fikiran yang luas, dia akan sadar bahwa derajat manusia dalam setiap keutamaan, baik yang bersifat batin maupun lahir tidak pernah memiliki batasan. Oleh karena itu, ketika seseorang telah dibukakan hati dan fikirannya pada setiap keutamaan yang telah dia raih, dia akan melihat pada derajat dan keutamaan orang-orang yang diatasnya, dia merasa bahwa keutamaan yang dimilikinya sangat minim dan akan mengakui bahwa sangat banyak kekurangan pada setiap kebaikan yang dilakukannya.
Kesombongan menjadi penghalang masuk surga karena ia menghalangi seseorang hamba dari semua akhlak yang seharusnya disanding oleh seorang mukmin sedangkan akhlak-akhlak itu merupakan pintu-pintunya. Orang yang didalam hatinya ada perangai seberat dzarrah maka ia tidaka akan masuk surga. Akhlak yang tercela itu saling berkaitan, sebagiannya pasti mengajak kepada sebagian lain. Seburuk-buruknya kesombongan adalah kesombongan yang menghalangi diri dari mendapatkan manfaat ilmu, menerima kebenaran, dan mengikuti kebenaran.
B.    Nash Al-Qur’an

وَلاَ تُصَعِّرْ خَّدَّ كَ للِنَّا سِ وَلاَ تَمْشِ فِي لْاَرْضِ مَرَ حًا  اِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ كُلِّ مُخْتَا لٍ فَحُو رٍ (18)
Artinya: Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak. Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri.
C.    Arti penting
Pada pembahasan surat Al-Luqman ayat 18 tentang pentingnya bagi kita untuk bersikap tawaduk dalam hidup. Secara fitrah manusia akan menyukai mereka yang bersikap tawadduk, meskipun ia mempunyai berbagai kelebihan dibandingkan dengan yang lainnya. Dan dengan sikap tawaduk ini pasti Allah Swt memberikan keutamaan pada kita posisi yang lebih tinggi. Dan kita berdoa kepada Allah Ta’ala semoga Allah menghiasi diri kita dengan berbagai akhlak mulia, diantaranya sikap tawaduk. Aamiin



























BAB II
PEMBAHASAN
A.    Teori
Etika secara umum dapat dibagi menjadi etika umum dan etika khusus. Etika umum berbicara mengenai kondisi-kondisi dasar bagaimana manusia bertindak secara etis, bagaimana manusia mengambil keputusan etis, teori-teori etika dan prinsip-prinsip moral dasar yang menjadi pegangan bagi manusia dalam bertindak serta tolak ukur dalam menilai baik atau buruknya suatu tindakan.
Etika khusus adalah penerapan prinsip-prinsip moral dasar dalam bidang kehidupan yang khusus. Etika khusus dibagi lagi menjadi dua yaitu etika individual dan etika sosial. Etika individual menyangkut kewajiban dan sikap manusia terhadap dirinya sendiri. Etika sosial berbicara mengenai kewajiban, sikap, dan moral perilaku manusia sebagai anggota umat manusia.
Etika sosial menyangkut hubungan manusia dengan manusia baik secara perorangan dan langsung maupun secara bersama dan dalam bentuk kelembagaan (keluarga, masyarakat, negara), sikap kritis terhadap pandangan-pandangan dunia dan ideologi, sikap dan pola perilaku dalam bidang kegiatan masing-masing, maupun tentang tanggung jawab manusia terhadap makhluk hidup lainnya. Serta alam semesta pada umumnya.
Tujuan dan fungsi dari etika sosial pada dasarnya adalah untuk menggugah kesadaran kita akan tanggung jawab kita sebagai manusia dalam kehidupan bersama dalam segala dimensinya. Etika sosial mau mengajak kita untuk tidak hanya melihat segala sesuatu dan bertindak dalam kerangka kepentingan kita saja, melainkan juga memperdulikan bersama yaitu kesejahteraan dan kebahagiaan bersama.[1]
Islam telah mengajak dan menganjurkan kepada kaum muslimin untuk menjalankan dan memegang pada akhlak-akhlak yang mulia. Yaitu akhlak yang berasaskan pada prinsip-prinsip kebaikan dan kebenaran, akhlak yang dapat membawa kebahagiaan bagi individu dan masyarakat di dunia dan akhirat.[2]
Nabi Saw bersabda,” Tidak ada yang lebih berat dalam timbangan manusia di hari kiamat daripada akhlak yang baik”.[3]
Tawaduk mempunyai dua arti: pertama, engkau tunduk dan menerima kebenaran dari siapapun. Kedua, berarti merendahkan sayap kepada manusia. Maksudnya, engkau ramah dan lembut saat bergaul dengan orang lain, siapapun dia.
Kebalikan tawaduk adalah sombong. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Menolak kebenaran artinya engkau tidak mau menerima kebenaran tersebut. Merendahkan manusia artinya engkau bersikap congkak kala menghadapi orang sederhana dan miskin. Kau anggap dirimu mulia hingga tidak mau menyapanya, tersenyum, dan bercakap dengan mereka. (merendahkan manusia juga berarti menzalimi orang lain dan tidak menunaikan hak mereka).
Keutamaan tawaduk antara lain:
a.      Orang yang tawaduk kepada Allah pasti Allah muliakan. Semakin tawaduk seseorang, ia semakin disukai.
b.     Siapa yang tawaduk satu derajat kepada Allah, Allah angkat ia satu derajat hingga mencapai surga tertinggi.
c.      Sungguh sikap tawaduk  yang mengagumkan, ia hadapi dengan sikap tawaduk yang lebih agung. Rendahkan sayapmu, pasti Allah merahmatimu.[4]

B.    Penafsiran
1.     Tafsir Al-Azhar
 “Dan janganlah engkau palingkan muka engkau dari manusia”. Ini adalah termasuk budi perkerti, sopan santun, akhlak yang tinggi. Yaitu kalau sedang bercakap berhadap-hadapan dengan seseorang, hadaplah muka engkau kepadanya. Menghadapkan muka adalah alamat dari menghadapkan hati. Denganlah dia bercakap, simakkan baik-baik. Kalau engkau bercakap dengan seseorang, padahal mukamu engkau hadapkan ke jurusan lain, akan tersinggunglah perasaannya. Dirinya tidak dihargai perkataannya tidak sempurna didengarkan.[5]
Dalam bersalam mula bertemu, apalagi bersalam dengan orang banyak berganti-ganti, ketika berjabat tangan itu, tengoklah matanya dengan gembira. Hatinya akan besar dan silahturahmi akan teguh. Apalagi kalau namanya tetap ingat dan disebut.
Ibnu Abbas menjelaskan tafsir ayat ini: “Janganlah takabbur dan memandang hina hamba Allah, dan jangan engkau palingkan muka engkau ke tempat lain ketika bercakap dengan dia.
Demikian juga penafsiran dari Ikrimah, Mujahid, Yasid bin al-Asham dan Said bin Jubair. “Dan janganlah berjalan di muka bumi dengan congkak”. Mengangkat diri, sombong, mentang-mentang kaya, mentang-mentang gagah, mentang-mentang dianggap orang jagoh, mentang-mentang berpangkat dan sebagainya. “Sesungguhnya Allah tidaklah menyukai tiap-tiap yang sombong membanggakan diri”. (ujung ayat 180).
Congkak, sombong, takabbur, membanggakan diri, semuanya itu menurut penyelidikan ilmu jiwa, terbitnya ialah dari sebab ada perasaan bahwa diri itu sebenarnya tidak begitu tinggi harganya. Di angkat-angkat ke atas, ditonjol-tonjolkan, karena di dalam lubuk jiwa terasa bahwa diri itu memang rendah atau tidak kelihatan. Dia hendak meminta perhatian orang. Sebab merasa tidak diperhatikan. Dikaji dari segi iman, nyatalah bahwa iman orang itu masih cacat.[6]
2.     Tafsir Ibnu Katsir
Firman Allah,”Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia”. Asal makna sha’ara ialah penyakit yang menimpah leher unta hingga kepalanya borok dan tegang. Lalu unta yang demikian diserupakan dengan orang sombong yang memalingkan wajahnya dari khalayak, tatkala dia berkata kepada mereka atau sebaliknya, karena memandang mereka hina dan karena kesombongannya. Sesunggunya Allah melarang berbuat demikian.[7]
Firman Allah,”Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh”. Yakni dengan congkak dan sombong. Janganlah kamu berbuat demikian. Allah akan memurkaimu. Karena itu, Dia berfirman, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membagakan diri”, yakni yang kagum kepada dirinya dan besar kepala atas orang lain. Penggalan ini seperti firman Allah Ta’ala,”Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya kamu tidak akan mampu menembus bumi dan mencapai setinggi gunung”. (Al-isra: 37)
Al-Hafizh ath-Tharbrani meriwayatkan dengan sanadnya yang sampai kepada Tsabit bin Qais bin Syamas, dia berkata:”Masalah kesombongan disebutkan di sisi Rasulullah, lalu beliau memeringatkan dengan keras seraya membaca ayat, “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membagakan diri”. Lalu ada seorang berkata,’Demi Allah. Wahai Rasululullah, jika aku mencuci bajuku maka kagumlah aku akan warnanya yang putih. Aku pun kagum terhadap bunyi sandalku dan gantungan cemetiku’. Beliau bersabda, ‘Yang demikian itu bukan sombong. Sombong ialah bila kamu melecehkan kebenaran dan menyepelekan manusia.[8]

3.     Tafsir Al-Misbah
Nasihat Luqman kali ini berkaitan dengan akhlak dan sopan santun berinteraksi dengans sesama manusia. Materi mempelajaran akidah, beliau selingi dengan materi pelajaran akhlak, bukan saja agar peserta didik tidak jenuh dengan satu materi, tetapi juga untuk mengisyaratkan bahwa ajaran akidah dan akhlak merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Beliau menasehati anaknya dengan berkata: Dan wahai anakku, di samping butir-butir nasihat yang lalu, janganlah engkau berkeras memalingkan pipimu yakni mukamu dari manusia siapapun dia didorong oleh penghinaan dan kesombongan. Teatpi tampillah kepada setiap orang dengan wajah berseri penuh rendah hati. Dan bila engkau melangkah, janganlah berjalan di muka bumi dengan angkuh, tetapi berjalanlah dengan lemah lembut penuh wibawa. Sesungguhnya Allah tidak menyukai yakni tidak melimpahkan anugerah kasih sayang-Nya kepada orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri. Dan bersikap sederhanalah dalam perjalanmu, yakni jangan membusungkan dada dan jangan juga merunduk bagaikan orang sakit. Jangan berlari-lari tergesa-gesa dan jangan juga sangat perlahan menghabiskan waktu. Dan lunakanlah suaramu hingga tidak terdengar kasar bagaikan teriakan keledai. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai karena awalnya siulan yang tidak menarik dan akhirnya tarikan nafas yang buruk.[9]
Kata (تصعّر) tusha’ir terambil dari kata ( الصّعر) ash-sha’ar yaitu penyakit yang menimpa unta dan menjadikan lehernya keseleo, sehingg memaksakan dia dan berupaya keras agar berpaling sehingga tekanan tidak tertuju kepada syaraf lehernya yang mengakibatkan rasa sakit. Dari kata inilah ayat diatas menggambarkan upaya keras dari seseorang untuk bersikap angkuh dan menghina orang lain. Memang sering kali penghinaan tercermin pada keengganan melihat siapa yang dihina.
Kata (فى الارض) fi al-ardh /di bumi disebut oleh ayat diatas, untuk mengisyaratkan bahwa asal kejadian manusia dari tanah, sehingga ia hendaknya jangan menyombongkan diri dan melangkah angkuh ditempat itu. Demikian kesan al-Biqa’i sedang ibn ‘Asyur memperoleh kesan bahwa bumi adalah tempat berjalan semua orang, yang kuat dan yang lemah, yang kaya dan yang miskin, penguasa dan rakyat jelata. Mereka semua sama sehingga tidak wajar bagi pejalan yang sama, menyombongkan diri dan merasa melebihi orang lain.
Kata (مختا لا ) mukhtalam terambil dari akar kata yang sama dengan ( خيال ) khayal. Karenanya kata ini pada mulanya berarti orang yang tingkah lakunya diarahkan oleh khayalannya, bukan oleh kenyataan yang ada pada dirinya. Biasanya orang semacam ini berjalan angkuh dan merasa dirinya memiliki kelebihan dibandingkan dengan orang lain. Dengan demikian, keangkuhannya tampak secara nyata dalam kesehariannya. Kuda dinamai (خيل ) khail karena jalanya mengesankan keangkuhan. Seseorang yang mukhtal membanggakan apa yang dimiliki, bahkan tidak jarang membanggakan apa yang pada hakikatnyatidak ia miliki. Dan inilah yang ditunjuk oleh kata ( فخو را ) fakhurun, yakni sering kali memanggakan diri. Memang kedua kata ini yaitu mukhtal dan fakhur mengandung makna kesombongan, kata yang pertama bermakna kesombongan yang tidak terlihat dalam tingkah laku, sedang yang kedua adalah kesombongan yang terdengar dari ucapan-ucapan. Di sisi lain, perlu dicatat bahwa menggabungkan kedua hal itu bukan berarti bahwa ketidaksenangan Allah abru lahir bila keduanya tergabung bersama-sama dalam diri seseorang. Tidak ! jika salah satu dari kedua sifat iu disandang manusia maka hal itu telah mengundang murka-Nya. Penggabungan keduanya pada ayat ini atau ayat-ayat yang lain hanya bermaksud menggambarkan bahwa salah satu keduanya sering kali bebarengan dengan yang lain.

C. Aplikasi Dalam Kehidupan
1.     Meningkatkan ibadah kepada Allah Swt.
2.     Meningkatkan keimanan dan ketakwaan.
3.     Mensyukuri segala nikmat Allah Swt.
4.      Menyadari segala kekurangan sebagai manusia.
5.     Menyadari bahwa hidup ini hanya sementara.
6.     Ikhlas melakukan kegiatan amal.
7.     Selalu berusaha menghormati dan menghargai orang lain.
8.     Menyadari bahwa segala kelebihan kita adalah karunia Allah Swt.
D. Aspek Tarbawi
1.     Kesombongan merupakan sikap yang sangat tidak terpuji, yang dapat berakibat bahwa diharamnya seseorang masuk ke dalam surga.
2.     Sombong menjadi sifat dan karakter iblis, yang oleh karenanya iblis dilaknat Allah Swt, serta diturunkan martabatnyamenjadi makhluk yang sangat hina dina.
3.     Hakekat kesombongan adalah seorang yang tidak mau menerima kebenaran dan sikap merendahkan orang lain, khususnya kebenaran yang bersumberkan pada hukum syariah dan ajaran islam.
4.     Masuk juga dalam kategori kesombongan adalah seseorang yang senantiasa merendahkan martabat dan derajat orang lain, serta merasa dirinya lebih baik, lebih pintar, lebih shaleh, lebih berprestasi dibandingkan dengan orang lain. Biasanya sifat sombong tercermin antara lain, dengan mudahnya si pelaku ini menghina, merendahkan, atau memalukan orang lain.




BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Tawaduk mempunyai dua arti: pertama, engkau tunduk dan menerima kebenaran dari siapapun. Kedua, berarti merendahkan sayap kepada manusia. Maksudnya, engkau ramah dan lembut saat bergaul dengan orang lain, siapapun dia.
Kebalikan tawaduk adalah sombong. Sombong adalah menolak kebenaran dan merendahkan manusia. Menolak kebenaran artinya engkau tidak mau menerima kebenaran tersebut. Merendahkan manusia artinya engkau bersikap congkak kala menghadapi orang sederhana dan miskin. Kau anggap dirimu mulia hingga tidak mau menyapanya, tersenyum, dan bercakap dengan mereka. (merendahkan manusia juga berarti menzalimi orang lain dan tidak menunaikan hak mereka).













DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim mahmud, Ali. 2004.  Akhlak Mulia. Jakarta:Gema Insani
Hamka. 1982. Tafsir AL-Azhar Juz XXI. Jakarta:Pustaka Panjimas
Khaled, Amr. 2010. Buku Pintar Akhlak. Jakarta:Zaman
Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad. 1989. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3. Jakarta:Maktabah Ma’arif Riyadh
Salam, Burhanuddin.1997. Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan                              Manusia. Jakarta:PT. Renika Cipta
Shihab, M. Quraish. 2003.  Tafsir Al-Misbah. Jakarta:Lentera Hati








[1] Burhanuddin Salam, Etika Sosial Asas Moral Dalam Kehidupan Manusia(Jakarta:PT. Renika Cipta, 1997), hlm.7-9
[2] Ali Abdul Halim mahmud, Akhlak Mulia(Jakarta:Gema Insani,2004),hlm.7

[3]Amr Khaled, Buku Pintar Akhlak(Jakarta:Zaman,2010),hlm.17
[4]Ibid.,hlm.53-62
[5] Hamka, Tafsir AL-Azhar Juz XXI(Jakarta:PustakaPanjimas,1982),hlm.126

[6] Ibid,.hlm.127-134
[7] Muhammad Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir Jilid 3(Jakarta:Maktabah Ma’arif,Riyadh, 1989),hlm.792-793

[8] Ibid,.hlm.792-793
[9] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah(Jakarta:Lentera Hati,2003),hlm.138-140

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel